Mohon tunggu...
Silmi Novita Nurman
Silmi Novita Nurman Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar terus, terus belajar, belajar lagi

Aku menulis maka aku eksis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Belajar Memaknai Tubuh dari Para Filsuf

22 Desember 2020   21:44 Diperbarui: 22 Desember 2020   22:00 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Socrates (466-399 SM) malah memiliki definisi lebih tajam dalam memaknai tubuh. Ia menggambarkan jiwa sebagai "tawanan yang tidak berdaya dengan tangan dan kaki dirantai, dipaksa untuk melihat realitas tidak secara langsung, melainkan hanya melalui jeruji-jeruji penjara". Sedangkan tubuh merupakan perangkap jiwa, sebuah rintangan dan sebuah kelemahan yang terus-menerus memotong, mengganggu, memecah-belah, dan mencegah kita untuk memperoleh secuil kebenaran.

Sejalan dengan gurunya, Plato (427-348 SM) juga menganggap bahwa tubuh memperbudak dan membelenggu kita. Menurutnya, "tubuh adalah makam atau kuburan jiwa". Tubuh dan jiwa tidak hanya terpisah, tetapi keduanya bertentangan dan tidak sama. Jiwa sungguh lebih unggul daripada tubuh. Tubuh tidak lebih dari sekedar bayang-bayang yang terus menjaga kita agar tetap utuh. Hanya dalam kematian saja, jiwa dibebaskan dari keinginan dan nafsu jahat tubuh.

Tubuh dan jiwa semacam dualisme yang penuh konflik bersifat imanen dan permanen. Namun, Plato berpikir lebih rasional. Ia menganggap hal itu sebagai konsekuensi logis dalam pemurnian dan pencarian filsafat. Tetap saja ujung-ujungnya Plato mengatakan bahwa kecenderungan filsuf adalah membebaskan dan memisahkan jiwa dari tubuh. Meskipun begitu, Plato tidak menolak pun menyangkal tubuh. Ia mengatakan, tubuh molek adalah jalan pertama menuju Keindahan Absolut dan Tuhan.  

Aristoteles (384-322 SM) murid Plato menolak habis-habisan dualisme dan negativisme gurunya itu. Ia mengartikan jiwa sebagai prinsip kehidupan dan menggambarkannya sebagai bentuk istimewa dari tubuh yang hidup. Lebih tepatnya, tidak ada yang satu tanpa yang lain. Dalam On the Soul, Aristoteles menyatakan "kita dapat membuang pertanyaan, jika perlu, tentang apakah tubuh dan jiwa adalah satu? Pertanyaan seperti ini sama saja seperti kita bertanya apakah lilin dan bentuknya adalah satu".

Pada zaman modern, filsuf Rene Descartes (1596-1650) yang memiliki jargon cogito ergo sum, aku berpikir atau aku ragu maka aku ada, juga turut memberi definisi tentang tubuh. 

Menurut Descartes, "aku dapat dikatakan sebagai jiwa. Dengannya aku menjadi aku, sesuatu yang berbeda sekali dari tubuh". Ketika ditanya, lantas apakah tubuh? Ia menjawab, "aku menyadari diriku sendiri pertama-tama karena ia memiliki wajah, tangan, lengan, dan seluruh mesin yang dibuat dari daging dan tulang, sama seperti terlihat pada seonggok mayat yang saya tunjuk dengan nama tubuh". Ia juga membandingkan tubuh dengan jam yang bekerja tanpa jiwa. Singkatnya, pelopor aliran rasionalisme tersebut menganggap tubuh sebagai mesin.

Thomas Hobbes (1588-1679) tampaknya juga sependapat dengan Descartes. Hal ini terlihat dalam Leviathan, ia mengajukan pertanyaan: "apakah jantung bila bukan seperti pegas, saraf jika bukan seperti senar-senar dan tulang persendian jika bukan roda yang membuat seluruh tubuh bergerak seperti diinginkan oleh pengemudinya?" Jelas sekali bahwa Hobbes dan yang lain menggunakan metafora anorganik mesin untuk menjelaskan tubuh.

Sartre dalam Being and Nothingness menegaskan tubuh adalah diri dan diri adalah tubuh: "aku menghidupkan tubuhku. Tubuh adalah sebagaimana aku tampak. Aku adalah tubuhku yang menunjukkan isi siapa aku". Monisme Sartre ini tentu sangat bertentangan dengan dualisme Descartes yang menyatakan "pikiran yang dengannya aku menjadi aku" sedangkan Sartre adalah tubuh sebagai diri (jiwa) yaitu tubuh adalah siapa aku. Tegasnya, tubuh dan jiwa adalah sama.

Itulah beberapa filsuf yang memaknai tubuh. Tubuh dimaknai sebagai penjara atau makam, mesin dan diri.

Walaupun makna tubuh diperdebatkan dari waktu ke waktu, tetap saja tidak ada kata final untuk sebuah pengertian secara  universal. Setiap masa, orang terus merekonstruksi tubuh menurut gambaran dan perspektifnya sendiri sehingga banyak paradigma mengenai tubuh. Maka tak dapat dipungkiri, akan terus muncul redefinisi terkait tubuh, termasuk tubuh sosial.

Terakhir, seperti apapun tubuh dimaknai yang penting tubuh harus diperlakukan, dijalani dan dihargai dengan baik. Beberapa orang mencintai tubuhnya, beberapa lagi membencinya karena merasa insecure terhadap tubuhnya sendiri, beberapa menyembunyikannya, beberapa lagi memamerkannya, beberapa melukainya. Lantas, bagaimana Anda memaknai tubuh Anda sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun