Mohon tunggu...
Sika Aura Hamala
Sika Aura Hamala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester 2 Universitas Airlangga

Memiliki minat dalam bidang bahasa dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cancel Culture vs Public Figure: Ancaman Kebebasan Berpendapat?

11 Juni 2023   19:35 Diperbarui: 11 Juni 2023   19:41 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam gaya hidup masyarakat. Masifnya penggunaan media sosial dari berbagai kalangan usia telah menjadi gaya hidup baru dalam lapisan masyarakat. Tanpa disadari, gaya hidup baru yang terbentuk dari adanya media sosial perlahan telah mengubah pola perilaku masyarakat terutama dalam segi budaya, etika, dan norma yang berlaku di masyarakat. 

Keberadaan media sosial di zaman modern ini membuat arus penyebaran informasi menjadi cepat, bebas, dan tidak terkendali. Berbagai informasi dengan mudahnya tersebar luas dan menjadi viral di kalangan masyarakat. Tak jarang pula isu - isu tersebut ditelan mentah - mentah sebagai konsumsi hangat para pengguna media sosial tanpa di cross check terlebih dahulu kebenarannya. Hal ini akhirnya mengundang berbagai respon dari para pengguna media sosial.

Ketika beredar informasi tentang seseorang yang telah melakukan kesalahan yang dianggap cukup fatal, para pengguna media sosial kemudian berlomba - lomba untuk menyerang akun media sosial orang tersebut dengan tujuan untuk menghancurkan reputasi dan menghambat pergerakannya. Apabila hal tersebut terjadi pada seorang public figure, biasanya mereka akan membuat sebuah petisi yang berisi pemboikotan public figure tersebut dari layar kaca. Aksi tersebut kemudian dihubungkan dengan fenomena cancel culture. 

Apa itu Cancel Culture?

Cancel culture adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan praktik di mana individu atau kelompok sengaja mencoba untuk menghentikan atau menghukum seseorang secara sosial atau ekonomi karena tindakan, pernyataan, atau pendapat mereka yang dianggap kontroversial, menyakitkan, atau tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Biasanya, orang yang menjadi target cancel culture akan mengalami boikot, penghentian dukungan finansial, penghinaan di media sosial, atau bahkan kehilangan pekerjaan atau reputasi mereka.

Cancel culture sering muncul dalam konteks berita, lingkungan online, dan media sosial, dimana kemarahan publik atau ketidaksetujuan atas tindakan atau pernyataan seseorang dapat menyebar dengan cepat dan menjangkau banyak orang dalam waktu singkat. Meskipun cancel culture terkadang dapat digunakan sebagai alat dalam memperjuangkan keadilan sosial dan dalam memerangi perilaku atau keyakinan yang merugikan kelompok minoritas, namun dalam beberapa kasus fenomena ini juga dapat mengakibatkan penilaian yang tidak adil atau membuat seseorang terpuruk tanpa adanya kesempatan untuk melakukan perbaikan.

Public Figure dan Cancel Culture

Public figure dikenal juga sebagai orang yang memiliki pengikut baik di media sosial maupun di dunia nyata. Public figure biasanya datang dari kalangan politisi hingga selebriti. Dengan adanya media sosial, pergerakan sekecil apapun dari orang - orang yang kemudian dianggap sebagai public figure atau dalam istilah baru dikenal juga sebagai influencer ini akan selalu terpantau oleh para pengguna media sosial lainnya. Sehingga, dengan adanya media sosial ini mereka harus mulai berhati - hati terhadap apa yang akan mereka unggah.

Seorang public figure yang melakukan tindakan ataupun memiliki pendapat yang mereka anggap salah karena tidak sesuai dengan norma - norma yang mereka anut, biasanya akan langsung mendapat kecaman dari para pengguna media sosial. Public figure yang dianggap melakukan kesalahan akan di judge sebagai manusia paling berdosa dengan komentar - komentar yang menyakitkan bahkan melangkah terlalu jauh ke hal - hal yang bersifat privasi dari public figure tersebut.

Salah satu contoh public figure yang sempat mengalami fenomena ini adalah Ernest Prakasa yang pada Maret 2017 lalu, melalui akun Twitter-nya, ia dengan gamblang mengomentari Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla yang menerima kedatangan Zakir Naik, yang merupakan seorang pendakwah asal India. Dalam cuitannya, Ernest seolah menyesali kenapa Jusuf Kalla mau bertemu dengan Zakir Naik yang merupakan pendana kelompok Islam radikal, ISIS. Meski ia sempat mengungkapkan bahwa dugaan pendana ISIS itu didapat-nya dari sebuah artikel, namun tentu saja Ernest tak bisa lepas dari kecaman pengguna media sosial hingga muncul sebuah tagar #boikottolakangin pada linimasa twitter, karena kebetulan pada saat itu ia merupakan bintang iklan dari produk Sido Muncul tersebut. Buntut dari masalah ini, dikabarkan Sido Muncul pun memutus kontrak Ernest sebagai bintang iklan Tolak Angin.

Meskipun cancel culture dapat mendorong pertanggungjawaban publik, terdapat kekhawatiran pula bahwa pendekatan ini dapat menghukum seseorang secara berlebihan tanpa memberikan kesempatan untuk pembelajaran dan pemulihan. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan antara mengkritik tindakan seseorang dan memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang dan memperbaiki diri.

Cancel Culture Ancaman Kebebasan Berpendapat?

Cancel culture seringkali muncul sebagai tanggapan atas pandangan atau pernyataan yang kontroversial atau tidak populer. Namun, dalam beberapa kasus, penolakan tersebut dapat menciptakan suasana intoleransi terhadap mereka yang berpikiran berbeda. Individu yang menyatakan pendapat yang berbeda atau mengkritik gagasan yang dominan menjadi target cancel culture, yang membatasi kebebasan individu untuk berbicara secara bebas atau menyatakan pendapatnya. 

Efek dari cancel culture bisa membuat masyarakat takut untuk mengungkapkan pandangan yang tidak sejalan dengan arus utama atau dianggap kontroversial. Ketakutan akan konsekuensi negatif yang mungkin terjadi, seperti boikot atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan penyensoran diri, yang membuat enggan mengungkapkan pendapat yang mungkin penting atau berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun