Mohon tunggu...
Raja mataniari
Raja mataniari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bebas

Penulis Realis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan dan Budaya, Indonesia Mau Berjalan ke Arah Mana?

6 Mei 2019   00:24 Diperbarui: 6 Mei 2019   01:02 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Budaya yang ada hari ini adalah sisa-s budaya eksploitasi dari era feodalisme dan kolonialisme. Akan tetapi budaya kerakyatan yang mengangkat sisi-sisi produksi rakyat seperti gotong royong, kebersamaan dan lain sebagainya adalah nilai luhur rakyat menjaga solidaritas dengan tata nilai dan tata budaya yang berbeda-beda.

Menjaga budaya bukan saja menjaga hasil produksi budaya seperti Batik, Ulos, Wayang dan produk budaya fisik lainnya. Akan tetapi menjaga budaya adalah menjaga nilai sosial yang hanya bisa ditransformasikan oleh pendidikan yang komprehensif, pendidikan Formal, Informal dan nonformal harus memiliki irama yang sama untuk menjaga nilai budaya yang ada.

Melihat anak muda yang berjumlah seperempat penduduk Indonesia lebih gemar pada budaya barat atau eropa bukanlah satu-satunya ancaman budaya. Namun yang paling prinsip adalah tidak adanya sistem pendidikan nasional yang berbasiskan kemanusiaan.

Pendidikan Indonesia hari ini memiliki keberpihakan pendidikan pragmatis, pendidikan untuk apa dan dapat apa. Tidak lagi menjadi pendidikan yang untuk memanusiakan manusia. Dan ironisnya pemerintah dari pusat sampai daerah terlibat untuk melarikan diri dari tanggung jawab pendidikan terhadap segenap rakyat Indonesia.

Komersialisasi pendidikan

Semakin miskin rakyat Indonesia, selain tidak memiliki kapasitas untuk mengelola sumberdayanya, juga tidak memiliki jaminan untuk dapat merasakan pendidikan sebagai alat mempertajam kecerdasan. Pemerintah selalu mengeluh soal rendahnya tingkat pendidikan Indonesia sehingga kekayaan alam sama sekali tidak bisa kita kelola sendiri.

Tapi gagasan itu adalah gagasan paradoks dan naif. Seakan-akan tidak melihat dan mendengar, pemerintah telah menutup indera perasanya dalam menelisik semakin banyak anak Indonesia dari sabang sampai marauke yang tidak terpapar pendidikan. Fakta dilapangan pendidikan semakin mahal, dan ada skema pembiaran kualitas pendidikan negeri tidak mengalami peningkatan kecerdasan.

Perdagangan pendidikan tidaklah kenyataan yang tiba-tiba datang dari ruang hampa. Situasi yang sim salabim membuat pendidikan tiba-tiba menjadi barang dagangan. Indonesia telah terikat dengan perjanjian internasional, General Agreement Trade and Servives (perjanjian perdagangan dan jasa) yang ditandatangani tahun 2005 setelah melewati putaran diskusi yang panjang sejak tahun 1994.

Sejak meratifikasi pendidikan Indonesia jadi berwatak pragmatik, maka pendidikan menjadi salah satu barang dagangan yang harus mulai dilepaskan negara secara perlahan. Maka hadirlah pendidikan yang mahal, menjadi semakin jauh dari kemampuan rakyat mendapatkannya. Maka sudah hilang nilai pendidikan para perintis pendidikan nasional kita, alih-alih semakin berkualitas, pendidikan sekarang tidak lebih menyiapkan tenaga kerja di pasar ketenagakerjaan.

Konsep Link and Match saat ini mulai menemukan bentuknya. Pendidikan telah didasarkan pada kebutuhan industri, seakan-akan jaminan pekerjaan setelah mendapatkan pendidikan adalah satu-satunya guna pendidikan itu.

Setiap sekolah sekarang berlomba-lomba menjadi makelar pekerjaan pada perusahaan-perusahaan, dan tentu upaya mendapatkan akses itu tidak murah dan menjadi salah satu faktor meningkatnya biaya pendidikan. Padahal pendidikan seperti itu hanya menjadi sebuah bom waktu yang membuat Indonesia akan semakin menjauh dari kedaulatan ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya dan selainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun