Aku iri dengan semua yang ada di sekitarmu sekarang. Aku hanya orang luar yang tidak tahu harus membahas apa jika kamu sedang berkumpul dengan teman-temanmu. Aku iri dengan keempat istrimu yang selalu kamu tatap, pikirkan dan ingat setiap kamu baru saja bangun tidur. Ya, sekali lagi. Aku hanya orang luar yang bisanya memandangmu dan istri-istri setiamu. Memasak dan menyiapkan makanan untukmu, menuangkan air putih untukmu, membereskan bekas makanmu, mencucikan bajumu meski tanganku sering panas terkena air deterjen, menatapmu dan istrimu pergi hampir setiap hari, merapikan seisi rumahmu, dan menunggumu kembali pulang bersama istri-istrimu. Aku yang memastikanmu tidak jatuh sakit meski seringkali aku menahan sakitku ketika kamu mengeluh tidak enak badan. Pernah beberapa kali aku mengatakan padamu bahwa aku merasa sakit tetapi aku selalu diluluhkan oleh kata-kata, “Aku nggak enak badan”. Aku semakin malas mengurus diriku sendiri. Yang menjadi kewajibanku adalah mengurusmu, setidaknya itu yang orang tuamu pesankan kepadaku.
Maaf, Tuan. Aku terlalu menyayangimu. Aku mencintaimu. Meski dalam sehari hanya beberapa menit kita bertegur sapa. Meski dalam seminggu hanya sekilas lalu kita bertemu. Meski dalam sebulan jarang aku melihatmu tenang di dalam rumah bersama keempat istrimu. Maafkan aku, Tuan. Maafkan orang luar ini yang selalu membayangkan betapa indahnya jika kelak mati dalam pelukanmu.
Jauh dari rumah, 05 Maret 2014
Rekan seatapmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H