Mohon tunggu...
Raja mataniari
Raja mataniari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bebas

Penulis Realis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan dan Budaya, Indonesia Mau Berjalan ke Arah Mana?

6 Mei 2019   00:24 Diperbarui: 6 Mei 2019   01:02 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Negara kepulauan seperti Indonesia memang memiliki banyak kekhususan terutama dalam mendorong kebangkitan apa yang oleh founding Father bangsa Indonesia.  Namun sampai hari ini kebanyakan rakyat mengalami kondisi yang memprihatinkan.

Dari era kolonialisme sampai hari ini nasib rakyat tidak mengalami kemajuan yang cukup baik. Jika kita sepakat, bahwa untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan membutuhkan pendidikan. Maka negara tidak bisa lari dari tanggung jawabnya atas pendidikan.

Sejak kebangkitan nasional yang mengintegrasikan suku bangsa di wilayah nusantara. Pendidikan modern memiliki peran yang sangat besar dalam menandai kebangkitan kesadaran rakyat yang dipelopori oleh intelektual muda kala itu. Sebut saja ada Ki Hajar dewantara, Mohammad Syafei, dan Willem Iskander.

Seperti Ki Hajar dewantara terkenal dengan filosofi Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Atau di Depan jadi Teladan, di tengah membangun kemauan niat dan dibelakang memberikan dorongan dan semangat.

Moehammad Syafei dengan gagasan bahwa pergerakan nasional Indonesia hanya akan berhasil mencapai tujuannya dengan sepat dan tepat, karena kemerdekaan tidak akan mungkin diperoleh dengan beberapa orang pimpinan saja, tetapi harus didukung oleh seluruh rakyat.

Untuk itu kecerdasan rakyat harus ditingkatkan, sehingga rakyat juga ikut berjuang dan agar perjuangan mencapai tujuannya. Untuk itu pendidikan harus ditingkatkan pula yaitu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan perjuangan mencapai Indonesia merdeka.

Wiliem iskandar menerjemahkan bahwa pendidikan sebagai sarana untuk memerdekakan. Bukan lewat senjata, pendidikan adalah searana yang dipilihnya untuk berjuang, karena hanya lewat ilmu pengetahuanlah bangsa bisa merdeka. Ada pula tokoh politik sekaligus praktisi pendidikan seperti Tan Malaka yang membangun ide pendidikan itu adalah untuk mempertajam kecerdasan, meperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan.

Cukup banyak tokoh pergerakan Indonesia yang diawal-awal bercita-cita memerdekakan bangsa dengan meningkatkan kecerdasan dengan jalan pendidikan. Alam penjajahan yang sampai hari ini juga kita rasakan secara ekonomi dan politik seyogianya menyadarkan kita bahwa Pendidikan cita-cita tokoh pergerakan masih sangat cocok dan komprehensif.

Pendidikan di Indonesia telah benar-benar tergila-gila pada pendidikan ala eropa yang tergila-gila dengan metode pendidikan. Namun di Indonesia, pendidikan itu telah berjalan disela-sela kehidupan rakyatnya. Budaya Indonesia yang kaya akan nilai filosofi adalah sebuah konsep pendidikan sosial yang senantiasa menjaga kehidupan rakyat pada nilai-nilai kemanusiaan, walau watak feodalisme yang harus kita tinggalkan, namun budaya lokal yang kaya itu adalah modal dasar kita membangun kebangkitan bangsa kita.

Pengikisan budaya

Setiap zaman akan membuat resiko tersendiri terutama semakin antiknya budaya dan hanya jadi pajangan tidak untuk di amalkan. Kemajuan teknologi adalah sesuatu hal yang tidak bisa di bantah, namun nilai pakai teknologi itu harus kembali di refleksikan sebagai upaya penalaran aksiologi. Seberapa penting dan bergunanya teknologi itu bagi kemanusiaan.

Budaya yang ada hari ini adalah sisa-s budaya eksploitasi dari era feodalisme dan kolonialisme. Akan tetapi budaya kerakyatan yang mengangkat sisi-sisi produksi rakyat seperti gotong royong, kebersamaan dan lain sebagainya adalah nilai luhur rakyat menjaga solidaritas dengan tata nilai dan tata budaya yang berbeda-beda.

Menjaga budaya bukan saja menjaga hasil produksi budaya seperti Batik, Ulos, Wayang dan produk budaya fisik lainnya. Akan tetapi menjaga budaya adalah menjaga nilai sosial yang hanya bisa ditransformasikan oleh pendidikan yang komprehensif, pendidikan Formal, Informal dan nonformal harus memiliki irama yang sama untuk menjaga nilai budaya yang ada.

Melihat anak muda yang berjumlah seperempat penduduk Indonesia lebih gemar pada budaya barat atau eropa bukanlah satu-satunya ancaman budaya. Namun yang paling prinsip adalah tidak adanya sistem pendidikan nasional yang berbasiskan kemanusiaan.

Pendidikan Indonesia hari ini memiliki keberpihakan pendidikan pragmatis, pendidikan untuk apa dan dapat apa. Tidak lagi menjadi pendidikan yang untuk memanusiakan manusia. Dan ironisnya pemerintah dari pusat sampai daerah terlibat untuk melarikan diri dari tanggung jawab pendidikan terhadap segenap rakyat Indonesia.

Komersialisasi pendidikan

Semakin miskin rakyat Indonesia, selain tidak memiliki kapasitas untuk mengelola sumberdayanya, juga tidak memiliki jaminan untuk dapat merasakan pendidikan sebagai alat mempertajam kecerdasan. Pemerintah selalu mengeluh soal rendahnya tingkat pendidikan Indonesia sehingga kekayaan alam sama sekali tidak bisa kita kelola sendiri.

Tapi gagasan itu adalah gagasan paradoks dan naif. Seakan-akan tidak melihat dan mendengar, pemerintah telah menutup indera perasanya dalam menelisik semakin banyak anak Indonesia dari sabang sampai marauke yang tidak terpapar pendidikan. Fakta dilapangan pendidikan semakin mahal, dan ada skema pembiaran kualitas pendidikan negeri tidak mengalami peningkatan kecerdasan.

Perdagangan pendidikan tidaklah kenyataan yang tiba-tiba datang dari ruang hampa. Situasi yang sim salabim membuat pendidikan tiba-tiba menjadi barang dagangan. Indonesia telah terikat dengan perjanjian internasional, General Agreement Trade and Servives (perjanjian perdagangan dan jasa) yang ditandatangani tahun 2005 setelah melewati putaran diskusi yang panjang sejak tahun 1994.

Sejak meratifikasi pendidikan Indonesia jadi berwatak pragmatik, maka pendidikan menjadi salah satu barang dagangan yang harus mulai dilepaskan negara secara perlahan. Maka hadirlah pendidikan yang mahal, menjadi semakin jauh dari kemampuan rakyat mendapatkannya. Maka sudah hilang nilai pendidikan para perintis pendidikan nasional kita, alih-alih semakin berkualitas, pendidikan sekarang tidak lebih menyiapkan tenaga kerja di pasar ketenagakerjaan.

Konsep Link and Match saat ini mulai menemukan bentuknya. Pendidikan telah didasarkan pada kebutuhan industri, seakan-akan jaminan pekerjaan setelah mendapatkan pendidikan adalah satu-satunya guna pendidikan itu.

Setiap sekolah sekarang berlomba-lomba menjadi makelar pekerjaan pada perusahaan-perusahaan, dan tentu upaya mendapatkan akses itu tidak murah dan menjadi salah satu faktor meningkatnya biaya pendidikan. Padahal pendidikan seperti itu hanya menjadi sebuah bom waktu yang membuat Indonesia akan semakin menjauh dari kedaulatan ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya dan selainnya.

Pendidikan sosial

Jika diukur tingkat pendidikan di Indonesia hari ini menurun baik secara akses, secara kualitas, secara dinamika dan secara orientasi. Sehingga tidaklah mengherankan berbagai kondisi social hari ini tidak begitu mendukung perbaikan peradaban dan kebudayaan.

Semangat pendidikan untuk mengisi kemerdekaan adalah semangat produktif dalam membangun kerangka berfikir manusia Indonesia yang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Sehingga setiap manusia di Indonesia ini mampu diharapkan untuk membangun ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang produktif.

Pendidikan sosial saya kira adalah jawaban atas soal pendidikan hari ini di Indonesia, pendidikan ini adalah proses pembelajaran yang segala instrumennya baik kurikulum dan silabus dengan media, model dan metodenya mampu melihat bahwa peran pendidikan adalah peran mahkluk berfikir.

Peran diantara salah satunya tidak dapat meiliki kedudukan yang berbeda. Bahwa pendidik setara sebagai manusia dengan yang didiknya, ini adalah upaya bagaimana memebrikan pengalaman baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik kepada yang dididik agar tetap memiliki harga diri sebagai makhluk yang berfikir.

Pendidikan sosial ini juga mengembalikan titah pendidikan itu sendiri sebagai upaya pembelajaran pada manusia. Bahwa manusia adalah obyek dan sekaligus subyek pendidikan, setiap pengajar harus belajar dan setiap yang diajar harus terbuka memberikan kritik atas kesalahan pengajarannya, kritik yang dimaksud adalah evaluasi atas kesesuaian kurikulum dan perangkatnya terhadap dinamika dan lingkungan social manusia itu sendiri terutama di Indonesia. Sehingga pendidikan tidak lagi terpisah dengan kehidupan sehari-hari dan selalu berseluk beluk dengan kebutuhan rakyat.

Itu sudah dilakukan oleh beberapa organisasi dan komunitas yang membangun pendidikan sosial dengan metode Bimbingan belajar, dan Kelompok studi dan itu harus difasilitasi oleh negara, tidak saja mengharapkan rakyat sendiri yang menjalankannya. Karena Pendidikan Adalah Tanggung jawab Negara, Negara berpihak kepada siapa kita lihat saja dari arah pendidikan kita !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun