Mohon tunggu...
Ahmad Abdan Syakuro
Ahmad Abdan Syakuro Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Smile Man

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Apa Itu Nomophobia?

5 November 2023   12:21 Diperbarui: 5 November 2023   12:30 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Allah Swt. telah memberikan kepada manusia kelebihan dan perbedaan diantara semua makhluk ciptaan-Nya, yaitu dengan diberinya akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran, manusia diberi kemampuan untuk berpikir tentang fenomena alam, menganalisis dan memanfaatkan apa yang menjadi kebutuhan hidupnya di dunia dan menyiapkan bekal sebaik-baiknya di akhirat. Allah telah berfirman bahwa Ia telah memberikan salah satu rahmat-Nya kepada hamba-Nya, yaitu menundukkan apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Hal itu menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir. 

Dengan menggunakan akal dan pikiran, manusia terus berupaya untuk berkreasi serta berinovasi mengembangkan ilmu pengetahuan dari masa ke masa sesuai dengan kebutuhan manusia pada masa itu. Diantara sekian banyak kebutuhan dasar manusia adalah berkomunikasi karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran orang lain di dalam kehidupannya. Manusia juga membutuhkan makan, minum, bersosialisasi, menunjukkan eksistensi dirinya dan rasa ingin tahu terhadap dirinya sendiri, serta pengabdian diri kepada Tuhannya, semua itu melalui proses komunikasi. Salah satu upaya manusia untuk mengatasi persoalan komunikasi jarak jauh adalah diawali dengan ditemukannya telegraf elektronik dan mengembangkannya oleh Samuel Finley Breese Morse rentang waktu tahun 1832-1835 M. Kemudian pada 1876 M, seorang penemu dari Amerika Serikat yang bernama Alexander Graham Bell yang pertama kali yang mengirimkan pesan elektronik yang merupakan cikal bakal munculnya telepon genggam. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telepon genggam telah mampu diciptakan oleh manusia dengan sesuatu hal yang lebih canggih, lebih efisien dan berkualitas yang kini populer dengan sebutan gadget, smartphone, gawai, dll.

Semakin canggihnya smartphone pada saat ini menyebabkan efek ketergantungan manusia terhadap smartphone tersebut. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah "Nomophobia." Nomophobia berasal dari ungkapan "No Mobile Phone", yaitu fobia atau perasaan takut berlebihan yang dapat mengakibatkan depresi, kecemasan dan kepanikan yang parah ketika tanpa telepon genggam atau smartphone. Nomophobia adalah istilah yang ditujukan pada kumpulan perilaku atau gejala yang berhubungan dengan pengguna telepon genggam atau smartphone.

Definisi lain dari nomophobhia adalah suatu bentuk kecanduan perilaku manusia terhadap smartphone dan diindikasikan sebagai gejala psikologis dan ketergantungan fisik. Gejala psikologis ditandai dengan dimana individu bisa menangis, depresi, berteriak, marah bahkan dapat melukai diri sendiri jika ia tidak dapat mengakses smartphone-nya. Sedangkan ketergantungan fisik dapat ditandai dengan dimana individu selalu membawa smartphone-nya dimanapun ia berada, membawanya sampai ke kamar mandi, bahkan ia dapat membuka sampai ratusan kali screen smartphone-nya, mulai dari berselancar di sosial medianya hingga hanya ingin melihat apakah ada notifikasi masuk atau tidak. 

Nomophobia atau kecanduan smartphone adalah hasil dari pengembangan teknologi baru yang memungkinkan adanya komunikasi virtual. Nomophobia ini dianggap sebagai sebuah gangguan dari masyarakat digital yang mengacu kepada ketidaknyamanan, kecemasan, kegelisahan atau kesedihan yang disebabkan oleh tidak adanya kontak individu dengan smartphone-nya. Secara umum, nomophobia adalah ketakutan patologis yang menetap dari sentuhan teknologi.

Istilah nomophobia pertama kali muncul pada tahun 2008 oleh UK Post Office untuk menyelidiki tingkat kecemasan yang diderita oleh pengguna smartphone. Untuk merujuk orang yang terkena nomophobia, ada dua istilah yang diperkenalkan dan digunakan pada bahasa sehari-sehari: nomophobe dan nomophobic. Nomophobe adalah kata benda dan ditujukan kepada orang yang menderita nomophobia. Sedangkan nomophobic adalah kata sifat dan ditujukan untuk menggambarkan karakteristik atau perilaku nomophobhe.

Berdasarkan survey oleh Stewart Fox-Mills pada tahun 2008, lebih dari 13 juta penduduk Inggris menderita nomophobia dengan persentase sebesar 53%. Survey tersebut juga mengungkapkan bahwa laki-laki lebih rentan terhadap nomophobia dibandingkan perempuan dengan persentasi laki-laki sebanyak 58% dan persentase perempuan sebanyak 48%. Kemudian pada tahun 2012, perusahaan di bidang keamanan di Inggris, SecurEnvoy melakukan survey kepada 1000 karyawannya. Hasilnya adalah jumlah penderita nomophobia meningkat dari 53% menjadi 66%. Berbanding terbalik dengan survey pada tahun 2008, survey ini mengungkapkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap nomophobia dengan persentase sebanyak 70% dibandingkan laki-laki dengan persentase sebanyak 61%. Dalam hal hubungan antara usia dan nomophobia, survey ini mengungkapkan bahwa usia 18-24 tahun paling rentan terhadap nomophobia dengan persentase sebanyak 77%, kemudian diikuti oleh usia 25-34 tahun dan usia lebih dari 55 tahun.

Penelitian serupa dilakukan oleh Neil Davie dan Tobias Hilber dengan 104 koresponden siswa South Westphalia University of Applied Science di Iserlohn, Jerman. Hasilnya adalah Semua siswa yang berpartisipasi memastikan bahwa mereka memiliki smartphone. Pertanyaan tentang penggunaan smartphone di kelas mengungkapkan betapa perangkat ini telah ada di mana-mana. 99% siswa yang disurvei menyatakan bahwa mereka secara teratur membawa smartphone mereka dan menyalakannya selama kelas. Meskipun 86% ponsel mereka beralih ke mode senyap, 12% sisanya mengaktifkan ponsel seperti biasa dering diaktifkan. Panggilan atau pesan masuk karenanya dapat membuat gangguan dan mengacaukan kelas. Siswa juga ditanya seberapa sering mereka menggunakan smartphone mereka untuk kegiatan pribadi (yang tidak terkait dengan kelas) selama pelajaran. Hanya 3% yang menjawab tidak pernah, 59% kadang-kadang dan 36% sering. Namun 95% menyatakan bahwa mereka memilikinya sudah juga menggunakan smartphone mereka untuk keperluan belajar, baik di dalam maupun di luar kelas. Berdasarkan hasil survei total, nomophobia adalah masalah serius hanya untuk sekelompok kecil siswa (kurang dari 3%). Namun, hampir 40% responden masuk dalam kategori "nomophobia sedang". Oleh karena itu, kelompok ini yang mungkin paling membutuhkan kehati-hatian saat mendorong siswa untuk menggunakan perangkat seluler mereka untuk tujuan pembelajaran atau mengajarkan literasi digital.

Bragazzi juga mengatakan bahwa banyak survei telah dilakukan di berbagai negara, baik dari Amerika Serikat, India, Spanyol, Polandia, Finlandia hingga Jepang telah mengkonfirmasi nomophobia ini telah ada dan menyebar luas secara universal. Nomophobia sebagaimana dijelaskan oleh psikiater India, ia menemukan dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tiga kali lipat dalam psikopatologi yang terkait dengan penggunaan smartphone. 

Penelitian mengenai akibat dari penggunaan smartphone juga dilakukan oleh Fahad Dakheel Alosaimi dan kawan-kawan. Penelitian tersebut bertujuan untuk menyelidiki prevalensi dan korelasi kecanduan smartphone pada mahasiswa di Arab Saudi. Hasilnya adalah dari 2367 koresponden, 27,2 % menyatakan bahwa mereka menghabiskan lebih dari delapan jam per hari dalam menggunakan smartphone, dengan 75% menggunakan setidaknya empat aplikasi per hari, terurama untuk sosial media dan menonton berita. Akibat dari penggunaan smartphone tersebut, 43% koresponden mengalami penurunan waktu tidur sehingga mengalami kekurangan energi pada esok harinya, 30% koresponden memiliki gaya hidup yang tidak sehat (lebih banyak makan makanan junk food, bertambahnya berat badan dan kurang berolahraga), dan 25% koresponden menyatakan bahwa prestasi akademik mereka terganggu akibat kecanduan smartphone.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Sonali Kar dan kawan-kawan untuk mengetahui tingkat nomophobia pada mahasiswa kesehatan di Universitas Kalinga Institute of Industrial Technology (KIIT), Bhubaneswar, India. Dari 284 koresponden, 21,1% mengalami nomophobia berat dan harus dirujuk ke psikolog untuk melakukan konseling. 70,1% diantaranya mengalami nomophobia ringan dan 8,8% tidak menderita nomophobia. Besarnya nomophobia mungkin disebabkan oleh mudahnya mengakses layanan internet, wi-fi dan data seluler murah. Penyebab paling umum nomophobia ini pada penelitian di atas adalah penggunaan media sosial, seperti whatsapp dan facebook (88,7%), diikuti oleh chatting-an dan menelepon teman (36,9%) dan menggunakan telepon untuk tujuan akademik (28%). Dari penelitin tersebut dapat ditarik benang merah bahwa nomophobia adalah bahaya yang akan menciptakan kerusakan bagi manusia di masa yang akan datang, kecuali jika penggunaan smarthphone dapat dikendalikan.

Pavithra dan kawan-kawannya juga melakukan penelitian terhadap 200 mahasiswa fakultas kedokteran di Bagalore, India. Tujuannya adalah untuk menilai ketergantungan smartphone di kalangan mahasiswa fakultas kedokteran tersebut. Hasilnya adalah mayoritas mahasiswa (74%) menghabiskan sekitar 300-500 rupee per bulan untuk mengisi ulang data seluler, 23% mahasiswa merasa stress dan kehilangan konsentrasi ketika tidak ada smartphone di sekitar mereka, serta 39,5% mahasiswa telah menderita nomophobia dan 27% lainnya beresiko terkena dampak nomophobia.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melakukan survei tentang penggunaan internet oleh penduduk di Indonesia pada tahun 2023. Hasilnya adalah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2023 menyentuh angka 215.626.156 jiwa atau 78,19% dari total penduduk Indonesia. Hasil survei tersebut mengalami peningkatan sebesar 1,17% dari survei yang dilakukan pada tahun kemarin. Peningkatan ini disebabkan oleh penggunaan internet yang kian jadi kebutuhan masyarakat, khususnya pasca pandemi Covid-19 pada tahun 2020, seperti perusahaan atau perkantoran yang masih tetap memberlakukan sistem kerja WFH (Work from Home) atau sistem perkuliahan yang masih dilakukan dengan sistem daring. Apabila dilihat dari kategori gender di Indonesia, hasil survei menunjukkan kenaikan tingkat penggunaan internet untuk laki-laki pada 2022-2023 sebesar 79,32% dari total populasi laki-laki, sedangkan tingkat pengunaan internet untuk perempuan sebesar 77,36% dari total populasi perempuan di Indonesia. Apabila dirinci berdasarkan kategori provinsi, pengguna internet tertinggi atau di atas 80% berada di Banten dengan 89,10% dan diikuti DKI Jakarta dengan 86,96%. Selanjutnya, ada Jawa Barat dengan 82,73%, Kepulauan Bangka Belitung dengan 82,66%, Jawa Timur 81,26%, Bali 80,88%, Jambi 80,48%, dan Sumatra Barat 80,31%. Hasil survei di atas dapat ditarik benang merah bahwa manusia modern sedikit banyak memiliki ketergantungan terhadap teknologi terutama internet, sehingga kemungkinan terjadinya fenomena nomophobia ini semakin besar mengintai manusia.

Smartphone dan teknologi baru lainnya memiliki aspek positif dan negatif tergantung sang pemakainya. Mereka membantu meningkatkan komunikasi di seluruh dunia, seperti melalui media sosial, situs jejaring sosial, dan lain sebagainya. Mereka juga memungkinkan manusia untuk melakukan banyak pekerjaan dengan cepat. Di sisi lain, penggunaan jangka panjang menyebabkan perilaku adiktif. Selain itu smarthphone juga dapat menimbulkan patologi fisik dan psikologis, seperti kerusakan yang diakibatkan oleh mediasi medan elektromagnetik, kecelakaan dalam berlalu lintas dan gangguan terkait ketidakmampuan manusia dalam menggunakan smartphone.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun