Perangai Umar bin Khattab Sebelum dan Setelah Memeluk Islam
Sebelum Umar bin Khattab masuk Islam, ia menjadi musuh utama nabi, yang paling keras menentang dan memerangi dakwah Nabi Muhammad, maka pantas ia diberi julukan Abu-Hafs (Si singa padang pasir) perangainya yang keras dan kasar serta keberaniannya yang tak takut pada siapapun. Namun setelah memeluk Islam, ia menjadi orang yang paling terdepan untuk membela dan melindungi Nabi Muhammad, kemudian juga ia diberikan gelar al-Faruq oleh Nabi, menjadi “pemisah”, yang namanya akan disebut-sebut dengan penuh kagum, dan sekaligus rasa hormat hingga akhir zaman (Husain: 2002, 21).
Umar bin Khattab berasal dari keturunan suku Bani ‘Adi, yang merupakan satu di antara cabang suku Quraisy.[1] Ayahnya bernama Al-Khattab bin Nufail sedangkan ibunya bernama Hantamah binti Hasyim.
Umar muda memiliki tubuh yang kuat dan kekar, ia tumbuh lebih cepat daripada teman-teman sebayanya. Sejak mudanya ia sudah sangat terlatih dalam olahraga seni bela diri yakni olahraga gulat dan menunggang kuda.[2] Sikap keras dan kasar yang dimiliki Umar boleh jadi merupakan hasil dari didikan sang ayah yang berperangai keras.
Umar memang tidak kaya, dan ayahnya pun tidak pernah menjadi orang yang kaya, karena Bani ‘Adi juga bukan merupakan suku yang begitu terpandang di kalangan Quraisy. Selama hidupnya Umar dipenuhi kesederhanaan, padahal ia berdagang seperti masyarakat Mekkah pada umumnya. Boleh jadi wataknya yang keras itu menyebabkannya tidak pernah bernasib baik dalam dunia perdagangan, berbeda dengan rekan-rekannya yang mulus (Husain: 2002, 15).
Ketika datangnya Islam dan tersebar melalui dakwah Nabi Muhammad, Umar tergolong orang yang sangat keras dan kejam serta begitu berani dalam melawan kaum Sabi’ — golongan tersebut telah berpaling dari kepercayaan leluhur, sampai ia pun berusaha mengancam mereka yang menjadi pengikut Nabi Muhammad. Sikap keras dan mudah marahnya Umar yang menyebabkan ia bertindak keras berlebihan.
Sampai pada puncaknya di mana hatinya memberontak, berkeinginan untuk menghabisi Nabi Muhammad dan ajarannya itu. Ia berpendapat keadaan ini baru bisa teratasi jika ia segera mengambil tindakan tegas (Husain: 2002, 23). Kemudian, ia pergi untuk bertemu Nabi Muhammad dan berniat untuk membunuhnya.
Namun niatnya itu ia urungkan, saat ia menemui iparnya Said bin Zaid dan adiknya Fatimah binti Khattab untuk menanyakan perihal keislaman mereka. Lalu Umar meminta untuk dibacakan lantunan ayat al-Qur’an yang ia curi-curi dengar sebelum sesampainya masuk ke dalam rumah mereka. Dibacakanlah surat Ta-Ha yang mereka baca tadi dan Umar memujinya “Aduhai indahnya dan sangat mulia kata-kata (ayat-ayat) ini.”[3] Sehabis mendengar ayat al-Qur’an itu, hati Umar bergejolak untuk masuk Islam, dan ingin langsung berikrar di hadapan Nabi Muhammad.
Masuk Islamnya Umar disambut baik dan gembira oleh kaum Muslimin. Terkabulnya Nabi, beliau senantiasa berdoa “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan masuknya salah satu di antara 2 Umar yaitu Abul-Hakam bin Hasyim (Abu Jahl) atau Umar bin Khattab. Kemudian Allah memperkenankan Umar bin Khattab untuk Islam.” (Husain: 2002, 31).
Masuknya Umar ke dalam Islam memberikan pengaruh besar terhadap ekspansi dakwah Nabi Muhammad. Dakwah Islam yang awalnya disyiarkan dengan cara sembunyi-sembunyi, beralih menjadi terang-terangan begitu Umar memeluk Islam (Husain: 2002, 38). Umar yang tegas dan bijaksana dalam mengambil keputusan, maka Nabi Muhammad memberikan gelar kepadanya al-Faruq yang berarti pemisah atau pembeda antara yang hak dan yang bathil.
Setelah Nabi wafat, urusan memimpin agama sekaligus kepala pemerintahan digantikan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama Khulafaur Rasyidin (Yatim: 2008, 35-36). Kemudian Abu Bakar wafat, lalu dipilihlah Umar bin Khattab sebagai pengganti dalam memimpin kaum Muslimin.