Mohon tunggu...
Kepikmerah
Kepikmerah Mohon Tunggu... Lainnya - Normal citizen

I never born to please anyone

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Tips Parenting bagi Orang Tua Baru

5 Juni 2024   17:54 Diperbarui: 5 Juni 2024   18:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

"From failing, you learn. From success, not so much." Lewis - Meet the Robinsons

Melakukan segala sesuatu untuk pertama kali memang bukan hal mudah, apalagi mengasuh anak. Dalam prosesnya tentu perlu banyak penyesuaian, menerapkan aturan, hingga memperpanjang kesabaran. Sebagaimana kita memulai hal baru, pasti perlu ada persiapan. Kadang saat anak lahir, kita terlalu fokus pada persiapan keperluan bayi, baju-baju gemas, hingga mainan bayi. Tidak jarang beberapa hal penting justru terlupakan. Sebagai orang tua baru dengan anak sudah menginjak usia balita, saya mulai menyadari bahwa persiapan saya dalam menyambut anak pertama itu banyak yang terlewat. Dari kesalahan saya ini, saya harap orang tua baru atau siapapun calon orang tua akan memikirkan hal-hal berikut sebagai bagian dari persiapan menyambut si kecil. Berikut adalah beberapa hal diantaranya:

Belajar dari buku dan para expert

Dulu ketika saya masih hamil, saya banyak belajar dari sosial media (youtube dan instagram) mengenai kehamilan, persalinan, dan sedikit tentang cara merawat bayi. Ekspektasi saya, ketika saya melahirkan nanti akan ada panduan yang diberikan kepada orang tua baru mengenai cara mengurus bayi. Namun kenyataannya tidak begitu. Tidak semua faskes memberikan pengetahuan yang menyeluruh tentang cara merawat bayi. Bagi dokter atau nakes yang berkata "coba lihat KMSnya", kenyataannya KMS yang diberikan saat anak saya lahir tidak lengkap seperti versi Kemenkes. Dan saya sebagai orang awam tidak paham perbedaannya dimana. Lagi pula ada banyak materi lainnya yang masih harus digali di luar KMS versi Kemenkes (pada masa itu), seperti cara menyusui bayi dan panduan MPASI yang komprehensif. Bukan untuk mengkritisi, tapi faktanya begitu. Kurangnya penyampaian informasi tersebut juga bisa dilihat dari banyaknya kelas-kelas eksklusif untuk menyusui dan cara menyiapkan MPASI yang bertebaran di media sosial (ibu-ibu yang biasa bermain instagram pasti paham maksud saya). Padahal, menurut saya pribadi, memberi ASI dan MPASI adalah proses paling mendasar dalam merawat manusia (dalam hal ini memberi makan anak). Kurang etis rasanya bila ilmu menyusui dan memberi makan anak sampai harus ikut kursus dan kelas berbayar.

Sementara itu, saya lebih menyarankan para orang tua baru untuk mulai belajar melalui buku atau expert (nakes atau dokter) pada saat konsultasi kehamilan atau tumbuh kembang anak. Pastikan anda datang ke faskes yang lebih informatif untuk mengurus bayi hingga balita, karena memang kita berhak untuk mendapatkan edukasi tersebut. Saya tidak menyarankan informasi dari sosial media dijadikan dasar pembelajaran anda meskipun bersumber dari expert sekalipun. Sebaiknya informasi tersebut hanya menjadi suplemen atau pelengkap saja. Meski sumbernya dari expert, belajar melalui sosial media punya kelemahan diantaranya sbb:

  • Penyampaian materi dengan durasi terbatas memungkinkan materi yang tersampaikan tidak komprehensif hingga ke dasar pemahamannya.
  • Materi banyak dirangkum sehingga banyak detil yang terlewat.
  • Banyak influencer yang menjadi affiliator atau melakukan endorsement sehingga info yang disampaikan bisa jadi bias atau kurang objektif.

Menurut saya, membaca buku adalah salah satu investasi terbaik karena harganya relatif murah juga jitu untuk mengasuh anak. Buku-buku tersebut juga bisa disumbangkan atau diberikan kepada kerabat yang membutuhkan bila sudah tidak terpakai lagi. Ada banyak buku yang bisa mengajarkan bagaimana cara merawat kehamilan, proses bersalin, merawat bayi, hingga merawat anak balita. Sebaiknya anda membaca buku-buku tersebut jauh-jauh hari sebelum anak anda lahir sehingga anda sudah memiliki pengetahuan yang cukup untuk menghadapi anak. Selain itu, ilmu juga bisa memberi ketenangan dalam membesarkan anak. Saya juga tidak menyarankan untuk belajar dari pengalaman orang lain, terutama bila menjadikan itu sebagai pedoman utama dalam pengasuhan anda. Memang tidak ada satu pola asuh yang ampuh untuk semuanya, tapi paling tidak dengan belajar dari expert dan buku (yang tentunya ditulis oleh expert juga), kita mendapat ilmu berdasarkan penelitian dan sains, bukan katanya atau ilmu tebak-tebakan.

Ada beberapa buku yang saya sarankan untuk dibaca untuk membantu anda memahami proses persalinan dan mengurus anak hingga balita dan awal usia sekolah. Mungkin rekomendasi yang saya sampaikan belum terlalu lengkap atau kurang bervariasi karena rekomendasi ini berdasarkan buku-buku yang saya beli sendiri dan saya baca. Beberapa buku tersebut adalah:

  • Kehamilan, persalinan, dan mengasuh bayi: The Montessori Baby
  • ASI dan MPASI: Anti Ribet MPASI
  • Mengasuh balita dan anak usia sekolah: The Whole Brain Child, The Montessori Toddler, Montessori Play and Learn

Pilih faskes melahirkan yang sesuai dengan keinginan kita

Dulu saya pikir bersalin dimana saja ya akan sama saja, selama anak dan ibu selamat. Tapi ternyata tidak begitu. Bersalin lebih dari sekedar mengeluarkan anak dari dalam perut. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dari faskes bersalin seperti:

  • Bila persalinan dilakukan oleh dokter, apakah dokter tersebut pro melahirkan normal atau caesar?
  • Apakah faskes pro ASI atau susu formula?
  • Apakah faskes memberikan edukasi yang mumpuni terkait cara merawat bayi, terlebih untuk orang tua baru?
  • Apakah faskes memastikan kondisi si ibu sebelum melahirkan, seperti meminta hasil lab atau melakukan cek darah sebelum operasi?

Bahkan beda dokter saja, penanganan kehamilan dan persalinan bisa berbeda. Seperti kasus saya, dokter saya kurang informatif dan tidak terlalu ketat memantau terkait status gizi saya. Hingga pada saat saya melahirkan, ternyata hemoglobin saya pas-pasan tapi tetap dilakukan persalinan caesar. Tentu setiap melahirkan punya risiko kehilangan darah, tapi dengan kondisi saya tersebut maka hemoglobin saya turun jauh setelah melahirkan. Itu hanya contoh kecil dari pemilihan faskes dan dokter yang kurang tepat. Di sisi lain, faskes yang saya pilih juga kurang siap untuk mengajari saya menyusui secara langsung. Semuanya serba mendadak dan penuh keburu-buruan. Bila kalian ada kekhawatiran yang sama, maka ada baiknya anda meriset betul-betul tempat anda konsul dan melahirkan nanti. Faskes mahal tidak menjamin memberikan pelayanan yang berkualitas dan sesuai dengan kemauan kita, begitu juga sebaliknya. Pastikan faskes yang anda pilih memungkinkan anda untuk melahirkan senyaman dan senyaman yang anda inginkan, serta memberikan ilmu atau informasi yang sesuai dengan kebutuhan anda.

Berkegiatan seperti biasa

Pasca melahirkan, tentu ada banyak aktivitas yang tidak bisa saya lakukan seperti biasa. Terlepas dari pemulihan pasca operasi, jujur saya sempat khawatir meninggalkan anak saya untuk sekedar beraktivitas seperti biasa - bebersih rumah, mandi/ke toilet atau sekedar jalan pagi. Hal tersebut berlanjut hingga anak saya bisa merangkak dan berjalan, dimana kita harus lebih sering memperhatikan anak. Padahal, dari buku yang saya baca (The montessori baby), sebaiknya kita melakukan aktivitas seperti biasa sedini mungkin dan membiarkan anak kita memperhatikan kita beraktivitas. Sayangnya saya membaca buku ini setelah anak saya berumur 1 tahun. Anak saya sudah terbiasa melihat ibunya ada di sampingnya, jadi setiap saya mulai berkegiatan anak saya mengira dia ditinggal. Maka dari itu, membiasakan anak melihat kita berkegiatan itu penting. Dengan cara ini, anak akan paham bahwa orang tuanya memiliki rutinitas diluar mengasuhnya. Sehingga ketika nanti dia sudah lebih besar, dia akan lebih maklum ketika kita beraktivitas bahkan mungkin membantu kita menyelesaikan aktivitas tersebut.

Connect before correction

Sepertinya hal ini biasa terjadi di kebanyakan orang tua. Kita terlalu gemas untuk mengajari anak bagaimana sebaiknya dia melakukan suatu kegiatan. "Nak, bukan gitu pegangnya. Ya, betul begitu!" "Nak, hati-hati kalau lari-lari nanti bisa jatuh" "Nak, gak begitu. Yang benar begini!". Terdengar familiar, bukan? Saya pun begitu. Kita terlalu sibuk memberi arahan ini dan itu hingga tiba saatnya anak tidak mau mendengarkan arahan kita. Minimal hal ini yang terjadi di saya dan anak saya. Ketika anak saya mulai memasuki fase balita, sekedar memandikannya atau mengganti baju menjadi tantangan nyata. Apalagi dilakukan berkali-kali dalam sehari, tentunya kegiatan tersebut menjadi sangat menantang dan menguras tenaga sekaligus emosi. Saya mencari tahu kenapa anak saya tidak mau mendengarkan arahan saya dan jawabannya adalah saya tidak connect dengan anak. Tentu saja tanggapan saya, 'what the hell? Saya bersama dengan anak saya selama 24/7 dan saya masih tidak connect dengan anak?'. Baiklah, perlu diakui bahwa lama kita bersama dengan anak tidak mencerminkan kualitas dengan anak, begitu pula dengan status ibu rumah tangga. Menjadi ibu di rumah tidak menjamin bahwa si ibu benar-benar terkoneksi dengan anak. Bisa jadi si ibu terlalu lelah mengurus anak atau mengurus kebutuhan rumah tangga hingga tidak punya energi yang cukup untuk terkoneksi dengan anak. Hal ini sangat wajar terjadi dan tidak menjadikan peran ibu di rumah tidak berarti. Untuk bisa terkoneksi lagi, ibu bisa mengajak anak untuk melakukan project bersama seperti masak bersama atau membersihkan sepeda bersama, atau sekedar menyanyikan lagu dan tertawa bersama anak. Ketika kita sudah mulai terkoneksi dengan anak, anak akan lebih sering mengajak kita berbicara, tertawa bersama kita, dan membangun kepercayaannya lagi pada kita. Sehingga ketika kita berbicara dengan dia, anak akan lebih medengarkan dibandingkan sebelumnya.

Biarkan anak eksplorasi seluas-luasnya

It sounds obvious, anyway. Kita semua tahu secara naluriah anak akan terdorong untuk bereksplorasi. Melihat dunia yang dia tinggali. Kadang eksplorasi mulai dari memasukkan benda ke mulut, mulai merangkak ke berbagai sudut ruangan, atau yang lainnya. Tapi kadang tanpa sadar kita banyak khawatir ketika anak eksplorasi. Takut anak merangkak ke sudut ruangan karena ada kabel listrik atau takut anak main gelas kaca dan pecah, sehingga kita terlalu banyak melarang anak ini dan itu. "Jangan nak, bahaya. Jangan nak, nanti jatuh. Jangan ini dan itu.". Semakin sering dilarang, ada kemungkinan membuat anak takut untuk eksplorasi. Hal tersebut terjadi di anak saya. Saya sempat takut anak saya jalan kaki 'nyeker' karena waktu itu dia tidak mau pakai alas kaki. Saya sempat takut ini dan itu, sampai akhirnya anak saya malas untuk jalan jauh. Yang disayangkan adalah perkembangan dia untuk berjalan jadi terhambat karena kurangnya stimulasi dan salah satu penyebabnya adalah saya sering melarang anak 'nyeker'. Jadi apa yang harus dilakukan? Sebisa mungkin minimalisir melarang anak eksplorasi dengan membangun lingkungan yang aman untuk dieksplorasi oleh anak, seperti menjauhkan barang-barang yang berbahaya. Anda bisa mencontoh desain ruangan ramah anak ala montessori (referensi bisa dari buku Montessori Toddler). Saya pribadi tidak sepenuhnya mengikuti kaidah montessori, hanya berfokus menjauhkan barang-barang berbahaya dari jangkauan anak. Sisanya? Ketika anak memanjat jendela atau tangga, tetap awasi dan peringatkan anak untuk berhati-hati. Little did we know, ternyata anak juga memiliki sense aman/bahaya secara naluriah.

Don't stress things out

Menjadi ibu denial memang mengerikan, tapi menjadi ibu yang penuh dengan ketakutan juga banya ruginya. Ya, karena saya termasuk ibu yang penuh dengan kekhawatiran. Sekedar perubahan suhu tubuh saja bisa bikin saya khawatir. Setelah beberapa lama, saya menyadari bahwa ketakutan saya ini muncul dari kurangnya ilmu mengurus anak. Sebagai anak terakhir, saya belum pernah ikut mengurus bayi secara langsung sehingga banyak hal yang masih asing bagi saya. Jadi, ada baiknya kita membekali diri dengan ilmu yang mumpuni sedini mungkin, dari sebelum anak kita lahir.

Setelah membekali diri dengan ilmu, sebagai orang tua juga perlu membekali diri dengan ilmu pasrah. Ya, saya yakin setiap orang tua pasti pernah merasa stuck atau mencapai puncak frustasinya, terutama ketika anak sedang susah makan atau perkembangannya terhambat. Tidak apa-apa, selama kita sudah melakukan yang terbaik dan selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak, kita harus memasrahkan diri pada Tuhan. Hidup tidak selamanya berjalan sesuai rencana. Bahkan ketika kita melakukan kesalahan saat mengurus anak, kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki esok hari. Tumbuh kembang anak itu tidak terjadi hanya sebulan, setahun atau dua tahun saja. Perjalanan kita masih panjang bapak ibu, bahkan otak anak masih akan berkembang hingga umur 28 tahun. Artinya, waktu kita masih sangat panjang untuk memperbaiki cara pengasuhan kita. Yang perlu kita lakukan adalah lakukan yang terbaik hari ini dan lebih baik lagi esok hari.

Ketika kita merasa kewalahan dalam mengurus anak atau kita merasa stress atau merasa cemas berlebih, segeralah cari bantuan. Membesarkan anak adalah pekerjaan sulit, meminta bantuan adalah cara natural untuk mendukung proses membesarkan anak.

Membesarkan anak bukanlah proses yang mudah. Membesarkan anak juga adalah seni kehidupan, tidak pernah ada yang mutlak benar atau salah. Tapi apapun pola asuh yang kita adopsi, tentu semuanya harus didasarkan pada kasih sayang tulus dan pemenuhan kebutuhan anak jangka panjang. Semangat bagi para orang tua di luar sana, semoga kita selalu dikuatkan :) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun