"I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots" --Albert Einstein
Di era yang serba instan ini, teknologi berkembang pesat, perkembangan media sosial pun semakin cepat, bahkan melampaui perkembangan media lain karena intensitas penggunaan yang sangat tinggi. Untuk bisa menjalin komunikasi dengan rekan ataupun sanak famili, kita tidak perlu lagi repot-repot bertemu face to face.Â
Cukup lewat line, messenger atau whatsapp, kita sudah bisa saling sapa tiap hari. Kita juga bisa menjalin kenalan-kenalan baru hingga lintas negara dengan menggunakan facebook, twitter, maupun instagram. Bahkan jika kita ingin merasakan sensasi bertatap muka, kita bisa menggunakan google duo ataupun skype.
Saat ini, kemudahan demi kemudahan berkomunikasi semakin kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Sempitnya waktu dan padatnya kesibukan tak menghalangi seseorang untuk tetap menjalin silaturahim via online.Â
Namun tak bisa dipungkiri juga, bahwa kehadiran medsos semacam facebook, twitter, instagram, whatsapp, dan lain-lain telah turut mengubah kebudayaan masyarakat sosial hari ini, terutama dalam hal pola berpikir dan bertindak.
Media sosial terbukti melahirkan generasi yang anti-sosial. Di setiap pertemuan --dewasa ini--, orang-orang tak lepas pandangan dari telepon pintar miliknya. Semuanya merunduk.Â
Bukan karena peribahasa padi yang berisi semakin menunduk, sebaliknya, malah lebih tepat dikatakan semakin tidak berisi semakin menunduk. Â Semakin ketergantungan pada dunia maya, semakin ia lupa memandang dunia nyata. Di jalan; di kantor; bahkan di rumah, handphone seakan menjadi barang primer yang tak mungkin dilepaskan.
Generasi ini juga tak begitu suka berpikir, karena luasnya informasi yang bisa diakses dan dishare dengan sekali klik, padahal tak semuanya merupakan informasi valid yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mereka --para pengguna medsos-- sangat rentan terbanjiri informasi tanpa filter dari berbagai kepentingan.
Di lain sisi, lahir pula generasi yang suka berkomentar. Bangsa kita ini, memiliki tingkat baca buku yang rendah, namun jika berurusan dengan beropini di media sosial, termasuk yang paling aktif di dunia.Â
Apapun selalu dikomentari, meskipun sebenarnya para komentator itu tidak benar-benar ahli dalam bidang yang dikomentari --bahkan cenderung tak paham--.Â
Mereka berkomentar setidaknya karena dua hal: pertama, karena sesuatu itu tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Kedua, adanya provokasi keadaan, dari komentator sebelumnya, atau dari teman yang mengompori untuk ikut berkomentar.
Inilah yang menyebabkan kemerosotan kualitas generasi milenial. Mereka menjadi makhluk yang idiot, anti-sosial dan sok tahu. Parahnya, self assertion (percaya diri yang berlebihan) membuat mereka merasa menjadi raja kebenaran dengan keabsolutan tahta, bahkan hingga mencapai level anti-kritik. Meminjam istilah Haedar Nashir, mereka menjadi orang-orang yang mendakwa diri sebagai penjaga gerbang kebenaran tunggal secara absolut.
Jika keberadaan media sosial memang bertujuan untuk memberikan akses yang lebih luas untuk generasi sekarang, maka mari kita gunakan kemudahan ini untuk mengeksplor lebih banyak hal positif, memperluas jaringan misalnya.Â
Kita bisa menjalin banyak relasi dengan banyak kawan. Membuat komunitas yang menyebar manfaat dan pesan-pesan perdamaian ke seluruh pelosok negeri. Membuat akun-akun yang mampu menciptakan counter narasi dari kelompok-kelompok intoleran dan jumud.
Tanpa gerak kita, media sosial hanya akan menambah sosok-sosok tak berguna bagi bangsa. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari generasi gadget yang hanya mementingkan ego dan dunia mereka sendiri. Jika bukan kita yang merubahnya, siapa lagi? Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H