Berkegiatan seperti biasa
Pasca melahirkan, tentu ada banyak aktivitas yang tidak bisa saya lakukan seperti biasa. Terlepas dari pemulihan pasca operasi, jujur saya sempat khawatir meninggalkan anak saya untuk sekedar beraktivitas seperti biasa - bebersih rumah, mandi/ke toilet atau sekedar jalan pagi. Hal tersebut berlanjut hingga anak saya bisa merangkak dan berjalan, dimana kita harus lebih sering memperhatikan anak. Padahal, dari buku yang saya baca (The montessori baby), sebaiknya kita melakukan aktivitas seperti biasa sedini mungkin dan membiarkan anak kita memperhatikan kita beraktivitas. Sayangnya saya membaca buku ini setelah anak saya berumur 1 tahun. Anak saya sudah terbiasa melihat ibunya ada di sampingnya, jadi setiap saya mulai berkegiatan anak saya mengira dia ditinggal. Maka dari itu, membiasakan anak melihat kita berkegiatan itu penting. Dengan cara ini, anak akan paham bahwa orang tuanya memiliki rutinitas diluar mengasuhnya. Sehingga ketika nanti dia sudah lebih besar, dia akan lebih maklum ketika kita beraktivitas bahkan mungkin membantu kita menyelesaikan aktivitas tersebut.
Connect before correction
Sepertinya hal ini biasa terjadi di kebanyakan orang tua. Kita terlalu gemas untuk mengajari anak bagaimana sebaiknya dia melakukan suatu kegiatan. "Nak, bukan gitu pegangnya. Ya, betul begitu!" "Nak, hati-hati kalau lari-lari nanti bisa jatuh" "Nak, gak begitu. Yang benar begini!". Terdengar familiar, bukan? Saya pun begitu. Kita terlalu sibuk memberi arahan ini dan itu hingga tiba saatnya anak tidak mau mendengarkan arahan kita. Minimal hal ini yang terjadi di saya dan anak saya. Ketika anak saya mulai memasuki fase balita, sekedar memandikannya atau mengganti baju menjadi tantangan nyata. Apalagi dilakukan berkali-kali dalam sehari, tentunya kegiatan tersebut menjadi sangat menantang dan menguras tenaga sekaligus emosi. Saya mencari tahu kenapa anak saya tidak mau mendengarkan arahan saya dan jawabannya adalah saya tidak connect dengan anak. Tentu saja tanggapan saya, 'what the hell? Saya bersama dengan anak saya selama 24/7 dan saya masih tidak connect dengan anak?'. Baiklah, perlu diakui bahwa lama kita bersama dengan anak tidak mencerminkan kualitas dengan anak, begitu pula dengan status ibu rumah tangga. Menjadi ibu di rumah tidak menjamin bahwa si ibu benar-benar terkoneksi dengan anak. Bisa jadi si ibu terlalu lelah mengurus anak atau mengurus kebutuhan rumah tangga hingga tidak punya energi yang cukup untuk terkoneksi dengan anak. Hal ini sangat wajar terjadi dan tidak menjadikan peran ibu di rumah tidak berarti. Untuk bisa terkoneksi lagi, ibu bisa mengajak anak untuk melakukan project bersama seperti masak bersama atau membersihkan sepeda bersama, atau sekedar menyanyikan lagu dan tertawa bersama anak. Ketika kita sudah mulai terkoneksi dengan anak, anak akan lebih sering mengajak kita berbicara, tertawa bersama kita, dan membangun kepercayaannya lagi pada kita. Sehingga ketika kita berbicara dengan dia, anak akan lebih medengarkan dibandingkan sebelumnya.
Biarkan anak eksplorasi seluas-luasnya
It sounds obvious, anyway. Kita semua tahu secara naluriah anak akan terdorong untuk bereksplorasi. Melihat dunia yang dia tinggali. Kadang eksplorasi mulai dari memasukkan benda ke mulut, mulai merangkak ke berbagai sudut ruangan, atau yang lainnya. Tapi kadang tanpa sadar kita banyak khawatir ketika anak eksplorasi. Takut anak merangkak ke sudut ruangan karena ada kabel listrik atau takut anak main gelas kaca dan pecah, sehingga kita terlalu banyak melarang anak ini dan itu. "Jangan nak, bahaya. Jangan nak, nanti jatuh. Jangan ini dan itu.". Semakin sering dilarang, ada kemungkinan membuat anak takut untuk eksplorasi. Hal tersebut terjadi di anak saya. Saya sempat takut anak saya jalan kaki 'nyeker' karena waktu itu dia tidak mau pakai alas kaki. Saya sempat takut ini dan itu, sampai akhirnya anak saya malas untuk jalan jauh. Yang disayangkan adalah perkembangan dia untuk berjalan jadi terhambat karena kurangnya stimulasi dan salah satu penyebabnya adalah saya sering melarang anak 'nyeker'. Jadi apa yang harus dilakukan? Sebisa mungkin minimalisir melarang anak eksplorasi dengan membangun lingkungan yang aman untuk dieksplorasi oleh anak, seperti menjauhkan barang-barang yang berbahaya. Anda bisa mencontoh desain ruangan ramah anak ala montessori (referensi bisa dari buku Montessori Toddler). Saya pribadi tidak sepenuhnya mengikuti kaidah montessori, hanya berfokus menjauhkan barang-barang berbahaya dari jangkauan anak. Sisanya? Ketika anak memanjat jendela atau tangga, tetap awasi dan peringatkan anak untuk berhati-hati. Little did we know, ternyata anak juga memiliki sense aman/bahaya secara naluriah.
Don't stress things out
Menjadi ibu denial memang mengerikan, tapi menjadi ibu yang penuh dengan ketakutan juga banya ruginya. Ya, karena saya termasuk ibu yang penuh dengan kekhawatiran. Sekedar perubahan suhu tubuh saja bisa bikin saya khawatir. Setelah beberapa lama, saya menyadari bahwa ketakutan saya ini muncul dari kurangnya ilmu mengurus anak. Sebagai anak terakhir, saya belum pernah ikut mengurus bayi secara langsung sehingga banyak hal yang masih asing bagi saya. Jadi, ada baiknya kita membekali diri dengan ilmu yang mumpuni sedini mungkin, dari sebelum anak kita lahir.
Setelah membekali diri dengan ilmu, sebagai orang tua juga perlu membekali diri dengan ilmu pasrah. Ya, saya yakin setiap orang tua pasti pernah merasa stuck atau mencapai puncak frustasinya, terutama ketika anak sedang susah makan atau perkembangannya terhambat. Tidak apa-apa, selama kita sudah melakukan yang terbaik dan selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak, kita harus memasrahkan diri pada Tuhan. Hidup tidak selamanya berjalan sesuai rencana. Bahkan ketika kita melakukan kesalahan saat mengurus anak, kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki esok hari. Tumbuh kembang anak itu tidak terjadi hanya sebulan, setahun atau dua tahun saja. Perjalanan kita masih panjang bapak ibu, bahkan otak anak masih akan berkembang hingga umur 28 tahun. Artinya, waktu kita masih sangat panjang untuk memperbaiki cara pengasuhan kita. Yang perlu kita lakukan adalah lakukan yang terbaik hari ini dan lebih baik lagi esok hari.
Ketika kita merasa kewalahan dalam mengurus anak atau kita merasa stress atau merasa cemas berlebih, segeralah cari bantuan. Membesarkan anak adalah pekerjaan sulit, meminta bantuan adalah cara natural untuk mendukung proses membesarkan anak.
Membesarkan anak bukanlah proses yang mudah. Membesarkan anak juga adalah seni kehidupan, tidak pernah ada yang mutlak benar atau salah. Tapi apapun pola asuh yang kita adopsi, tentu semuanya harus didasarkan pada kasih sayang tulus dan pemenuhan kebutuhan anak jangka panjang. Semangat bagi para orang tua di luar sana, semoga kita selalu dikuatkan :)Â