Mohon tunggu...
Raja mataniari
Raja mataniari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bebas

Penulis Realis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Awas, Ilusi Demokrasi Liberal

7 Desember 2017   01:01 Diperbarui: 7 Desember 2017   01:12 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu demokrasi belakangan kembali mencuat akibat berbagai praktik anti demokrasi yang dilakukan oleh negara dan institusi lain di negara ini. Mulai dari pelarangan menyampaikan pendapat di istana oleh Gubernur jakarta, pembatasan kegiatan organisasi yang harus mendaftarkan ke kementrian hukum dan Ham. Oligarki kekuasaan pemerintah, watak partai politik borjuasi yang pragmatis, dan sirkus politik di gedung dewan yang menjadi manifestasi kualitas demokrasi di Indonesia.

Membicarakan demokrasi penting kembali di lihat agar tidak terjadi kekliruan dan penyimpangan demokrasi yang malah merugikan rakyat. Demokrasi bukanlah satu prinsip tata sosial yang tumbuh dari bawah tanah atau atas langit. Sistem tata kelola sosial adalah hasil perkembangan kualitas interaksi rakyat dari zaman feodalistik yang merenggut banyak hak rakyat di zamannya. Kelas sosial yang berhari depan untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Namun,  kesimpulan populis telah mendesak esensi demokrasi menjadi cenderung pragmatis.

Pemaknaan umum diserap dari presiden Amerika Serikat ke 16 ketika perang saudara, Abraham Lincoln definisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Atau menurut Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menegaskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Kenyataan sistem republik yang hari ini mengadopsi sistem pemerintahan Demokratik dengan azas trias politika (Legislatif, eksekutif dan yudikatif) ternyata tak berdampak banyak dalam partisipasi rakyat di kebijakan publik.

Pembagian kekuasaan dalam beberapa komponen politik tersebut dikaji oleh intelektual era revolusi abad pencerahan John Locke, kemudian oleh Montesquieu di sempurnakan dan banyak dipakai pada era saat ini. Sebenarnya pendekatan demokrasi dengan membagi kekuasaan diluar kehidupan rakyat atau kita sebut keterwakilan adalah paradoks demokrasi. Karena kekuasaan Rakyat kemudian tidak lagi secara utuh di dalam daulat rakyat, akan tetapi menjadi kekuasaan elit-elit tertentu. Oleh karenanya Demokrasi sejati tidak pernah terwujud dengan menggunakan keterwakilan komponen kekuasaan tersebut. Dan sistem pembagian ini bukan merupakan pola demokrasi yang absolut. Ada banyak pola demokrasi yang bertitik pada pola partisipasi rakyat dengan kesesuaian kondisinya.

Pendekatan demokrasi hari ini secara awam dipahami sebagai kegiatan Pemilihan atau Voting. Ini adalah hasil dari pelaksanaan keliru atas demokrasi yang berabad-abad menjauhi nilai luhur mondial demokrasi itu sendiri. Pengartian demokrasi oleh rakyat lambat laun tidak lagi dipahami sebagai upaya menentukan nasib sendiri dengan kekuatan kelompok/massa. Namun dipahami sebagai aktifitas momentual yang hanya melibatkan diri dalam beberapa menit saja, dan soal lain yang kemudian terjadi adalah diluar dari kuasa "pikiran" rakyat.

Menakar potensi totaliter di indonesia.

Era reformasi merupakan suatu masa yang memiliki semangat perubahan secara perlahan. Perubahan-perubahan yang terjadi di atur kemudian oleh komponen legislatif, eksekutif dan yudikatif. Berbagai isu pun bermunculan, mulai amandemen UUD sampai 4 kali, sistim multi partai, perombakan demi perombakan berbagai regulasi dan lain sebagainya. Namun hal itu kemudian berjalan tidak jauh beda dengan era Orde baru yang dikecam karen Korupsinya, Kolusinya, dan Nepotismenya. Konsepsi reformasi yang ditawarkan tidak banyak memberikan perubahan kepada rakyat, malah rakyat semakin tidak memahami pentingnya tatanan demokrasi sejati untuk menentukan nasibnya sendiri.

Program Azas tunggal yang dahulu menjadi indoktrinasi telaah pancasila secara monopoli telah menghasilkan suasan totaliter yang tak bisa di ganggu gugat. Memang demikianlah cara kerja demokrasi liberal mempertahankan pengartian dan pengertian atas kaidah-kaidah kerakyatan sesuai kemauan dan kepentingan penguasa. Dahulu banyak organisasi yang menolak sistem azas tunggal pancasila karena dianggap menolal kebhinekaan indonesia.

Dewasa ini berbagai upaya yang hampir mirip dan identik dengan apa yang dilakukan pada masa orde baru yang batu itu. Misalkan program bela negara yang menjadi agenda lintas kementerian untuk melakukan kegiatan-kegiatan semi militeristik, seminar-seminar kebangsaan yang memiliki satu pendekatan dan lain sebagainya. Dan hari ini sudah di ikuti oleh hampir semua mahasiswa setelah menjalani kegiatan orientasi pengenalan kampus.

Sejak tahun 2016 Menteri Pertahanan RI  Ryamizard Ryacudu mengusulkan program orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) bagi mahasiswa baru agar diganti dengan program bela negara. yang menurut beliau, program bela negara lebih bermanfaat bagi mahasiswa ketika berada di masyarakat ketimbang praktik perpeloncoan yang masih marak di kampus-kampus. Usulan tersebut sudah ia sampaikan ke Presiden. Sosok jendral dari masa orde baru ini mengambil contoh praktik perpeloncoan mahasiswa yang tidak berguna seperti mahasiswa disuruh mencari kodok. Contoh tersebut tidak mendidik bagi mahasiswa.( http://mediaindonesia.com/news/read/88275/menhan-usul-ospek-diganti-bela-negara.html) sebenarnyaini adalah propaganda pemerintah untuk memberikan kekeliruan alam fikir dalam melihat dinamika mahasiswa.

Logika yang dipakai oleh sang jendral seakan mau menggiring bahwa semua kegiatan mahasiswa yang tidak diketahui pemerintah adalah hal yang sia-sia. Dan sebenarnya tesis beliau sangat mudah terpatahkan dengan logika apa hubungannya kegiatan militeristik, dan seminar-seminar ideologi dengan Tri Dharma Perguruan tinggi yang sangat mulai. Pendidikan, penelitian dan pengabdian pada Masyarakat adalah konsepsi Intelektual yang kerakyatan, bukan kenegaraan. Puncak ilmu pengetahuan adalah mampu melahirkan perubahan-perubahan kontekstual bagi rakyat seperti halnya Demokrasi itu sendiri di kutip dari interaksi sosial dengan kaidah keilmiahan. sekali lagi program Bela negara tidak ada ubahnya dengan program P4 era Orde baru yang mengkanalisasi kaidah-kaidah kehidupan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun