Dalam suatu sistem masyarakat, media massa memiliki fungsi mendasar sebagai alat pemenuhan kebutuhan sosial dan kepentingan publik akan berbagai informasi. Fungsi sosial ini muncul berdasarkan perspektif teori social responsibility yang memandang bahwa informasi merupakan barang publik atau public goods (McQuail: 2005, dalam A. S. Rosana: 2011).
Berdasarkan pengertian tersebut, agaknya KPI sebagai pawangnya penyiaran di Indonesia harus mampu menciptakan ruang publik yang ideal. Apalagi KPI mengklaim dirinya sebagai lembaga negara yang independen, seperti yang disebutkan dalam UU Penyiaran pasal 7 ayat 2.
Kecurigaan ini semakin menjadi-jadi ketika isu RCTI dan Inews naik ke permukaan media nasional. Kedua raksasa stasiun televisi milik MNC Group tersebut mengajukan gugatan uji materi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Gugatan tersebut telah bergulir di Mahkamah Konstitusi dan sidang perdana digelar pada 22 Juni 2020 (BBC, 2020). Isinya adalah permohonan uji kembali terhadap pasal yang menjelaskan pengertian penyiaran yang dianggap menimbulkan kerugian konstitusional. Alasannya, karena ada "perlakuan yang tidak setara" antara siaran televisi dengan media siaran online di Indonesia.
Uniknya, KPI mendukung pernyataan pada gugatan tersebut. Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan, "Ini kayak kode etik. Mana ada KPI kontrol substansi, KPI itu kasih guidance (seperti) tolong jangan ada (adegan) seks dll." (Kumparan, 2020)
Lalu pada Sidang Putusan Januari 2021, MK menilai gugatan yang diajukan oleh pihak RCTI dan Inews tidak memiliki dasar hukum. Pihak MNC Group juga telah menerima dan menghargai putusan MK tersebut (Kumparan, 2021).
Gugatan "perlakuan tidak setara" oleh RCTI dan Inews ini mengisyaratkan betapa buruknya pengetahuan riset dan teknologi media di negeri kita. Televisi konvensional seharusnya tidak kaget dengan kemajuan teknologi media baru. Alih-alih menggugat, mengapa tidak memperbaiki kualitas penayangan saja? Atau mengapa tidak berkolaborasi memperluas jangkauan televisi digital?
Sebenarnya, masih banyak penonton televisi di Indonesia, hanya saja kita tidak dapat menolak globalisasi yang semakin memudahkan segala hal. Sehingga mereka banyak menggunakan media baru yang semakin lama semakin menggeser eksistensi televisi. Terakhir, peralihan khalayak ini adalah preferensi pribadi yang tidak bisa disalahkan.
Maka dari itu, dibutuhkan peran KPI yang seharusnya tidak hanya mengawasi dan menodorkan sanksi-sanksi penyensoran, tetapi mulai menata kembali penyiaran di Indonesia. Masyarakat saat ini pun harus memiliki wawasan luas tentang literasi digital. Dalam konteks ini, literasi digital dapat membantu masyarakat lebih selektif dalam memilih konten. Sehingga dapat mendorong televisi dan industri hiburan untuk menghasilkan konten-konten yang berkualitas.
Referensi:
A. S. Rosana. 2011. Konflik Kepentingan di Media Televisi Indonesia. Â Jurnal Gema Eksos hal. 127-143 Vol. 6, No. 2
BBC Indonesia 4 Sept 2020. RCTI dan iNews TV gugat definisi 'penyiaran' ke MK: Demi melindungi kreativitas atau tidak mau beradaptasi pada perubahann Dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-54015668