Murahnya harga singkong itu tak pernah membuat kami urung untuk menanamnya kembali. Sebab, komoditas ini sudah jadi bagian yang tak terpisahkan bagi kami, terutama bagi ternak keluarga. Apalagi di kampung saya, hampir setiap kepala keluarga memilikinya. Oleh karenanya, harga itu tak begitu berpengaruh sekali.
Selain padi, dulu saat masih sekolah dasar saya juga gemar menanam singkong. Harus diakui kalau menanam singkong di ladang jadi tempat kedua setelah sawah menanam padi. Bahkan sawah dan ladang selalu jadi pelarian setelah pulang sekolah. Hal yang paling dinanti dari keduanya tentu saat musim panen tiba. Bila di sawah akan merasakan terik matahari berlebih, maka di ladang singkong, hal itu tak akan kita temui.
Kini setelah beberapa tahun merantau, hal itu kembali terulang lagi. Lagi-lagi pandemi jadi dalangnya. Momen itu pun saya alami kembali, terimakasih pandemi. Apalagi panen singkong kali ini terasa istimewa sebab saya dapat berkumpul dengan keluarga. Baik yang di kampung pun dengan yang di perantauan, itu semua dipertemukan berkat pandemi sekarang.
Tak seperti memanen padi, produk singkong di kampung saya biasanya ditanam di ladang masing-masing warga sehingga sifatnya lebih privat. Ada pula sebagian yang nebeng di ladang tetangga atau famili.
Di kampung saya budidaya singkong belum jadi komoditas yang bernilai tinggi. Warga masyarakat masih hanya menggunakannya sebagai bahan pangan ternak babi. Kadangkala sebagai cadangan pangan sehari-hari. Untuk produksi keripik saja jarang sekali ditemui.
Biasanya hasil panenan singkong akan dijual ke luar daerah, misalnya Aceh Singkil yang berjarak 3 jam lebih dari kampung. Seperti yang kami lakukan ketika memanen. Harganya memang tak begitu bersahabat dengan harapan. Para tengkulak singkong hanya mematok harga Rp. 1.000/Kg. Tak banyak pilihan bagi petani yang memiliki singkong. Daripada busuk di bawah tanah, lebih baik dijual dengan harga murah.
Murahnya harga singkong itu tak pernah membuat kami urung untuk menanamnya kembali. Sebab, komoditas ini sudah jadi bagian yang tak terpisahkan bagi ternak di keluarga. Apalagi di kampung saya, hampir setiap kepala keluarga memilikinya. Oleh karenanya, harga itu tak begitu berpengaruh sekali.
Walau harganya murah, banyaknya jumlah singkong setiap batangnya cukup membantu pundi-pundi rupiah. Satu batang saja dapat mencapai 50 kilogram atau bahkan lebih. Tak heran bila untuk mencapai angka 1 ton itu terbilang cukup mudah. Seperti hasil panenan kami yang hari itu mencapai 500 kg. Padahal batang singkong yang kami cabut tak sampai 100 batang.
Singkong Jadi Substitusi NasiÂ
Harga singkong yang hanya 1000/kg, sebenarnya dapat ditingkatkan lagi. Tentu dengan metode yang berbeda. Komoditas itu semestinya dapat dibudidayakan oleh pemerintah guna memberdayakan masyarakat desa. Keberadaan BUMDES dapat dijadikan sebagai opsi pemberdayaan. Dimulai dengan pelatihan pemanfaatan, pengolahan, hingga pendistribusian hasil. Budidaya singkong yang benar akan membantu pendapatan warga, bahkan dapat mengurangi ketergantungan memakan beras.
Keluarga saya sendiri juga sudah pernah melakukannya. Biasanya singkong akan direbus biasa. Lalu sebagai lauknya akan ditaburi serbuk kelapa dan gula pasir di dalamnya. Rasanya pun tak kalah dengan hidangan nasi dengan ayam opor atau sejenisnya. Akan tetapi, harus diakui bila komoditas ini seringkali dianggap rendah dengan yang lain. Padahal banyak produk di supermarket dan toko retail modern adalah terbuat dari singkong.
Tak heran bila enam tahun lalu, bagaimana pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Apratur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat edaran yang bernada seruan bagi seluruh instansi pemerintahan untuk menyediakan makanan lokal seperti singkong. Itu dilakukann untuk menghargai petani dan merangsang bercocok tanam. Anjuran itu pula diharapkan dapat mengubah paradigma makan singkong, akan bernilai dan lebih bermartabat di mata orang.
Hari ini eras olahan dari padi, menjadi salah satu makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Istilah bahwa seseorang itu belum dapat dikatakan sudah makan kalau belum mengkonsumsi nasi pun seringkali muncul. Padahal nasi lebih cepat diserap tubuh menjadi gula. Berbeda dengan singkong yang sedikit lebih lambat.
Sebab singkong merupakan karbohidrat yang kadar gulanya rendah. Mengkonsumsi singkong dapat memberi rasa kenyang lebih lama dibanding sumber karbohidrat lainnya. Maka tak bisa dipungkiri bila komoditas yang berasal dari Amerika Selatan ini menjadi substitusi paling baik daripada nasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H