Apatisme dan ketidakpercayaan publik terhadap suatu instansi pemerintah biasanya berasal dari tiga hal yakni
(1) ketidaktahuan layanan yang disediakan
(2) adanya pengalaman buruk terhadap intansi tersebut
(3) instansi cenderung tertutup dalam memberikan informasi.
Oleh karena itu instansi pemerintah melalui unit yang memiliki fungsi kehumasan harus melakukan kegiatan edukasi publik. Dalam perencanaan edukasi publik pertama yang dipastikan adalah tujuannya yaitu untuk memberikan informasi kepada publik mengenai layanan instansi pemerintah.
Namun ada tujuan khusus yang hendaknya harus disadari yaitu meningkatkan kepercayaan publik seperti dengan menunjukkan inovasi dan perubahan instansi sehingga lebih efektif dan efisien dalam memberikan layanan dan dalam menjalankan proses birokrasinya.
Kedua yang dipikirkan adalah pesan kunci. Pesan kunci merupakan ruh seluruh kegiatan komunikasi termasuk yang bersifat edukasi publik. Pesan kunci disampaikan tersirat dan tersurat melalui materi yang disampaikan.
Pesan kunci adala pondasi dalam menyusun konten yang akan dsisampaikan. Ingat selalu, Content Is King. Konten edukasi adalah raja. Sekali lagi, konten diturunkan dari pesan kunci yang ingin disampaikan.
Konten harus mendukung pesan kunci tersebut melalui fakta-fakta pendukung. Tidak semua informasi berupa fakta-fakta harus ditayangkan. Fakta yang ditampilkan sesuai juga dengan kebutuhan stakeholder. Penyusunan konten harus dikoordinasikan dengan unit teknis agar informasi yang disampaikan akurat.
Below The Line
Dari sisi efektivitas menggunakan komunikasi below the line seperti seminar dan workshop lebih powerful daripada komunikasi above the line atau sosial media. Dalam sebuah program komunikasi, below the line sangat penting karena dapat memberikan pengalaman.
Sebagai contoh, kita mungkin aware dengan istilah pajak dan berbagai kewajiban yang harus dijalani oleh setiap wajib pajak. Tapi tanpa melakukan komunikasi langsung dengan petugas layanan informasi perpajakan, kemungkinna besar akan sulit memahami peraturan-peraturan yang ada.
Akan tetapi, pertimbangan biaya menjadi pertimbangan. Kegiatan below the line yang sebagian besar adalah kegiatan komunikasi langsung tidak hanyak untuk ditujukan kepada mahasiswa dan masyarakat umum, tapi juga kepada stakeholder/ audience kunci seperti perumus kebijakan. Beberapa instansi menggunakan below the line lebih banyak daripada dengan menggunakan media lainnya.
Ujung-ujungnya, anggaran lebih mahal. Bahkan jika materinya sangat menyimpang dari tujuan komunikasi yang ditetapkan, kerugian sudah di depan mata. Sebagai contoh, sebuah workshop untuk mengikuti sebuah program layanan tertentu, tidak harus banyak diisi dengan kondisi ekonomi Indonesia.
Memang benar, pembicaraan akan kaya materi, namun apakah setelah mengikuti kegiatan tersebut peserta (stakeholder target) menjadi lebih mudah mengikuti program tersebut atau malah justru masih membutuhkan banyak penjelasan.
Ketika membicarakan kegiatan komunikasi dua arah, narasumber adalah kunci. Biasanya praktisi humas hanya memperhatikan narasumber pada seminar dan workshop, tidak pada pameran.
Saya sering kali kecewa ketika mendatangi beberapa stand instansi pemerintah namun yang saya tanyakan acapkali kurang mengetahui detail informasi yang disajikan. Level jabatan seorang pembicara menjadi hal yang krusial dalam penyelenggaraan seminar pemerintah.
Namun, tingginya level jabatan seorang pembicara tidak lantas membuat kegiatan seminar misalnya menjadi lebih hidup. Jabatan membuat acara menjadi menarik awalnya, namun pada saat masuk penyampaian materi dan tanya jawab, skill komunikasi pembicara menjadi penentuk tercapainya tujuan kegiatan edukasi publik.
New Media/Media Sosial
Beberapa perusahaan media saat ini juga memiliki akun di berbagai media sosial. Hal ini juga menjawab tantangan akan jarak dan waktu audience terutama bagi yang sedang berada di luar negeri. Satu tahun yang lalu, video animasi mulai menjadi tren. Namun, beberapa instansi tidak memiliki cukup pegawai yang bisa dengan skill tersebut.
Sementara di tempat lain, Membuat video animasi merupakan proses rumit, lebih rumit daripada foto editing. Â Seringkali harus dilempar ke pihak ketiga untuk pembuatannya.
Oleh karena itu tidak bisa dibuat sering karena terkendala anggaran. Membuat video animasi yang biasanya tidak murah dapat dibuat dengan biaya rendah. Video edukasi tidak harus dengan full animasi, video edukasi bisa berupa ceramah pendek dengan ilustrasi animasi untuk menggantikan papan tulis.
Bahkan penggunaan vlog (video blog) pun diyakini sangat efektif. Terbukti banyak selebgram terkenal dari vlog-vlog yang dbuatnya bukan dari video animasi.
Famplet digital yang sekarang menjadi tren adalah penggunaan infografis. Infografis sebenarnya bukan hal yang baru, seperti yang ditulis oleh tempo.co, infografis diinisiasi oleh Peter Sullivan, desainer grafis yang bekerja di surat kabar The Sunday Times, yang pada 1970-an rajin membuat infografis untuk lebih memudahkan pembaca koran itu.
Infografis menjadi sangat powerfull ketika digabungkan dengan instant messanger seperti whatsapp Group dan BBM Group. Kita seringkali mendapatkan konten berupa infografis entah dari sumber ke berapa.
Kecenderungan orang untuk sharing materi yang dianggapnya menarik, sangat membantu cakupan publikasi. Infografis sangat cocok untuk memberikan informasi mengenai dua hal, pertama adalah data berupa angka dan prosedur. Pastikan kombinasi warna (theme) yang dipilih menarik.
Kegiatan edukasi publik pun dapat dikemas dalam bentuk film pendek. Sudah meluasnya coverage jaringan pita lebar seperti HSDPA+ dan LTE membuat tayangan pada youtube misalanya tidak lagi putus-putus.
Bahkan jangan kaget, per 24 Mei 2016, youtube.com menduduki peringkat pertama dunia versi alexa.com mengalahkan facebook.com (peringkat 2) dan baidu.com (peringkat 3). Kegiatan edukasi publik bukan hanya kegiatan komunikasi below the line, tapi juga penyampaikan informasi melalui sosial media atau bahkan media mainstream.Â
Kegiatan komunikasi below the line merupakan kegiatan komunikasi langung kepada audience. Melakukan edukasi publik melalui media mainstream tidak terlalu direkomendasikan kecuali pihak media cetak menyediakan space atau media televisi menyediakan slot kosong. Jika konten materinya menarik, bukan tidak mungkin anda mendapatkan Cuma-Cuma dari media. Content is king, media is queen.
Siko Dian Sigit Wiyanto
Pranata Humas Ahli Pertama
Biro Komunikasi dan Layanan Informasi
Wakil Ketua I Ikatan Pranata Humas (Iprahumas)
*) Tulisan ini adalah tulisan pribadi dan tidak merepresentasikan tempat penulis bekerja.Technology photo created by syifa5610 - www.freepik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H