Memasuki musim penghujan di bulan November, memang paling nikmat untuk menikmati penganan hangat nikmat asal Jawa Tengah, yaitu Mie Tektek. Siapa yang tidak tergiur untuk menikmati mie kuning bertabur ayam suir yang berendam dalam kaldu hangat ditengah rintik yang membasahi bumi, slrrrp....
Sayangnya pada kesempatan ini saya bukan akan membahas khusus mengenai mie tektek sebagai salah satu pusaka kuliner nusantara, tetapi dalam artikel ini saya tertarik untuk mengupas filosofi dibalik semangkuk mie tektek hangat, yang secara ajaib relevan dengan salah satu topik yang tidak kalah panasnya di dunia keuangan Indonesia, yaitu financial technology atau biasa disingkat sebagai fintek. Lho, bagaimana bisa makanan dikaitkan dengan dunia keuangan? Tidak percaya? Kita akan bahas satu persatu kaitan antara filosofi dibalik mie tektek dengan fintek. Namun sebelumnya, yuk, kita berkenalan dulu dengan fenomena global bernama Financial Technology ini.
Mengenal Fintek
Ada banyak definisi mengenai fintek. Konsultan global, PWC mendefinisikan fintek sebagai segmen dinamis dari sektor jasa keuangan, dimana startup teknologi dan pemain pasar baru berinovasi pada produk dan jasa yang ditawarkan oleh industri jasa keuangan. National Digital Research Centre Irlandia mendefinisikan financial technology sebagai inovasi dalam jasa keuangan yang memanfaatkan aplikasi teknologi pada produknya. Secara komprehensif namun sederhana, Fintek dapat didefinisikan berdasarkan penjabaran dari Bank Indonesia, yaitu integrasi layanan keuangan dan teknologi yang mengubah model bisnis keuangan tradisional dan memberikan layanan yang lebih baik bagi bisnis dan konsumen.
Sejatinya penggunaan teknologi di sektor keuangan bukan hal yang baru di Indonesia. Masyarakat Indonesia telah menikmati layanan financial technologysejak tahun 1980-an. Pada masa itu, salah satu solusi yang ditawarkan oleh jasa fintek adalah mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang menghadirkan jasa perbankan inti kepada masyarakat  selama 24 jam, tanpa harus datang langsung ke cabang bank.
Pada era 2000-an layanan keuangan berbasis teknologi menjadi semakin kompleks. Pada awal tahun 2000, Bank Indonesia memperkenalkan sistem RTGS sebagai komplementer sistem kliring nasional (SKN) dan menghadirkan sistem pembayaran seketika.
Pada era 2009 hingga saat ini mulai muncul pemain startup jasa keuangan berbasis teknologi sebagai akibat ketatnya regulasi pasca krisis global 2008 dan perkembangan teknologi informasi khususnya berbasis mobile. Jenis fintek ini kemudian berkembang untuk mendukung financial inclusion dan pertumbuhan ekonomi.
Implementasi teknologi, khususnya yang berbasis mobile menjadikan solusi atas kebutuhan jasa keuangan menjadi mudah dan cepat saat ini dibandingkan dengan 1 dekade lalu. Perlu pinjaman uang cepat? Buka saja pinjam.co.id atau uangteman.com. Perlu informasi pembukaan rekening atau kartu kredit di bank? Tinggal klik cekaja.com. Butuh perbandingan harga asuransi? Segera kunjungi cekpremi.com.
Di atas kertas, implementasi fintek memang terlihat indah, namun dalam prakteknya, fintek memicu apa yang disebut oleh  ekonom AS, Joseph Schumpeter, sebagai creative destruction pada industri keuanga, yaitu proses perubahan struktur ekonomi yang meluluh-latakkan struktur lama dan membentuk struktur baru.
Evolusi Mie Tektek
Teknologi dan struktur pasar baru, mengundang pemain baru dan memerlukan aturan main baru. Percaya atau tidak, hal ini juga yang lebih dulu dialami oleh industri mie tektek pada awal tahun 2000-an.
Pada medio tahun 80-an mie tektek biasanya dijajakan di warung sederhana dan dimasak menggunakan arang, namun 10 tahun kemudian mulai muncul jenis baru penjaja mie tektek, yaitu penjual kaki lima yang berkeliling dari kampung ke kampung. Kemunculan penjaja keliling ini tidak terlepas dari permintaan masyarakat yang menginginkan mie tektek tapi malas mengantri dan tidak mau keluar rumah. Kecepatan menjadi kunci dari jenis layanan ini sehingga umumnya penjaja mie tektek keliling menggunakan kompor gas sebagai bahan bakarnya yang membutuhkan waktu kurang dari 5 menit alih-alih menggunakan arang yang membutuhkan waktu pemasakan hingga 15 menit. Pada awal tahun 2000, seiring dengan makin gencarnya penetrasi fastfood barat banyak pengusaha mie tektek yang menggabungkannya dengan toping yang beraneka ragam seperti keju, sosis, dll. Di sisi lain pada periode ini juga banyak aliran garis keras yang bertahan dengan resep tradisional: mie tektek, tok!Â
Kondisi tersebut di atas mirip dengan kondisi jasa keuangan saat ini bukan? Ada pemain jasa keuangan yang menawarkan jasa keuangan tradisional, ada juga yang mengemasnya secara modern dengan balutan teknologi.
Filosofi Mie Tektek dalam Fintek
Oleh karena industri mie tektek kontemporer lebih dahulu mengalami prosescreative destruction dibandingkan industri fintek modern, maka tidak salah jika kita bisa mengambil beberapa filosofi dan pelajaran dari mie tektek untuk diaplikasikan dalam menghadapi perkembangan industri keuangan. Adapun beberapa aspek dari mie tektek yang dapat dikaitkan dengan industri fintek adalah sebagai berikut:
Resep modern pun mengambil elemen terbaik dari resep tradisional
Sehebat-hebatnya resep mie tektek modern, basisnya pasti menggunakan formula asli yang konon berasal dari Gunung Kidul. Resep asli yang berbahan bawang, kemiri dan kaldu memang tidak ada matinya karena telah teruji oleh hantaman zaman. Mie tektek modern umumnya hanya menambahkan topping baru pada resep tradisional atau menggunakan peralatan modern untuk lebih mengefisienkan waktu dan sumberdaya dalam memasak.
Konsepsi tersebut juga rupanya berlaku di industri Jasa Keuangan, diperlukan waktu yang lama untuk mencapai bentuk yang mapan dan matang. Menurut konsultan manajemen Mckinsey, industri keuangan relatif tidak berubah dalam beberapa dekade terakhir dan merupakan salah satu industri yang paling resisten terhadap disrupsi perubahan. Sejak hipotek pertama kali diterbitkan di inggris pada abad 11, layanan dasar yang ditawarkan oleh jasa keuangan relatif tidak berubah, yaitu meliputi simpan-pinjam, transfer dana serta asuransi.
Fenomena kebangkitan teknologi informasi berbasis mobile telah membuka paradigma baru untuk menghadirkan layanan jasa keuangan yang lebih terpersonalisasi sesuai kebutuhan konsumen dalam genggaman. Hal inilah yang menjadi pencetus booming  sinergi antara sektor jasa dengan teknologi informasi.
Namun demikian, industri fintek juga dapat mengambil bentuk dasar dan pengalaman  dari industri jasa keuangan tradisional, untuk dapat mendeliver produk yang tidak hanya nyaman bagi konsumen namun juga aman.
Arang vs kompor, mie keju vs mie godhog semua kembali ke pilihan konsumen
Saat ini konsumen ditawarkan dengan banyak varian mie tektek, mulai dari mie tektek kaki lima sampai dengan mie tektek level restoran. Baik mie tektek modern yang ditaburi keju mozarella, maupun mie tektek godhog yang masih mempertahankan arang sebagai bahan bakarnya. Â Uniknya, penjaja mie tektek modern tidak memangsa pasar milik penjaja mie tektek tradisional, justru malah konsumen yang semakin dimanjakan dengan banyaknya pilihan. Beberapa penjaja mie tektek bergaya tradisional bahkan mengadopsi teknologi modern seperti kipas angin untuk membantu memanaskan arang, dan beberapa penjaja mie tektek modern justru malah menggunakan tungku untuk memasak mie kejunya.Â
Hal ini juga sebaiknya dapat diaplikasikan dalam industri jasa keuangan. Berdasarkan pelakunya, industri fintek dapat dibagi menjadi dua, yaitu Fintek 2.0 dan 3.0. Fintek 2.0 didefinisikan sebagai Fintek yang dikembangkan industri jasa keuangan existing, baik perbankan, pasar modal, maupun Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Sedangkan yang disebut sebagai Fintek 3.0 adalah perusahaan jasa keuangan digital yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan startup atau rintisan, berdasarkan kajian McKinsey, fintek jenis inilah yang saat ini sedang berkembang pesat dan menawarkan aneka inovasi revolusioner. Beberapa pihak berpendapat bahwa fintek 3.0 dapat mematikan fintek 2.0, namun saat ini muncul paradigma bahwa industri fintek yang dikembangkan oleh jasa keuangan existing dapat bersinergi dengan perusahaan-perusahaan. Beberapa lembaga keuangan formal di Indonesia bahkan mengembangkan divisi fintek sendiri dengan mengusung gaya startup seperti jalur komando yang ringkas serta openspace.
Persaingan mengundang kecurangan, perlu wasit dalam pertandingan
Tingginya minat masyarakat dalam mengkonsumsi mie tektek mengundang beberapa pengusaha nakal yang ingin meraup keuntungan dalam waktu singkat. Tentu kita ingat kasus mie ber-borax yang sempat heboh pada awal tahun 2000-an. Jika saja BBPOM tidak lekas bergerak, maka akan ada banyak sekali konsumen yang dirugikan akibat pemakaian zat karsinogen dalam jangka panjang.
Begitu pula dengan industri keuangan. Industri keuangan tradisional telah diregulasi dengan baik di Indonesia, namun demikian startup keuangan berbasis teknologi masih menjadi wilayah abu-abu.
Dengan semakin merebaknya fintek dan potensi perkembangannya di masa mendatang, Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaraan di Indonesia merasa perlu untuk menyusun regulasi kepada perusahaan Fintek, khususnya yang melakukan penyelenggaraan transaksi pembayaran.
Salah satu diantara kewajiban tersebut adalah syarat berbadan hukum Indonesia, kewajiban bertransaksi menggunakan mata uang rupiah dan harus penempatan dana pada sistem perbankan Indonesia. Selanjutnya perusahaan Fintek dihimbau untuk mematuhi ketentuan antara lain pengelolaan risiko secara memadai. terakhir, perusahaan Fintek juga harus mengedepankan perlindungan konsumen dan proteksi data dan informasi serta mengupayakan efisiensi transaksi.
Selain mengamati dan mengawasi pengembangan layanan fintek, Bank Indonesia juga turut mendukung perkembangan Fintek di Indonesia lewat pendirian Fintech officepada akhir tahun 2016. Fintechoffice tesebut akan memberi pendampingan kepada Fintek guna mengembangkan bisnis, selain itu, perusahaan Fintek juga akan diberi pengetahuan mengenai kebijakan moneter dan makroprudensial di Indonesia. Inisiatif BI lainnya adalah mendirikan inkubator pengembangan Fintek yang berperan sebagai regulatory sandbox, di mana bank sentral memantau perkembangan Fintek sesuai dengan koridor yang ada.
Melalui strategi pengembangan dan didukung oleh regulasi yang handal, maka diharapkan industri Fintek di Indonesia dapat berkembang pesat untuk memberikan pelayanan terbaik pada nasabah, namun juga tetap mengikuti koridor yang berlaku untuk melindungi nasabah.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melalui kepiawaian juru masak mie tektek dan pelaku usaha fintek, penggunaan teknologi tepat guna dalam bentuk teknologi alat masak atau teknologi informasi , serta pengaturan bahan makanan  atau regulasi keuangan yang melindungi dan menunjang pertumbuhan, maka industri mie tektek atau fintek di Indonesia akan menjadi semakin sedap, nikmat dan aman dikonsumsi serta dapat mengakselerasi perkembangan perekonomian di Indonesia, toh baik mie tektek maupun fintek sama-sama dapat dibuat varian nyemek a.k.menjadi lahan basah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H