Mohon tunggu...
Silva Ahmad F
Silva Ahmad F Mohon Tunggu... Guru - Penulis Pemula

Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-Kata (WS Rendra. Depok, 22 April 1984)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjaga Kewarasan (Beragama), Merawat Kebhinnekaan

24 April 2019   06:00 Diperbarui: 26 April 2019   07:08 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan bangsa yang besar, bangsa yang kuat dan beradab, serta bangsa yang sangat menjunjung tinggi sikap toleran. Setidaknya itulah yang dikenal dunia luar saat ini. Namun dewasa ini, di tubuh bangsa kita terdapat luka yang kian hari semakin besar. Kasus intoleransi semakin gencar terjadi di banyak daerah, terutama intoleransi beragama.

Seperti yang baru-baru ini terjadi pada pemakaman jenazah kaum kristiani bernama Albertus Slamet Sugihardi di Purbayan, Kotagede Yogyakarta berupa penolakan salib, doa-doa upacara keagamaan, dan ibadah mendoakan arwah. Tanda salib yang biasa ditancapkan pada makam umat kristiani dipotong oleh warga yang mayoritas beragama Islam. Keluarga Albertus tidak bisa berbuat banyak  karena adanya desakan dan tekanan dari warga yang mayoritas muslim.

Masih di kota yang sama, sempat pula terjadi perusakan properti sedekah laut di Bantul beberapa bulan lalu. Hal ini sempat dikecam oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bantul. Sedekah laut adalah adat dan tradisi masyarakat pesisir pantai dan bukan sebuah ritual yang dilarang, sejauh tidak ada unsur sesembahan atau musyrik. 

Dalam ritual itupun digelar doa-doa secara islami. Dan banyak kasus lain yang minim pemberitaan, tapi masih sering terjadi lintas-agama, bahkan kadang seagama tapi lintas-organisasi keagamaan. Misalnya seperti adanya penolakan mensholati mayit yang berbeda pilihan politik di suatu kampung di daerah ibukota. Sebuah alasan yang tidak masuk akal.

Menurut SETARA Institute --sebuah organisasi yang menjunjung tinggi pluralisme, kemanusiaan, demokrasi dan HAM-- kejadian-kejadian tersebut mengindikasikan beberapa hal: pertama, bahwa pengerasan konservatisme keagamaan sudah menjangkau lapis sosial terbawah; kedua penguatan simbolisme keagamaan tidak hanya berdampak pada penebalan politik identitas tapi juga penguatan kecemasan, ketakutan, dan keterancaman atas simbol-simbol identitas yang berbeda; ketiga mayoritarianisme hampir selalu bekerja melalui penundukan kelompok minoritas dengan logika kerukunan.

Semua kejadian tersebut memiliki kesamaan, yaitu adanya  alasan"membela Tuhan" di balik motif para pelaku perbuatan intoleran dan diskriminatif. Kepercayaan itu menyebabkan manusia sebagai subyek beragama beserta nilai-nilai kemanusiaan mulai berkurang, bahkan cenderung tidak bermakna lagi. Para kaum intoleran --meminjam istilah prof. Masdar Hilmy-- memaknai agama dan ibadah dalam sudut pandang "memuaskan hasrat ketuhanan" sembari mengabaikan nilai kegunaan agama bagi manusia.

Padahal nabi Muhammad sebagai nabi terakhir penyempurna ajaran samawi diutus untuk menyempurnakan akhlak karimah. Sedangkan akhlak sendiri merupakan aktivitas yang berhubungan dengan ibadah horisontal atau hubungan terhadap sesama manusia. Maka tidak bisa dibenarkan ketika ibadah menitikberatkan pada upaya "membahagiakan Tuhan" dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, atau misalnya dengan mengabaikan hak manusia lain beribadah sesuai kepercayaan masing-masing.

Dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari'ah yang dikarang imam asy-Shatibi, konsep beragama harus terangkum dalam 5 aspek, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, dan memelihara keturunan. Lima hal inilah yang menjadi pokok dalam beragama. Maka jika seseorang atau suatu kelompok menganggap diri mereka beragama anamun dengan mengabaikan lima aspek tersebut, maka ia beragama dengan mempertuhankan nafsu dan egonya sendiri.

Mari kita jaga kewarasan dalam beragama. Perbedaan itu fitrah. Sekuat apapun kita memaksakan sama, perbedaan akan tetap menjadi sesuatu yang niscaya. Maka pangkal keberagaman dan kebhinnekaan, seperti tulisan Cak Nurcholish Majid, terwakili dalam istilah al-hanifiyyah as-samhah (semangat kebenaran yang lapang dan terbuka), dalam artian semangat mencari kebenaran tanpa memaksakan agama dan kepercayaan yang kita anut. Mengedepankan toleransi, sekaligus tidak menumpulkan logika. Bersikaplah terbuka terhadap keberagaman tanpa harus menggadaikan kepercayaan. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun