Mohon tunggu...
VOGUEMINI
VOGUEMINI Mohon Tunggu... Freelancer - Penggemar berat karya Tuhan.

Penggemar berat karya Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Agen Galaksi Bimasakti

6 Mei 2013   04:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:03 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear Pluto,

Apa kabar gumpalan gas diujung bimasakti? Masihkah setia dengan garis khayal mu? Aku hanya berharap bisa merengkuh kerapuhanmu....

Saat ini ditempatku hujan, Plut. Dibagian bumi dekat khatulistiwa ini, semua orang mengenakan payung.

Aku hanya ingin bertanya pada semesta.. Hidup itu seperti apa??

Kata orang hidup itu berwarna-warni. Tapi menurutku hidup itu hanya ada 2 warna, hitam dan putih. Seperti piano saja. Namun setelah Tuhan memainkannya, semua terasa indah....

Oh yaa, salam ya Plut buat  Arcturus.. Bilang sama para Ashtar kalo agen galaksi dari Bumi yang namanya Sagitta pengen banget main kesana :D

*****

26 Maret 2013

Hari ini Depok hujan. Aku hanya bisa ngedumel tanpa tau harus berbuat apa. Aku lupa membawa payung dan akhirnya terjebak di kampus selama lebih dari setengah jam. Dan yang lebih bodohnya lagi, aku lupa men-charger hp “jawa” ku sehingga aku tidak bisa menghubungi siapapun. I need someone’s help!!!!

Saat ini waktu menunjukkan pukul 04.00 sore. Aku terus saja memandangi rintik-rintik hujan disebuah bangku dibalkon lantai 2 kampus tercintaku. “Mungkin kalo aku punya naga aku bisa dengan mudah menerobos butiran hujan ini” Kataku dalam hati. Tapi ini ‘kan bukan negeri dongeng atau sinetron di In*os*ar......... Aku masih terus bergumam dengan pikiranku sampai pada saat seseorang memanggil namaku dan membuyarkan lamunanku.

“Gita....” Dengan cepat aku mengalihkan pandanganku kearah suara tersebut.

“Eh, Tami....” Kataku dengan senyum sumringah. Akhirnya Tuhan memberikan pertolongan padaku dari rasa bosan yang telah merasuk jauh kedalam trombositku.

“Lu ngapain disini, Git? Emang gak ada jadwal?” Tanyanya penuh rasa ingin tau.

“Gue lagi nungguin hujan berenti, nih. Jadwal sih udah gak ada, niat pengen ke perpus tapi malah kejebak hujan.” Jelasku panjang-lebar.

“Kesian banget sih, emang gak bawa payung? Terus temen-temen lu pada kemana, sendirian aja.” Tanyanya (lagi).

“Kalo gue bawa payung nih ya, gue gak bakalan ketemu lo disini, udah di perpus kali. Temen gue udah pada balik. Eh, lu ada jadwal gak? Kalo gak ada mending temenin gue.” Kataku dengan muka memelas.

“Udah gak ada sih. Yaudeh deh gue temenin.” Katanya sambil beranjak duduk disebelah kiriku.

Namanya Chintami Octavia, mahasiswi jurusan ekonomi semester 2. Aku pikir dia lah perempuan paling sempurna di milky way. Selain parasnya yang cantik, rambut hitam legamnya yang selalu membuatku iri, postur tubuh layaknya model catwalk, dan uang yang selalu mengalir deras seperti air disungai amazon. Singkat kata, aku mengenalnya pertama kali pada saat ospek tahun 2012 lalu.

Ada jeda selama hampir 10 menit. Sampai pada akhirnya Tami memulai pembicaraan.

“Git, gue boleh cerita gak?” Tanyanya seraya menoleh kehadapanku.

“Cerita aja, Tam. Mudah-mudahan gue bisa bantu.” Kataku diikuti senyuman termanisku.

“Gue udah gak betah lagi tinggal dirumah. Gue pengen kabur aja.” Jelasnya sambil menahan tangis yang sebenarnya sudah tak terbendung lagi.

“Loh, emang kenapa, Tam?” Tanyaku agak kepo.

Tami memelukku, menumpahkan segala rasa sesak dihati kecilnya melalui perantara air mata. Aku membelai pundak kanannya. Dan menyingkirkan rasa iri saat aku membelai rambut indahnya. Mungkin ini klimaks, saat hati kecilnya tak lagi bisa menahan segala rasa sedih.

“Cup.. Cup... Luapin aja semuanya, Tam....” Kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Hujan masih saja berjatuhan dan sepertinya enggan berhenti. Menanti kisah apa yang akan diceritakan oleh Tami. Setauku, dia baik-baik saja. Mungkin aku yang salah karena tidak pernah mencoba mengenalnya lebih jauh. Aku berharap bisa merengkuh kerapuhannya.

“Gue pengen kayak orang lain yang selalu bisa merasakan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Orang tua gue, Git, mereka selalu gak ada waktu buat gue, buat adek gue....” Kata-katanya menggantung begitu saja diikuti isak tangis.

Aku melepaskan pelukannya dari tubuhku, menghapus air matanya, dan mencoba merasuk kedalam pikirannya..........

Aku melihat matanya, membaca semua kekalutan yang terlihat jelas. Membaca pikiran serta merasakan kesedihannya.....

“Mungkin mereka emang lagi sibuk, Tam.” Kataku sambil menunggu kelanjutan ceritanya.

“Dari dulu gue kecil, mereka jarang banget dirumah. Mereka selalu mentingin urusan bisnis ketimbang anak-anaknya.” Sambil menyeka airmata yang menetes dari mata indahnya, Tami melanjutkan ceritanya. “Gue kesian sama adek gue, Git. Cukup gue aja yang ngerasain pahitnya jauh dari kasih sayang orangtua.”

“Lo udah bilang uneg-uneg lo ke mereka belum?” Tanyaku..

“Percuma... Udah berkali-kali gue ngomong ke mereka, tapi mereka tetep aja gak peduli. Gue gak butuh uang berlimpah, gue butuh kasih sayang mereka.” Jelasnya dengan nada kesal.

“Mungkin lo gak sepenuh hati ngomong ke mereka. Maksud gue, kalo emang lo ungkapin semuanya dari hati dan lo tulus, pasti mereka bakalan tersentuh. Atau mungkin lo bilangnya dengan cara marah atau dengan nada kesel, mungkin.” Kataku panjang lebar.

“Yaiyalah, Git, gue kesel dan marah..” Katanya.

“Nah, itu dia masalahnya. Coba lo jauhin dulu deh rasa marah dan kesel. Ajak mereka ngomong dari hati ke hati. Ungkapin semuanya, Tam.” Jelasku (lagi).

“Gue gak tau bisa apa enggak, Git.” Katanya hampir-hampir putus asa.

“Kenapa? Lo takut gagal lagi?” Tanyaku. “Tuhan gak bakal nyudahin cobaan-Nya, kalo orang itu belum lulus dari cobaan yang sama.” Jelasku.

“Dan emang gue gak pernah lulus dari cobaan yang satu ini.” Tukasnya seraya memandang rintik hujan yang masih saja enggan berhenti.

Aroma tanah bercampur air hujan seraya membukakan mata hatiku atas “atom-atom” negatif yang disumbangkan manusia kepada Bumi. Marah, kesal, benci, dengki, iri dan sikap negatif lainnya telah lama membebani Bumi. Aku baru sadar, Bumi seharusnya menerima lebih banyak “atom” positif untuk keberlangsungan peningkatan dimensi.... Hffft, sayang sekali.

“Gue yakin lo bisa, Tam.” Kataku seraya tersenyum padanya. Aku mencoba memberikan sedikit kekuatan lewat kata-kataku. “Lo perempuan yang kuat dan gue gak yakin kalo gue diposisi lo, gue bakal tahan sampai sejauh ini.”

Bumi... Aku Agen Galaksi Bimasakti, siap membantu mengurangi “atom” negatif yang telah menghambat proses peningkatan dimensimu. Untuk segala umat manusia di Bumi dan untuk Neptunus.

“Makasih Git. Dan karena itulah gue selalu cari kekuatan dan kebahagiaan di luar.” Jelasnya. Dan Tami pun tertunduk lesu.

“Cari kekuatan dalam diri lo, Tam, bukannya dari luar. Banyak orang mencari kedamaian dan ketentraman pada orang-orang lain, tapi pencarian kayak gitu biasanya gak membawa hasil. Apakah rasa lapar lo dikenyangkan kalo orang lain makan? Apakah rasa haus lo dipuaskan kalo orang lain minum? Enggak, kan?” Jelasku.

“Enggak sih, Git.” Jawabnya singkat.

“Hal yang sering kita lupakan adalah bahwa setiap orang harus menemukan jalannya sendiri. Lo harus yakin sama diri lo.” Jawabku sambil menyentuh tangan kanannya.

Tami pun mengangkat kepalanya, melemparkan senyum termanisnya kearah ku. Aku bisa merasakan adrenalinnya muncul kembali.

“Makasih ya, Git. Entah kenapa gue lega banget cerita sama lo.” Katanya.

“Sama-sama, Tam. Kalo ada apa-apa bilang aja. Kalo gue bisa bantu, bakal gue bantu kok.” Jawabku sambil tersenyum.

Terkadang seseorang hanya ingin didengarkan bukan dinasehati. Terkadang seseorang hanya ingin disemangati bukan dinasehati. Aku ingin lebih banyak lagi menyentuh hidup orang lain. Meninggalkan secercah harapan untuk tetap setia menggapai impian terbesarnya. Aku ingin lebih banyak lagi menyumbangkan “atom” positif untuk semesta. Dimulai dari diri sendiri dengan berbagai macam cara. Dan beginilah caraku.....

*****

Dear Pluto,

Hari ini aku mendapat satu pelajaran hidup lagi...

Uang tidak akan pernah bisa membeli cinta dan hati nurani seseorang.

Aku tidak punya uang, tapi aku bahagia. Hanya harapan yang bisa membuat seseorang memberikan cinta kepada orang lain. Ini bukan tentang uang, tapi tentang cinta. Harapanlah yang membuat cinta tumbuh dan mekar layaknya si kembang..

Plut, apa bisa harapanku membuat si neptunus memberikan secuil cintanya padaku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun