Mohon tunggu...
Raja mataniari
Raja mataniari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bebas

Penulis Realis

Selanjutnya

Tutup

Money

Skema Liberalisasi Ekonomi Nasional dan Pengetatan Anggaran

29 November 2017   14:43 Diperbarui: 29 November 2017   15:11 2290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

A.Laba Bangsa Untuk Siapa ?

Air susu di balas air tuba, Sebuah pepatah lama di Indonesia ada di Indonesia, keadaan perbuatan baik di hadapkan dengan penindasan adalah wajah Indonesia hari ini. Tatkala sedang dengan gegap gempita mewarisi paham kapitalisme yang dengan ilusinya menjanjikan kesejahteraan membuat setiap elit politik dan partai politik gelap mata melihat rakyat. Parahnya malah menjadi bagian dalam penghisapan besar-besaran terhadap rakyat. Rakyat berkorban demi bangsa, negara dengan segala kebijakannya mengorbankan rakyat demi laba.

Indonesia sudah terkenal sejak era dahulu kala dengan adanya jalur sutra bahwa Indonesia yang tempo itu kaya akan rempah-rempah. Dan memang masih kaya sampai sekarang, hal ikhwal bahwa Indonesia negara maritim terbesar, negara agraris tak lagi bisa diganggu gugat faktanya. Namun ironisnya itu tak bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejateraan yang sentosa.

Dalam konstelasi hubungan internasional Indonesia hari ini dapat dikatakan sebagai surganya kapitalisme, mengapa tidak semua potensi penarikan laba yang begitu besar sangat banyak. Tan malaka menyebutkan bahwa syarat penentu produksi kapitalistik adalah  l) alam, 2) tenaga, 3) perkakas atau mesin (Tan Malaka, Rencana Ekonomi Berjuang : 1945). Dan Indonesia kaya atas dua syarat produksi pertama,  bumi dan iklimnya; ada atau tidaknya sungai danau atau laut buat lalu lintas, kedua, tenaga yang tukang atau tidak, kuat dan lemah, laki-laki dan perempuan. Namun lain hal dengan perkakas produksi.

Dalam fase awal mula Neoliberalisme adalah paska perang dunia kedua, di pelopori oleh trust (perserikatan perusahaan) Amerika Serikat selaku debitur yang mulai tahun 1944 menyusun Bretton Woods sistem. Sistem ini kemudian melahirnya lembaga ekonomi yang secara mapan kita kenal dengan WB, IMF dan GATT/ WTO kemudian. Konsepsi ini mendulang banyak partisipasi klas borjuasi internasional agar dapat merambah wilayah yang memiliki kemauan merdeka dari kolonialisme, kemudian menjebak mereka dengan sistem moneter yang sangat menindas. 

Sekarang yang di kenal dengan Globalisasi sudah mulai berjalan. Konsensus yang harus dipatuhi negara-negara yang ingin diterima dalam konsolidasi Bretton Wood tadi harus mengikuti mekanisme G7. Namun pada tahun 1971 sistem ini dialihkan dari perkiraan cadangan devisa melalui emas, di rubah ke perbandingan dollar AS sebagai alat ukur pertukaran.

Dalam pertemuan pada tahun 1972 pertemuan UNCTAD ( Union Nation Confrence Trade and Development) menghasilkan piagam "Charter of Economic Rights and Duties of state" yang kemudian di adopsi oleh PBB yang dimasukkan dalam resolusi 3281. Piagam ini mengatur kesepakatan yang menjabarkan prinsip fundamental yang mengatur hubungan internasional diantara negara-negara berkembang yang kemudian mengatur : masalah kedaulatan ekonomi-politik dan keadilan sosial internasional; hak dan kewajiban negara-negara dalam memilih sistem ekonomi, politik, sosial, budaya dll. (Bonie Setiawan, Dkk, Ancaman Baru Rezim Global : Tinjauan Atas Isu-isu baru WTO :2003). Dunia hari ini adalah dunia cengkraman kapitalisme, peradaban dunia dibangun oleh pondasi rapuh karena dibangun dengan keterasingan rakyat dari sumber daya produksinya.

Diskursus ekonomi politik  liberal terus dilakukan demi membangun satu peradaban dengan kepercayaan kesejahteraan individu bukan kesejahteraan public. Dengan semakin menyusutnya pendapatan kapitalis di amerika latin decade 1980-an maka melalui IMF dan Bank Dunia mengadakan pertemuan dan menghasilkan paket program penyesuaian struktural (structural adjusment programs) yang dijabarkan dalam 10 kesepakatan yang melakukan reformasi menuju  neoliberalisme dikenal dengan Program Washington Consensus (Ahmad Erani Yustika,Reformasi Ekonomi,

Konsensus Washington, dan Rintangan Politik: 2004) yang pada intinya berisi: pengetatan anggaran, pencabutan berbagai subsidi negara, kemudahan masuknya (Liberalisasi) investasi asing, privatisasi BUMN (Swastanisasi), liberalisasi perdagangan. Mekanisme inilah yang dijadikan dasar ekonomi bagi negara -negara yang masuk dalam konsensus neoliberalisme yang di perlihatkan dalam berbagai konsolidasi pasar bebas lainnya.

Komando kapitalisme akan selalu bersandar pada keadaan pasar, maka perdagangan dalam sistem produksi ini menjadi penting, hal ini sudah sekian lama menjadi pemicu konflik dalam kepentingan capital, maka untuk membawa suasana damai semu, GATT yang kini bermutasi menjadi WTO tersebut mengintervensi langsung pasar harus berdasarkan kaidah undang-undang perdagangan mereka yang meluas dalam menguasai, Perdagangan Barang (Trade in Goods) melalui perjanjian GATT (General Agreement on Trade and Tariffs), Perdagangan Jasa (Trade in Services) melalui GATs (General Agreement on Trade in Services) dan HAKI terkait perdagangan melalu TRIPS ( Trade Related Intellectual Proverty Rights).

 Serta Investasi melalui TRIMS (Trade Related Invesment Measures). Maka segala sendi kehidupan manusia hari ini menjadi penting untuk dieksploitasi menjadi pasar potensial untuk menghimpun laba, keuntungan lebih banyak demi memenuhi hasrat keserakahan kapitalisme. Sangat eratlah kebijakan-kebijakan yang diputuskan dalam Negara ini dengan kepentingan dari sistem produksi kapitalisme yang dianut oleh para ekonom yang menjadi pembisik pembangunan ekonomi bangsa.

Bercerita Indonesia paska orde baru yang mengedepankan mazhab developmentalisme telah banyak menguras kekuatan SDA Indonesia, tidak terlepas dari rencana Neoliberalisme dengan dimuali dari Marshall Plan dan Washington Consensus. Di awal decade 1980-an amerika latin masih menjadi kiblat investasi dan kapitalisasi sektoral oleh para kapitalisme global, TNC/MNC yang berperan sebagai krediturke lembaga IMF/WB  mempunyai kepentingan setelah terjadi depresi dan krisis di wilayah amerika latin terutama setelah krisis minyak. Inilah yang kemudian mendorong terjadinya pergeseran investasi di dunia "Ketiga" lainnya.

Nusantara sudah sejak orde baru dijebak dalam logika kapitalisme yang banyak mengorban orang yang tidak bersalah, pembangunan era orde baru bukanlah hasil dari kemandirian bangsa Indonesia, REPELITA yang berjilid-jilid itu bisa berjalan akibat utang menggunung kepada para kapitalis asing. Maka tidak mengherankan jika sejak awal orde baru Kebijakan yang pertama di buat adalah UU No.1 Tahun 1966 tentang Penanaman Modal Asing, pada titik ini berhasil kemudian program Marshall Plan bekerja di Indonesia.

Pada tahun 1996 Presiden Suharto Menandatangani Letter Of Inten dengan IMF yang kemudian bermulailah skema Program Penyesuaian structural di Indonesia dan itu berlanjut hingga sekarang di Indonesia yang sejak 2011 telah merancang Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan dibagi 6 koridor dengan keunggulan khasnya masing-masing menjadi sebuah lokasi menggiurkan bagi kapitalis global yang sempat mengalami kebangkrutan pada tahun 2008.

Maka setiap pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah hasil kerja nusa dan bangsa Indonesia, namun ilusi kesejahteraan dari para kaum bermilik yang senantiasa bahagia mencengkramkan tangannya ke Indonesia, Indonesia bukanlah penentu dalam dinamika kapitalisme di dunia, bahkan untuk setingkat asia tenggara kekuasaan itu dipegang oleh kekuasaan kapitalis yang berbahagia hidup di singapura. 

Kembali keuntungan kerja, kerja, dan kerja bangsa ini bukanlah teruntuk kemasalahatan dan kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia, akan tetapi menjadi keuntungan para orang kaya yang di sokong oleh kekutan partai dan elit politik borjuasi yang dengan bangganya menjual kekayaan leluhur dan anak cucunya.

Kenyataan bahwa ekonomi dikelola secara gotong royong kenyataannya hanya menjadi slogan untuk dapat mendulang populisme agar tetap dipercaya oleh rakyat bahwa negara melalui pemerintahnya hari ini bertindakbaik dengan membangunkan berbagai fasilitas mempermudah akses. Akan tetapi pembangunan ini masih dapat dikatakan jauh dari kebutuhan rakyat yang masih bergerak di ekonomi sebagai pekerja rendahan, petani gurem, dan nelayan miskin. Maka pembangunan yang megah itu memperlihatkan bahwa ada kepentingan investor untuk memperlancar gerak arus modalnya melalui produktifitas dalam negeri yang di dikte oleh kepentingan global.

B.Menggugat Pembangunan Kilat

Hari ini di semua media kita disuguhi oleh pembangunan yang katanya hasil dari pengetatan anggaran atau Subsidi yang bersifat produktif, seperti yang di propagandakan pemerintah dalam Kabinet Kerja kali ini. Perlu kita cek politik anggaran dalam mensukseskan program IMF dalam agenda Neoliberalismenya.

Kita tidak perlu heran jika hari ini alokasi Anggaran belanja pemerintah di genjot untuk memenuhi infrastruktur. Mulai dengan dalih menghemat anggaran Kementerian Negara / Lembaga sejak tahun 2005, ini dikerenakan telah adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 -- 2025. Dan mulailah aroma neoliberalisme di Indonesia tercium. Pada tahun 2011 SBY meresmikan secara megah Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Presiden jokowi yang dianggap berpenampilan egaliter ternyata tidak jauh berbeda dari terdahulunya, seperti tidak mau kalah beliau juga menyusun Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I-XII dalam jangka waktu tidak sampai setahun sejak 2015-2016, Orientasi pembangunan tetap memakai koridor ekonomi sebelumnya. Rencananya tetap menjalankan SAP untuk mengisi kepentingan laba kapitalis, dengan dalih pembangunan fiskal, pembangunan produktif dan lain sebagainya, akan tetapi proses pengetatan anggaran/pencabutan subsidi, Liberalisasi Keuangan, privatisasi BUMN, liberalisasi perdagangan. 

Dalam politik anggaran hari ini fokus kepada Realokasi anggaran dengan 1. Mempercepat pembangunan infrastruktur, 2. Pembangunan sumber daya manusia, 3. Deregulasi kebijakan ekonomi. Dan ini jika dilihat secara matang adalah partisipasi negara dalam mendorong rakyatnya terjebak dalam siatem neoliberalisme yang haus akan keuntungan dari infrastruktur, tenaga buruh dan kelunakan aturan investasi.

Jika kita mengacu pada informasi APBN 2017  ,  Sangat terlihat Negara memperlakukan rakyatnya dan memperlihatkan keberpihakannya kepada neoliberalisme . Tahun 2017 besaran pendapatan negara ditetapkan mencapai Rp.1.750,3 T, besaran anggaran belanja negara untuk tahun 2017 dialokasikan Rp2.080,5 T. Dari total pendapatan negara tersebut, penerimaan perpajakan ditetapkan mencapai Rp.1.464,8 T. Di lain pihak, dengan mengacu pada pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2017, Jadi negara ini masih di topang uang keringat kerja rakyat karena sumbangan terbesar pajak penghasilan Rp.751,8 T yang Nilai Lebih Buruh yang bekerja di industri real.

Disisi lain yang menjadi dilemma adalah penentuan anggaran belanja yang bisa dikatakan boros, bagaimana tidak, kebijakan fiscal ala mazhab kapitalisme telah memaksa pembelanjaan yang tidak rasional. Bayangkan setiap tahun anggaran balanja negara harus menopang yang namanya  Defisitanggaran.  Dan untuk itu pemenuhan kekurangan anggaran untuk tahun 2017 adalah Rp.384,7 T di tutupi oleh pinjaman dan Surat Utang Negara. Maka politik anggaran Indonesia yang tidak pernah surplus atau sedikitnya berimbang. Hal ini akibat secara pengelolaan memang APBN dirancang untuk dapat menyerap pinjaman dan utang. 

Dan ini dilakukan secara berjamaah oleh eksekutif dan legislatif. Maka secara bersama-sama elit-elit politik dan partai politik borjuasi yang hari ini menduduki kursi itu adalah orang yang menumbalkan rakyat Indonesia kepada skema liberalisasi ekonomi dan politik rakyat Indonesia. Dengan dalih mengelola kebijakan fiscal dengan searah kepada pembangunan bangsa, namun pada kenyataannya pembangunan kilat hari ini adalah untuk menerima kepentingan dunia modal, dan semakin menghamba kepada kepentingan modal atau investasi itu sendiri.

Masifnya pembangunan ini selaraslah dengan peningkatan Utang luar negeri yang hingga tahun 2017 sudah mencapai Rp.3.672,3 T dan untuk tahun 2017 sendiri Pinjaman masuk mencapai Rp.723,44 T, untuk Surat Hutang Negara sudah mencapai Rp.2,94,73. Ini adalah kenyataan bahwa program pengetatan anggaran dengan menggencet serendah-rendahnya rakyat dengan berbagai penarikan pajak, pemotongan subsidi dan tarikan lain untuk memenuhi hasrat keuntungan dari klas pemodal. 

Berdalih dengan pengunnaan anggaran secara produktif namun hanya untuk pembangunan dan penyerapan utang dalam rangka menyelamatkan krisis kapitalisme yang diikuti oleh rezim saat ini sebagai pegangan dan pandangan hidup dalam pengelolaan negara ini. Maka kita dapat jelas melihat bahwa keberpihakan negara dan pemerintah kepada ajaran liberalis yang secara ekonomi politiknya memandang bahwa dinamika masyarakat adalah hasil pengejaran kepentingan individu, dan menggunakan politik sebagai saluran pengejaran kepentingan individu, dan ini adalah liberalisme itu sendiri (Martin Staniland,apakah ekonomi politik itu ?;2003)

Dalam hal ini kita harus melihat bahwa skema liberalisasi ini adalah tindakan politik dari kelas pemodal dalam mengendalikan kehidupan kaum papa yang tak berpunya. Kekuatan tindakan politik ini telah memuat berbagai sandaran sebagai penguat logika liberalisme sebagai pola umum kehidupan rakyat Indonesia. Setiap perumusan anggaran belanja adalah hasil jejak rancang dari kepentingan ekonomi politik kapitalisme yang di seludupkan masuk kedalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini. 

Kita sudah melihat bagaimana kapitalisme dalam bentuk liberalisme, developmentalisme dan neoliberalisme merenggut dan menjajah bangsa-bangsa miskin semenjak abad pertengahan. Dan kesemuanya itu didahului oleh tindakan politik dari kelas mereka, kelas borjuis. Maka dari itu selain kita memperjuangkan hak ekonomis dan normative kita juga perlu memperjuangkan hak kita dan memperkuat tindakan politik dari kelas pekerja dan sekutunya.

Untuk itu mengakhiri tulisan yang jauh dari komplit ini saya hendak menyampaikan bahwa negara ini adalah negara yang kaya, namun dengan skema neoliberalisme kekinian, yang menjadi korban adalah Rakyat Indonesia itu sendiri yang dijadikan pekerja murah sekaligus konsumen atas hasil kerjanya sendiri. Dan dengan liciknya menggunakan hasil kekayaan bangsanya sendiri,demokrasi semu yang diparaktekkan oleh rezim berkuasaa sejak orde baru memperlihatkan berbagai macam ilusiyang seolah-olah memberikan kedaulatan mtlak bagi rakyat untuk menentukan arah pembangunan bangsa, namun kenyataannya rencana penyelamatan krisis kapitalisme menjadi langkah prioritas yang kerjakan oleh pemerintah saat ini. 

Kemerdekaan untuk mengusahai, mempergunakan warisan telah uluh lantak direnggut oleh kepentingan Kapital. Maka negara ini tidak akan pernah berguna bagi rakyatnya, ketika rakyat hanya dilibatkan dalam kepentingan ekonomi secara liberal, pembangunan ekonomi yang sarat Pivatisasi dan pelaksanaan politik yang elitis bahkan oligarki. Kita harus melakukan kerja-kerja politik untuk membangkitkan tidur panjang rakyat yang terilusi oleh propaganda pro kesenjangan dan diskriminasi kelas sosial, karena negara ini adalah warisan perjuangan pekerja, petani, pemuda dan lainnya dalam usaha dan proses mewujudkan kemerdekaan 100%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun