Pendahuluan
Di era modern ini yang serba cepat dan penuh ketidakpastian. Mahasiswa sering kali dihadapkan pada tekanan akademis, tuntunan profesional, serta tantangan pribadi. Untuk menjadi sarjana yang unggul dan profesional kita harus mampu menjaga kestabilan mental dan emosional dalam menghadapi berbagai tantangan. Salah satu filsafat yang bisa menjadi panduan dalam mengatasi tekanan hidup dan meraih keberhasilan adalah stoicisme.
Dalam tulisan ini, saya akan mengupas bagaimana praktik Stoicisme dapat membantu mahasiwa dalam membedakan antara "Fortune" dan "Virtue", serta bagaiman konsep ini dapat diterapkan untuk menjadi sarjana yanb unggul dan profesional.
Apa itu Stoicisme?
Stoicisme adalah aliran filsafat yang didirikan oleh Zeno dari Citium pada abad ke-3 SM. Stoicisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam hal-hal eksternal seperti kekayaan, kekuasaan, atau keberuntungan (yang mereka sebut sebagai Fortuna), tetapi dalam pengembangan kebajikan (virtue) dan kemampuan untuk mengendalikan diri serta menerima hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan.
Para filsuf Stoik seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius berpendapat bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan yang harus dikejar dengan mengandalkan faktor eksternal. Mereka berpendapat bahwa kebahagiaan adalah hasil dari hidup dengan sesuai dengan alam, yang berarti hidup dengan kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri. Hal-hal yang ada di luar kendali kita seperti cuaca, ekonomi, atau perilaku orang lain termasuk dalam kategori "fortuna". Hal-hal tersebut bisa mempengaruhi hidup kita, namun bukanlah dasar bagi kebahagiaan sejati.
Menurut para Stoik, ada dua aspek penting dalam hidup:
1. Fortuna: Hal-hal yang berada di luar kendali kita, termasuk nasib, keberuntungan, atau kejadian eksternal. Ini mencakup hal-hal seperti nilai ujian, hasil wawancara kerja, bahkan cuaca di hari tertentu. Dalam konteks mahasiswa, fortuna dapat mencakup hal-hal seperti beasiswa yang tidak diterima, mata kuliah yang sulit, atau faktor eksternal lainnya yang memengaruhi jalur pendidikan kita. Bagi banyak mahasiswa dan profesional muda, hal-hal ini sering menjadi sumber kecemasan dan ketidakpastian.
Tetapi, menurut Stoicisme, merisaukan hal-hal di luar kendali kita adalah sia-sia dan hanya akan menambah beban pikiran. Stoicisme mengajarkan untuk menerima hal-hal tersebut apa adanya, dengan sikap yang tenang dan tidak emosional. Kita tidak dapat mengendalikan Fortuna, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita meresponsnya. Dengan mengadopsi pandangan ini, seorang sarjana atau profesional dapat fokus pada upaya dan tindakan yang konstruktif, bukan pada hasil yang tidak pasti.
2. Virtue: Hal-hal yang berada di dalam kendali kita, terutama pikiran, sikap, tindakan, dan karakter kita. Kebajikan merupakan kualitas moral yang diperoleh melalui pengendalian diri, ketabahan, kebijaksanaan, dan keadilan. Dalam kehidupan akademis, virtue adalah kemampuan untuk tetap konsisten dalam belajar, menahan diri dari hal-hal negatif seperti mencontek, dan berupaya untuk selalu meningkatkan diri.
Sebagai sarjana dan profesional, mengembangkan virtue berarti membangun kebiasaan belajar yang baik, mempraktikkan etika kerja yang kuat, menjaga integritas, dan selalu bersikap adil terhadap orang lain. Misalnya, seorang mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam mata kuliah tertentu mungkin tergoda untuk menyerah. Namun, jika dia berpegang pada kebajikan keberanian dan pengendalian diri, dia akan terus berusaha, mencari cara untuk belajar lebih baik, dan tidak menyerah pada rasa putus asa.
Virtue juga mendorong kita untuk tetap tenang dalam menghadapi kegagalan. Seorang profesional yang mengalami kemunduran karier mungkin merasa kecewa, tetapi dengan berfokus pada virtue, dia akan memandang kemunduran tersebut sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh, bukan sebagai tanda kegagalan permanen.