Dengan keraguan metodis, seorang filsuf bernama Descartes sudah menemukan pijakan fundamentalnya, yakni Cogito: suatu kesadaran diri secara penuh terhadap eksistensi diri sendiri terhadap eksistensi objek-objek eksternal (diluar diri sendiri).
Namun ia mengakui bahwa pikiran sendiri dapat menggapai pengetahuan tanpa melalui pancaindra. Dengan demikian saya berfikir bahwa pengetahuan itu memang sudah diperoleh melalui ide-ide yang sudah melekat dalam jiwa manusia.
Mungkin diperoleh sejak manusia itu lahir. Namun konsep tentang ide bawaan hanya bersifat abstrak. Desrates menyatakan bahwa keterkaitan antara eksistensi pikiran yang berpikir dan eksistensi hal-hal yang eksternal. Pertanyaannya:
1.Realitas badan itu kita percaya berdasarkan apa?
2.Bagaimana hubungan antara pikiran dan hal eksternal bekerja?
Pertanyaan dijawab Desrates dengan memanfaatkan Tuhan. Ia memulainya dengan menyusun suatu argumentasi yang disebut argumen ontologis tentang eksistensi tuhan (konsep “Tuhan”). Dengan begitu ia mengajukan sebuah statement yaitu “kita semua didalam diri kita mempunyai kesempurnaan”. Sekalipun begitu yang berada pada kesempurnaan ini pasti eksis (ada) pada aktualnya. Karena kalau tidak itu akan kurang sempurna.
Membahas tentang ide-ide dan konsep tentang tuhan saya teringat pada Nietzsche ketika ia mendeklarasikan bahwa “ Tuhan Sudah Mati”, mungkin yang ia maksudkan adalah tuhan telah menjadi sebuah ide abstrak yang sebagian orang menerima dan sebagian tidak, paling tidak dibumi bagian barat. Tetapi tidak begitu berpengaruh pada kedua orang yang berbeda pendapat tersebut antara percaya atau tidak.
Pada abad pertengahan, tanpa tuhan mereka mungkin tidak punya sumber otoritas politik, moral, dan estetika. Dan tidak bisa mengatakan baik dan buruk. Siapa yang bisa hidup seperti itu?.
Kini saya yang hidup di dunia modern atau biasa disebut manusia milenial, mudah bagi saya yang hidup di zaman ini untuk tidak mempercayai Tuhan karena saya tidak harus membayar apapun untuk tidak mempercayainya.
Saya bisa juga menjadi atheis sepenuhnya dan saya masih memperoleh pencampuran yang sangat banyak tentang nilai-nilai politik, moral, estetika dan informasi apapun. Ketika saya memilih untuk tidak mempercayaiNya yang didapat dari pengalaman yang saya alami dari diri saya sendiri.
Jika saya benar-benar mempercayai tuhan, maka itu adalah pilihan saya. Jadi menurut saya, percaya tuhan tidak butuh alasan, alasan artinya dasar. Jika hati saya mengatakan untuk mempercayai tuhan maka saya percaya. Meskipun saya percaya entah karena saya merasakan kehadiran Tuhan ataukah karena saya sejak masa kanak kanak diajarkan untuk mempercayai Tuhan?.