Mohon tunggu...
Estri shinta
Estri shinta Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis kambuhan, mari berbagi kata dan sapa

Salam hangat, sahabat Kompasiana! Selamat datang di beranda saya. Jangan ragu untuk berbagi komentar, kritik, ataupun saran. Harap maklum jika isinya campur-campur, persis pemiliknya yang random, 😍. Salam kenaaal, 🙏🙏

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Borobudur Masih Menunggu #1

22 Desember 2014   21:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:42 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419234836109642750


Selamat pagi, siang, sore - malam Kompasianer… Terima kasih sudah mampir di ‘saung’ saya, :)

Silahkan membaca coretan kecil saya, mudah2xan bisa menghibur kalian semua yaa… dan ditunggu lho koment, kritik dan sarannyaa…

Borobudur Masih Menunggu #1

Aku melesat jauh ke alam khayalku. Meluncur dalam lorong-lorong rumit nasibku, berusaha mengurainya satu-persatu. Ini membingungkan. Nasib membawaku ke sini.

Umurku lewat 30 tahun!

Seperti perawan yang kulihat sebagai cerminan diriku, mengobral diri sedang menunggu laki-laki di perempatan jalan. Shit! Ini bukan obralan. Ini diriku, di dalam candi - tepat di depan sebuah stupa candi Borobudur. Bukan seorang biksu berwajah teduh dengan do’anya, melainkan pria berbadan sedang berkulit gelap yang memang keturunan Arab - Madura, yang kebetulan adalah pacar terakhirku. Aku menunggunya.

Saatnya menikah?!

“Di sini?” tanya pria berbadan sedang berkulit gelap yang telah kunanti selama 30 tahun itu.

Sepertinya memangharus menikah!

“Sudah waktunya!” jawabku singkat.

Obsesiku adalah menikah di umur ke-24, lewat enam tahun dari waktu yang kujanjikan. Bukan terpaksa karena aku suka-rela. Meski aku takut setengah mati. Sumpah! Aku inginmengakhiri masa lajangku untuk memecahkan misteri hidupku…

*****


Gara-gara

Aroma bunga melati menebar ke penjuru ruangan. Dalam sekejap, satu kantong melati sudah berpindah tempat, selain di kamar, di atas karpet, sofa,bahkan dapur dan toilet pun tak luput dari tebaran melati. Belum lagi bunga sedap malam dan gladiol yang berjejer di atas buffet. Juga mawar aneka warna. Ada Pareo, Samourai, Sonate de Meilland, Sonia, Sweet Sonia, Laser, Diplomat, Tineke, Vivaldi. Mama hapal satu-persatu namanya.

Sebenarnya Cahya maklum. Untuk menjadikannya ratu semalam, setiap Mama akan berbuat apa saja buat putri tercintanya, termasuk Mamanya. Mama menginginkan pesta pernikahan yang megah. Mengumpulkan keluarga besar sekaligus syukuran karena akhirnya dia menemukan jodohnya. Tapi nggak gini juga kaleee….

Melihat Mama sibuk nelpon sana – nelpon sini, ngatur ini – ngatur itu, menebar-nebar bunga, lebih mirip pegawai florist yang merangkap sebagai dukun sekaligus penjual pulsa. Tiga profesi yang sudah keterlaluan bagi Cahya. Lihatlah, saat menyambut tukang pasang tenda atau perias pengantin, Mama lah yang paling berseri-seri wajahnya. Atas rencana pernikahan ini,Mama jugalah yang paling heboh. Cahya jadi berpikir, ‘Sebenarnya yang mau nikah siapa sih? Dia apa mamanya sih?’.

“Cahya….” Mama rempong lagi - entah untuk keberapa kalinya dalam satu hari ini. Mamanya memanggilnya tapi Mamanya juga yang menghampirinya masuk ke kamar, nyelonong begitu saja.

“Ya Ma?”

“Sudah belajar kan prosesinya? Buku yang Mama kasih sudah dibaca kan?”

Cahya mengangguk kecil. “Iya Ma, tenang saja.”

Cahya menunjukan buku yang diberikan Mamanya satu minggu yang lalu, sudah sampai di halaman terakhir. Tentang prosesi pernikahan adat Jawa yang menurutnya sangat-sangat rumit. Ada Siraman, midodareni, panggih, balangan suruh, wiji dadi, pupuk, sinduran, timbang, kacar-kucur, dahar klimah, mertui dan terakhir sungkeman. Cahya sudah menghapalnya. Demi menyenangkan hati sang Mama, tak apa-apalah. Toh sekali seumur hidup ini.

“Sabar ya. Memang banyak prosesinya dan kamu harus hapal urut-urutannya lho, jadi tau mesti ngapain saja.”

Jadi lucu melihat Mama. Heboh sendiri. “Iya, Cahya sudah paham kok Ma. Tenang saja.”

“Bener lho ya?”

Cahya mengangguk meyakinkan.

Mama terlihat lega. Lalu keluar kamar untuk kemudian masuk lagi tak berapa lama. Rupanya belum selesai dia.

“Ingat kan, hari ini dan besok kamu terakhir dipingit? Jadi, jangan keluar kamar kalau nggak ada yang penting, apalagi keluar rumah. Ingat kan aturannya? Kalau kamu perlu sesuatu cukup panggil Mama. Mama akan menyiapkan semua keperluanmu." Mama teringat sesuatu, "Oya, mm… mana hape kamu?"

Cahya bengong, "Hape, Mah?"

"Iya, hape. Kemaren, Mama lihat kamu dipingit masih saja telpon-telponan sama Malik. Enak saja."

Malik adalah calon menantunya.

"Segitunya?"

"Iya lah, Sayang. Sudah, ikutin saja aturan dari Mama.” Tanpa permisi Mama menyita hapenya yang tergeletak di meja rias. Lalu menutup pintu kamar, pergi begitu saja. Cahya tak bisa berbuat apa-apa, hanya menarik napas panjang.

Tuh kan? Menjelang pernikahannya semua orang jadi aneh di mata Cahya. Ini baru Mamanya. Belum lagi papanya yang tiba-tiba jadi super perhatian sama Cahya. Trus Mas Keling – kakak satu-satunya yang sering menggodanya dan memberikan beberapa tips karena dia sudah berumah tangga, tips-tips yang nggak masuk akal dan banyakan viktor. Teman-teman yang silih berganti meneleponnya dan bilang nggak percaya bahwa akhirnya Cahya menikah juga. Memangnya dia nggak boleh kawin apa?

Sejujurnya, situasi ini membuatnya nervous juga. Yang aneh bukan dia, tapi orang-orang di sekelilingnya. Meskipun Cahya tak pernah seyakin ini atas keputusannya.

Baginya, Malik bukan orang asing lagi. Waktu – selama tiga tahun telah menyatukan hati mereka. Malik membuatnya percaya bahwa di dunia ini masih ada yang mencintainya dengan tulus. Selain pandai mengambil hati kedua orang-tuanya, Malik juga pemuda sopan, sikapnya lembut, juga pengetahuannya yang sedalam lautan, Cahya menaruh hormat dan mengaguminya. Saat Malik melamarnya hati Cahya berbunga-bunga. Dia mencintainya tanpa paksaan. Benar kata Mas Keling, ‘Tak ada laki-laki lain yang lebih tepat buat dirinya selain Malik’.

Tapi bukan itu yang membuatnya galau. Dua hari ini hatinya menjadi kacau. Gara-garanya… sebuah rayuan gombal yang teramat gombal mendadak masuk ke dalam inboxnya. Kabel-kabel di otaknya menjadi konslet. Anehnya konslet yang indah, seperti pijaran kembang api yang indah - gitu. Membuatnya suka senyum-senyum sendiri dan seperti angin puting-beliung rayuan itu berhasil mengacak-acak masa lalunya. Datang begitu saja.

Sebenarnya konyol. Tapi apalah daya,

…. Loading….. Blip!

Email itu terbuka lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Email yang diterimanya dari seorang teman lama….(Niat awalnya mau chatingan sama Malik, tapi ternyata jemarinya mengklik email itu lagi)

Hai, Cantik….

… membuat debaran halus di dadanya.

Wajah Cahya merona. Jelas-jelas bukan dari Malik

Masih ingin ke Tibet bersamaku? Khabarnya puncak Himalaya tak sedingin dulu (bagus lho buat kamu yang alergi dingin?). Kita naik yak dan akan kupeluk kau di sepanjang perjalanan dalam karavan cinta kita (masih kuingat hangatnya dekapanmu). Melintasi bunga gunung yang berwarna-warni. Melalui Nathula Pass dan Jelepla Pass ke Lhasa. Kereta gantungnya ok banget buat kita yang lagi kasmaran.

Yup! Aku masih ingat bahwa itu adalah fantasi terbesarmu. Tak akan terwujud kalau kau menikah dengan laki-laki lain. Menikahlah denganku!

Zorroboy@ganteng.co

Hatinya yang damai mulai bergetar. Pesona itu… kenapa menguar lagi setelah bertahun-tahun? Antara senang dan miris. Kabel-kabel di otaknya konslet lagi – kembang api lagi.

'Tidak Cahya, jangan Cahya! Laki-laki ini sakit. Dia hanya ingin mengacaukan masa depanmu. Tidak seperti Malik, style-nya, sifatnya, latar belakangnya… dia selalu membagi air mata kepadamu', berulang kali Cahya mengingatkan dirinya akan hal itu. Setelah sekian tahun dilaluinya dengan susah-payah melupakan laki-laki tukang ngegombal dengan kepercayaan dirinya yang melimpah ruah, itu sebutan yang pernah diberikan Cahya padanya.

Cahya sendiri tak mengerti kenapa jemarinya selalu mengklik email itu, lagi dan lagi. Suka saja. Seolah mencari sesuatu dari masa lalunya yang hilang.

Gara-garanya….

Zorroboy@ganteng.co adalah sebutan dari pemilik email untuk cinta pertamanya yang kandas di tengah jalan. Laki-laki norak yang sudah dienyahkan dari hidupnya. Bertahun-tahun Cahya pernah membenci dan bahkan mengutuknya. Anehnya, ketika membaca rayuannya. kebenciannya raib begitu saja. Membuatnya tersenyum sendiri. Selalu begitu. Berganti dengan pendar-pendar rasa yang indah. Padahal email itu membuatnya tak nyenyak tidur dua hari ini. Entahlah.

Anehnya, malam setelah membaca email itu Cahya bermimpi benar-benar ke Tibet bersama Wie, nama asli laki-laki itu.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun