Berawal dari keinginan untuk pengembangan Stasiun Weleri yang terletak srategis di pantura wilayah Kendal terhubung dengan Temanggung Wonosobo Magelang, PT. KAI menangkap peluang menjaring penumpang dari sektor wilayah selatan. Sehingga, pengembangan stasiun dirasa sangat mendesak sekali. Apalagi dengan diberlakukannya jalur double track yang memungkinkan kereta berpapasan tanpa berhenti untuk bergantian jalan, membuat perusahaan perkereta apian itu semakin bernafsu untuk menjaring penumpang sebanyak banyaknya dengan kata lain target okupansi penumpang kereta 100%.
Tapi niat membangun itu didasari dengan niat jahat untuk menguasai lahan eigendom yang telah dihuni warga sekitar Stasiun Weleri semenjak jaman Belanda. Hanya kerena ketidak mampuan warga dalam mengajukan konversi hak atas tanah eigendom tersebut dibidik PT. KAI sebagai peluang untuk menguasai lahan tersebut. Masih menurut warga, PT. KAI mendatangkan orang orang sekira ratusan yang mungkin security dengan berbaju putih dan bercelana panjang biru seragam khas PT. KAI lengkap dengan emblemnya, datang dari semarang dengan menggunakan kereta untuk memberikan pressure kepada warga yang mempertahankan haknya. Seharusnya PT. KAI dapat mengajukan pengamanan pada Kepolisian setempat sebagai yang punya kewenangan pengamanan diwilayah kabupaten Kendal, bukannya malah mendatangkan pengamanan internal mereka sendiri. Â Sehingga tanggal 19 Juni kemarin terjadi tindakan anarkis PT. KAI membuldoser bangunan warga.
Menurut warga, sosialisasi yang dilayangkan dalam surat tertanggal 7 Mei 2014 dan diterima oleh warga tanggal 9 Mei 2014 adalah sebenarnya sebuah somasi perintah kpada warga untuk mengosongkan lahan dalam jangka waktu 3 minggu terhitung sejak di sampaikannya surat itu. Padahal seperti kita ketahui,  PT. KAI harusnya berpayung hukum dengan mengacu pada Pasal 9 ayat (2) UU 2/2012. yang mengatakan, Pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.
Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai (Pasal 33 jo. Pasal 32 UU 2/2012). Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan (Pasal 31 ayat (1) UU 2/2012). Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum (Pasal 34 ayat (1) UU 2/2012).
Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publiktersebut (Pasal 63Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).
Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 34 ayat (3) UU 2/2012).
Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Lembaga Pertanahan dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 37 ayat (1) UU 2/2012). Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU 2/2012).
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan (Pasal 37 ayat (2) UU 2/2012).
Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012). Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan (Pasal 38 ayat (2) UU 2/2012).
Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (Pasal 38 ayat (3) UU 2/2012). Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima (Pasal 38 ayat (4) UU 2/2012).