Mohon tunggu...
Silfia Aniska Sari
Silfia Aniska Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Volly ball

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori empati dari martin hoffman

18 Januari 2025   01:18 Diperbarui: 18 Januari 2025   01:18 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori Empati Martin Hoffman

Martin Hoffman adalah salah satu tokoh utama dalam kajian empati, yang fokus pada bagaimana empati berkembang sepanjang masa kanak-kanak hingga dewasa. Empati, menurut Hoffman, adalah kemampuan seseorang untuk memahami atau merasakan emosi orang lain, sering kali disertai dengan motivasi untuk membantu. Teori Hoffman menyoroti bahwa empati bukanlah bawaan semata, tetapi berkembang melalui proses biologis, kognitif, dan sosial.

Empati Sebagai Respons Emosional

Hoffman mendefinisikan empati sebagai respons emosional yang dihasilkan dari pengamatan atau pemahaman terhadap pengalaman emosional orang lain. Empati bersifat afektif, artinya melibatkan perasaan, dan berbeda dari sekadar memahami secara kognitif apa yang dirasakan orang lain. Sebagai contoh, saat melihat seseorang menangis, kita mungkin merasa sedih meskipun tidak mengalami situasi yang sama.

Menurut Hoffman, empati memainkan peran penting dalam hubungan sosial karena membantu menciptakan ikatan emosional dan memotivasi perilaku altruistik, seperti membantu orang lain tanpa pamrih.

Tahapan Perkembangan Empati

Hoffman mengidentifikasi beberapa tahapan perkembangan empati yang dimulai sejak bayi hingga dewasa. Setiap tahap menunjukkan bagaimana individu mulai mengenali emosi orang lain dan meresponsnya dengan cara yang semakin kompleks:

1. Empati Global (0-1 Tahun)

Pada tahap ini, bayi merasakan emosi orang lain tetapi tidak bisa membedakan antara dirinya dan orang lain. Misalnya, jika bayi mendengar bayi lain menangis, ia mungkin akan menangis juga, tetapi ini lebih merupakan respons refleksif daripada pemahaman yang sadar.

2. Empati Egocentris (1-2 Tahun)

Pada tahap ini, anak mulai menyadari bahwa emosi orang lain berbeda dari emosinya sendiri. Namun, anak cenderung merespons emosi orang lain berdasarkan perspektifnya sendiri. Misalnya, jika melihat orang lain sedih, anak mungkin memberikan mainannya sendiri sebagai cara untuk menghibur, karena ia menganggap hal itu juga akan membuatnya bahagia.

3. Empati untuk Perasaan Orang Lain (2-7 Tahun)

Anak pada tahap ini mulai menunjukkan kemampuan untuk memahami bahwa emosi orang lain mungkin berasal dari situasi tertentu yang berbeda dari pengalaman mereka. Mereka dapat merespons dengan lebih sesuai, seperti memeluk seseorang yang sedang sedih atau memberikan dukungan verbal.

4. Empati Berbasis Perspektif (7-12 Tahun)

Pada tahap ini, anak-anak mulai mampu mengambil perspektif orang lain secara lebih kompleks. Mereka memahami bahwa orang lain memiliki pandangan, kebutuhan, dan pengalaman yang berbeda, dan ini memungkinkan mereka untuk menunjukkan empati yang lebih matang.

5. Empati untuk Kondisi Umum (12 Tahun ke Atas)

Pada tahap dewasa, empati berkembang menjadi kemampuan untuk memahami dan merasakan penderitaan yang lebih abstrak, seperti empati terhadap kelompok tertentu atau isu global, misalnya kemiskinan atau ketidakadilan sosial.

Mekanisme Empati

Hoffman mengidentifikasi empat mekanisme utama yang memungkinkan empati berkembang:

1. Mimicry

Individu secara tidak sadar meniru ekspresi atau gerakan orang lain, yang kemudian menghasilkan respons emosional yang serupa. Misalnya, melihat seseorang tersenyum dapat membuat kita merasa senang.

2. Kondisi Klasik

Pengalaman masa lalu membentuk asosiasi antara situasi tertentu dengan respons emosional tertentu. Misalnya, mendengar tangisan mungkin memicu rasa simpati karena asosiasi dengan pengalaman masa lalu.

3. Perspektif Kognitif

Kemampuan untuk memahami sudut pandang orang lain secara sadar, yang memungkinkan empati yang lebih kompleks.

4. Resonansi Emosional

Melalui resonansi emosional, seseorang dapat merasakan emosi orang lain sebagai respons otomatis terhadap pengalaman mereka.

Empati dan Moralitas

Menurut Hoffman, empati adalah salah satu dasar utama dari moralitas. Ia percaya bahwa kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain dapat memotivasi individu untuk bertindak secara altruistik dan mencegah perilaku yang merugikan. Namun, Hoffman juga menyoroti bahwa empati tidak selalu menghasilkan perilaku moral. Empati dapat bias, seperti lebih cenderung merespons penderitaan orang yang dekat dengan kita daripada orang yang tidak kita kenal.

Untuk mengatasi bias ini, Hoffman menekankan pentingnya pendidikan moral yang dapat memperluas cakupan empati. Misalnya, anak-anak dapat diajarkan untuk melihat pentingnya membantu orang lain, bahkan mereka yang tidak mereka kenal, melalui cerita atau pengalaman nyata.

Kesimpulan

Teori empati Martin Hoffman menunjukkan bahwa empati adalah proses yang kompleks dan berkembang seiring waktu. Empati tidak hanya melibatkan respons emosional, tetapi juga kemampuan kognitif untuk memahami perspektif orang lain. Dengan memahami tahapan dan mekanisme empati, kita dapat lebih baik mendukung perkembangan empati pada anak-anak dan memanfaatkan empati sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang lebih peduli dan berkeadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun