Mohon tunggu...
Estri shinta
Estri shinta Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis kambuhan, mari berbagi kata dan sapa

Salam hangat, sahabat Kompasiana! Selamat datang di beranda saya. Jangan ragu untuk berbagi komentar, kritik, ataupun saran. Harap maklum jika isinya campur-campur, persis pemiliknya yang random, 😍. Salam kenaaal, 🙏🙏

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel : Borobudur Masih Menunggu #3

22 Desember 2014   21:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:42 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


http://www.kompasiana.com/dashboard/write/silfi555555?le=712064

Paris Van East Java 13 tahun silam,

Jodoh Kunto Bimo dan Insiden Memalukan

Slide Story,

Ketika Cahya masih berseragam putih abu-abu….

Teetttt…!!

Bel panjang berbunyi.

Siang itu jam istirahat, Dona tergopoh-gopoh menghampiriku. Dona adalah sahabat terbaikku di sekolah ini. Meski cara berpikirnya aneh, tapi aku menyukainya sejak kelas satu SMU. Dia adalah gadis bule yang cantik, yang membawa keceriaan dan cerita yang berbeda dari teman-teman kebanyakan. Sepertinya ada hal penting yang ingin ditanyakannya.

"Psst, Cahya! Sini deh!" Dona menarikku ke ujung koridor, lalu mendudukanku di sebuah bangku kayu di bawah pohon trembesi.

Aku menurut dan menunggu.

"Kamu pernah berciuman nggak?"

Tuh kan?

"Hmm?" Soal ciuman lagi? Aku heran dengan pertanyaannya yang aneh-aneh. Apa coba maksudnya? Apakah ini ada hubungannya dengan mimpiku beberapa tahun kemudian? "Maksudmu, Don?" Aku tak mengerti.

"Iya… berciuman…." Lalu Dona duduk tepat di sampingku dan menjelaskan, "Begini Cahya, maksudku… kamu pernah nggak, berciuman… sama cowok. Ya mungkin kamu sama Wie mungkin…."

"Kenapa kamu tanya begitu?" Aku mulai curiga.

Dona menggedikan bahunya. "Habis ngelihat cewek-cewek di sini aneh. Reseh! Mereka itu memang polos atau pura-pura polos? Nggak dandanannya, nggak sikapnya. Mereka suka bisik-bisik ngomongin aku. Kamu pasti pernah dengar, tapi kamu nggak pernah menyampaikannya padaku, iya kan? Memangnya mereka segitu baiknya apa?"

"Oo… jadi kamu sakit hati sama sikap mereka?" Aku menebak, mulai memahami arah pembicaraan Dona.

"Ya iyalah. Norak!"

"Ya wajarlah mereka bersikap begitu. Kamu terlalu bebas. Trus, kalau sudah tau aku pernah berciuman atau belum, kamu mau ngapain? Juga, apa hubungannya dengan teman-teman cewek kita itu?"

"Sudah, jawab saja!"

“Ya nggak bisa dong, aku harus tau alasannya.”

“Jawab dulu!” Dona ngotot.

Aku pura-pura berpikir, lalu menggeleng pelan.

Dona terlihat ragu. "Ah?”

Kuberikan huruf ‘V’ di jariku.

“Serius lo?!"

Aku mengangguk kecil.

"Kalian pacaran kan? Dan belum pernah berciuman?" Dona mengulang pertanyaannya.

Aku mengangguk lagi. Nggak mungkin kubeberkan hal yang menurutku paling pribadi, sekalipun kepada Dona – sahabatku sendiri.

Dona terdiam seperti sedang berpikir. “Kok aneh ya?” gumamnya.

"Maksudmu?"

“Ternyata benar cewek-cewek di sini tuh kolot dan kampungan. Nggak nyangka, kamu termasuk salah satunya."

"Don… berciuman itu dosa, bukan kolot atau kampungan," Aku memberi penjelasan. “Memang agamamu nggak melarang hal itu apa?”

"Agama?! Pacaran ma agama ya jelas nggak ada korelasinya lah…. Pantas…." Dona mengangguk-angguk, seperti memahami sesuatu.

Aku jadi penasaran. Dia bertanya seperti ini pasti telah terjadi sesuatu.

Lalu Dona tersenyum geli dan melanjutkan, "Kemaren, muka mereka tuh… dua-duanya nervous ketika kucium."

"Hah, mereka?!" Membuatku melongo.

Dona cekikikan.

Sesuai namanya, Dona memang menjadi primadona di sekolah ini. Selain cantik, dia supel dan gayanya selalu modis. Dia pindahan dari Jakarta – setelah bertahun-tahun di besarkan di Singapura. Dari model rambutnya saja sudah kelihatan, bahwa dia gadis kota yang sangat perduli dengan penampilan. Dia blesteran Singapura-Belanda-Depok. Makanya dia berkulit putih, berhidung mancung dan berpostur di atas rata-rata, tinggi langsing sehingga banyak cowok yang naksir sama dia.

Pacarnya datang silih berganti, seperti baju yang bisa dikombinasikan sesuai keinginannya, tak perduli dari yang bermobil sampai yang berjalan kaki. Dari yang satu sekolahan atau di luar SMU Pribadi Bangsa. Hebatnya, Dona bersikap baik pada semuanya. Sejauh ini sih belum ada masalah. Khusus buat cowoknya saja lho. Kepada cewek-ceweknya Dona suka sewot. Dia bilang cewek-cewek di sini reseh dan kampungan, selalu mau tau urusan orang lain. Dan dia benci pada cewek-cewek itu, terkecuali padaku tentunya. Katanya, hanya aku yang bisa mengimbangi jalan pikirannya yang terlalu modern.

"Bisa jadi, ini ciuman pertama bagi mereka…" Dona bergumam.

"Mereka?! Maksudmu dengan mereka bukan anak sini kan?" Aku khawatir sekaligus penasaran. “Siapa?!”

Dona cengengesan. "Salah sendiri mereka mau diduain. Kenapa ya di sini nggak ada yang sedikit pintar?"

Tuh kan, benar dugaanku. "Aduh Don…." Aku mulai kalang-kabut. "Kamu nggak boleh begitu dong, Don." Pasti sebentar lagi terjadi huru-hara.

"Eh, tapi seru juga lho pacaran sama mereka?"

"Kamu tau kan, ini kota Malang Don, daerah…. Jangan samakan mereka dengan cowok-cowok kota seperti teman-temanmu dulu, yang berasal dari Jakarta. Kamu nggak boleh mempermainkan perasaan mereka."

"Habis mereka tuh kege-eran banget dan gombalnya setinggi langit. Gemes tau nggak jadinya?"

"Trus sebagai wujud gemas kamu, kamu memacari mereka dua-duanya, gitu? Pakai acara ciuman lagi."

Dona cengengesan.

“Siapa?” Aku menyelidik.

Dona berahasia.

"Memang kamu nggak takut hamil apa?"

"Hamil?!" Dona semakin geli. "Cahya, … Cahya, ciuman tuh nggak bikin kita hamil… kalau berhubungan badan, baru itu hamil!

Sebebas itu? Nah lho. Kalau diawali ciuman trus keterusan, bagaimana? Tapi Dona tak perduli dengan kekhawatiranku, gadis bule pindahan dari Jakarta itu ngeloyor pergi begitu saja meninggalkanku.

*****

SMU Pribadi Bangsa terkenal sebagai SMU elite di kota Malang. Gedungnya megah dengan arsitektur kolonial, dengan jendela-jendela seukuran daun pintu dan lorong-lorong penghubung yang terus dilestarikan dari peninggalan Belanda.

Aku merasa beruntung bisa bersekolah di sini. Selain lingkungan belajarnya enak, fasilitasnya lengkap, teman-temanku sangat kompak. Juga… karena sekolah di sinilah aku bisa bertemu dengan Wie.

Waktu itu tanggal 2 Februari, kelas dua SMU semester awal. Sekolahku mengadakan study tour ke Yogyakarta. Tentu saja acara jalan-jalan ini kusambut dengan antusias.

Sehari sebelumnya sudah kupersiapkan dengan matang. Baju ganti, kamera, jaket dan perlengkapan lainnya kumasukan jadi satu dalam tas ransel ukuran sedang. Aku janjian sama Dona memakai T-shirt kembar biar kompakan. T-shirt itu sengaja kami beli di Ramayana seminggu sebelumnya. Rencananya, sepanjang study tour nanti akan kami isi dengan foto-foto dan berbagai hal seru. Tak perduli dengan tugas yang wajib diserahkan setelahnya. Pikiran kami lebih fokus ke senang-senang dan jalan-jalan.

Dona selalu menjadi sahabat yang menyenangkan bagiku. Kemana-mana kami berdua, se-bus berdua, kamar pun berdua. Kami menginap di hotel kelas melati tepat di pinggir pantai Parangtritis dan berebut selimut karena dinginnya. Kurasa aku sudah mengenal baik dirinya, rupanya tidak sepenuhnya benar. Membuatku kaget dan geli di pagi harinya.

“Aww?!” Aku pura-pura histeris saat melihatnya keluar kamar ganti dengan baju renang seksi. Seperti melihat kecoak. Kudorong dia masuk kembali kamar ganti sebelum teman-teman lain melihatnya.

“Kenapa-kenapa?!” Dona panik.

Dasar gadis bule. Persis foto sesion majalah Playboy.

“Kau nggak takut? Nyi Roro Kidul bisa marah melihatmu begini.” Aku mencari akal untuk menakut-nakutinya.

“Oya?” dia bertanya bingung.

Kujelaskan dengan suara horor. “Kau bisa diculik dan nggak kembali. Kau tau kan, prajurit pantai selatan adalah penyuka gadis-gadis cantik. Kau bisa menjadi tumbal. Pakailah baju yang sopan!”

“Ini baju renang tersopan yang kupunya, Cahya.”

“Pakai saja baju olahraga.”

“Tapi… ini bukan bikini?” tanyanya masih bingung.

“Ada corak hijaunya, itu yang nggak boleh. Ganti!”

Dia masih saja bingung. “Lagian hei, gimana aku bisa berenang tanpa baju renang?”

Aku tak mau berdebat, kuserahkan padanya. Dan akhirnya dia menurut dengan cemberut, berganti dengan baju olahraga sebagaimana yang kukenakan. Yang penting dia menurut.

Aku lebih mengenal Dona sekarang, bahwa dia adalah gadis bule yang sedang menyesuaikan diri. Meskipun dia tinggal di sini, pemikirannya masih seorang bule. Kurasa dia hanya butuh pemakluman dari orang-orang di sekelilingnya. Buktinya, dia selalu menuruti kata-kataku. Dan kami tak membahasnya lagi soal baju renang itu.

Dona membuatku jadi foto model dadakan setelahnya. Sambil bermain ombak, ada-ada saja pose yang dia punya. Paling tidak satu foto harus berbeda gaya dan latar belakang, begitu dia bilang. Kami pun segera mencari latar belakang yang bagus, menemukan sebuah batu karang berdiri kokoh di ujung pantai. Kalian tau siapa yang akhirnya diculik? Itu aku.

Mungkin terkena tulah. Mungkin karena terlalu bersemangat, aku terpeleset jatuh dan terbawa ombak hingga beberapa meter. Dona menjerit-jerit ketakutan saat gapaian tangannya tak menjangkauku. Aku panik dan berusaha sekuat tenaga melawan arus, tapi tak berhasil. Ombak terus menyeretku hingga menenggelemkan badanku. Air tertelan dan aku tak bisa bernapas. Lalu sepi.

Saat sebuah tangan menarik badanku, kuduga itu adalah prajurit pantai selatan yang telah menculikku (seharusnya adegan ini direkam dalam slow motion!).

Setengah pingsan. Dibawanya aku ke pinggir pantai sebagaimana tim SAR menyelamatkan korban dengan cekatan. Liat dan hangat badannya! Ketika kubuka mata, cowok bermata sipit itu melihatku dengan pandangan geram. Hidungnya bangir, tapi matanya sipit.

"Mau bunuh diri?" Cowok itu melihatku tegang. “Kan sudah ada papan peringatan di situ jangan melanggar batas?”

Aku bergidik menyadari kecerobohanku. Sepi di sini. Dona pun pergi entah kemana. Jadi kalaupun aku tenggelem dan Dona satu-satunya temanku tak bisa menyelamatkanku bisa jadi aku mati di sini.

Tak berapa lama Dona datang bersama beberapa guru dan teman. Rupanya dia pergi mencari bantuan. Dona langsung menubrukku dan menangis sejadinya. Teman-teman mengerubungiku, bertanya ini-itu. Dan cowok itupun menghilang sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih. Prajurit pantai selatan kah?

Selanjutnya, acara ke Borobudur kuikuti dengan trauma yang masih membayang. Penjelasan pemandu wisata kucatat dengan asal. Dona juga tak sesemangat tadi. Dia masuk ketakutan.

Masuk di pelataran candi membuatku takjub. Aku berpikir, bagaimana orang-orang jaman dahulu bisa membuat bangunan yang begitu megah hanya dengan alat-alat seadanya? Tak mudah membuat relief-relief yang rumit dari ukiran batu. Dengan penjelasan yang sangat detail mengenai kehidupan di dunia sampai di akhirat. Mereka pastilah orang-orang sakti.

Tiba-tiba aku terusik melihat kerumunan orang menjulur-julurkan tangan ke sebuah stupa. Sedang apa mereka?

Kudapat penjelasan bahwa di sini, di Borobudur terdapat sebuah arca yang dapat mengabulkan setiap permintaan bagi siapa saja yang berhasil menyentuhnya – dialah Kunto Bimo, arca favorit yang dikerumuni banyak orang. Bagi laki-laki akan terkabul keinginannya bila berhasil menyentuh bagian tangan, sedang wanita akan terkabul keinginannya bila berhasil menyentuh bagian kaki. Benarkah?

Karena penasaran aku pun mencobanya. Kupanjatkan sebuah do’ayang konyol. Aku meminta supaya dipertemukan jodohku di sini. Ketika tanganku berhasil menyentuh tumitnya, kubuka mata dan blash! Seperti jin yang tiba-tiba muncul di depanku. Dia lagi? Tidak lain dan tidak bukan dialah cowok bermata sipit yang menyelamatkanku di pantai Parangtritis tadi pagi. Si Prajurit Pantai Selatan!

Aku tergugu. Manusiakah dia….

Galaknya hilang berganti dengan senyum tengil yang tak kumengerti. Untuk selanjutnya aku tak tau apakah mitos itu benar adanya. Nyata-nyata dia berseragam sama denganku – putih abu-abu. Rupanya dia anak SMU yang juga study tour, tujuan wisatanya pun sama denganku. Benarkah Kunto Bimo telah menjodohkan kami?

Sesudahnya, dia seperti cowok yang terkena pelet olehku. Menguntitku kemanapun aku pergi sampai aku jadi ketakutan sendiri. Anehnya, tiap melihatnya hatiku pun jadi berdebar-debar.

“Cahya, cowok itu dari tadi ngikutin kita terus deh.” Dona mulai curiga.

Di sepanjang rute di Borobudur, dia terus-terusan membuntuti kami. Tiap aku menoleh, dia tertunduk. Ketika aku jalan dia pun ikutan jalan di belakangku. Aku jadi merinding. Apa maunya ya? Akhirnya aku pun memberanikan diri menyapanya. Meskipun dia sudah menyelamatkanku tak sepantasnya dia mengutitku.

“Hai.” Kuhampiri dia dengan dada berdebar.

Dona mengawasiku dari kejauhan, takut aku diapa-apain.

Cowok bermata sipit itu terlihat kikuk. "Kamu, mm… “ Dia garuk-garuk kepala. “… anak Pribadi Bangsa ya?" tanyanya kemudian to the point.

Aku mengangguk kecil. Sudah pasti dia membaca baju olahraga yang kupakai di Parangtritis tadi pagi.

“Kenalkan, namaku Ping Wie. Panggil saja Wie.”

Ehh, dia malah ngajak kenalan. Kusambut uluran tangannya tanpa menyebutkan namaku.

“Aku sekolah di St. Carolus, nggak jauh kok dari sekolahmu.”

“Oh, Arema juga?” Aku baru ngeh kalau dia berasal dari kota yang sama denganku. Mitos Kunto Bimo terlintas lagi. Sebuah kebetulan jika dia berasal dari kota yang sama denganku. “Thanks ya. Kamu sudah menyelamatkanku tadi pagi. Aku nggak tau apa jadinya kalau nggak ada kamu saat itu.” Rasanya tak sopan jika aku tak berterima kasih padanya.

Cowok itu mengangguk. Namanya Wie. “Maaf.” Kurasa dia tau kalau aku mencurigainya. “Jangan takut ya. Aku nggak berniat jahat kok. Sebenarnya dari tadi aku ingin menyampaikan sesuatu sama kamu.” Dia telihat jengah.

Ramalan Kunto Bimo, Kunto Bimo….

Membuatku berpikir,

“Aku menunggu saat yang tepat. Tapi temanmu terus berada di sampingmu sih.”

“Dona?”

“Ya, yang bule itu. Aku takut membuatmu malu atau tersinggung jika kusampaikan di depan temanmu. Tapi janji ya, kamu jangan marah atau malu.”

“Ya?” Hatiku dag-dig-dig, gerangan apa yang akan disampaikannya?

Wie celingak-celinguk, memastikan tak ada orang yang mendengar. Dona menjadi mengintai amatir. Saat Wie melihatnya, dia pura-pura menawar sebuah gelang manik-manik di pelataran Borobudur.

“Itu,” Wie berbisik sambil menunjuk sesuatu dengan matanya kearahku.

“Hmm?”

“Resleting rokmu kebuka.”

Aku blank!

Seperti itulah Tuhan mengatur pertemuan kami.

*****

Meski mitos Kunto Bimo sempat tercoreng oleh insiden memalukan itu, hatiku tetap berbunga-bunga. Aku meyakini mitos itu benar adanya. Karena, selanjutnya pertemuan kami diwarnai dengan hal-hal yang indah.

Sangat kuhargai bahwa dia tak mengungkitnya lagi. Dia bilang hal memalukan bisa terjadi pada siapa saja dan aku setuju. Dua hari setelah study tour dia menjemputku di gerbang sekolah. Kusebutkan namaku dengan wajah berbinar.

Jujur, aku mulai menyukainya karena dia blak-blakan, tidak dibuat-buat. Dan dia menyukaiku karena aku gadis yang manis – katanya, meskipun sedikit teledor tapi aku lucu -katanya.

Seperti itulah pertemuan kami.Secepat kilat kami berinteraksi. Terhitung 10 hari setelah pertemuan pertama kami dia menyatakan rasa sukanya padaku dan aku pun langsung menerima cintanya. Tepatnya tanggal 12 Februari akhirnya kami pacaran.

Sejak itu Wie sering mengantar-jemput aku setiap hari. Merajut cerita dengan kebersamaan yang indah. Membuat romansa-romansa konyol. Perjalanan cinta kami mengalir begitu indah.

Seperti pagi ini, seperti pagi sebelumnya dan sebelumnya lagi….

(seharusnya diiringi dengan lagu pop remaja yang keren layaknya sinetron-sinetron di televisi)

Wie melarikan motornya dengan kecepatan 100/km perjam, seharusnya aku sudah terbiasa. Meskipun sedikit ngeri karena kami berdua tidak memakai helm. Memang, gara-gara ini nih kami tadi dikejar polisi. Pakai motor balap, dengan seragam sekolah masuk ke jalan raya nggak pakai helm = nyari penyakit.Mana polisinya berwajah galak lagi. Bisa dikeplaki kalau ketangkap.

Untung yang mengemudikan motor adalah pembalap profesional yang sangat kupercaya. Sehingga kami bisa lolos dari kejaran polisi. Memang, Wie selain hobi kebut-kebutan juga sering main roda gila di pasar malam yang sering singgah di kota kami. Tak jarang aksinya itu membuat kepalaku berdenyut sakit.

Aku pernah melihat atraksinya. Motor balapnya berputar-putar di dalam Tong Setan yang berbentuk kerucut terbalik., berputar dan terus berputar sambil sesekali mengambil uang saweran dari para penonton. Hasil yang didapat tak sebanding dengan resiko yang ditanggungnya. Tapi apa mau dikata, itu adalah hobi yang ditekuninya jauh sebelum mengenal aku.

Dari hobinya itu dia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri meski dia bukan tergolong dari keluarga kurang mampu. Kemauannya banyak. Aksesoris motor balapnya berganti setiap saat karena Wie akan sangat gengsi mengendarai motor yang begitu-begitu saja – motornya haruslah menjadi tren setter di Malang. Untuk itulah setiap saat dia butuh duit, lumayanlah buat gonta-ganti pernak-pernik motor. Jadi tak ada alasan buatku untuk melarangnya.

Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya (dia selalu kesiangan bangun pagi), ditebusnya dengan mempercepat laju motornya supaya kami tidak terlambat sekolah. Jam tujuh kurang lima menit dia sudah menurunkanku di gerbang sekolah. Seperti biasa sekolah sudah ramai dan hampir saja Pak Sardi, satpam sekolahku menutup gerbang.

"Hati-hati ya Wie." Aku melambaikan tanganku.

Wie tersenyum, memamerkan giginya yang putih bersih. Matanya jadi semakin sipit yang sering membuatku gemas bila melihatnya. Setelah meraung beberapa saat motor itupun melaju lagi dengan kencang.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun