Pertama mendengar kata "sukses" yang terlintas di pikiran kebanyakan orang adalah hidup layak, punya pekerjaan mentereng, dan berkecekupan materi. Persepsi sukses hampir semua orang Indonesia akan sama seperti itu. Hanya sedikit yang mempertanyakan kepada seorang individu apa yang dia inginkan dalam hidupnya dan bagaimana pencapaian yang sudah dia capai dalam hidupnya.Â
Bisa jadi, hal-hal yang dicapai itu bukan berkenaan dengan kehidupan yang layak, pekerjaan yang mentereng dan materi yang cukup. Tapi apakah itu tidak bisa dikatakan sukses?
Sukses menjadi kata dasar yang ingin banyak masyarakat sandang dalam hidupnya. Pemikirannya dengan hidup sukses maka bahagialah hidupnya. Padahal bahagia dan sukses itu tidak ada korelasi positif di dalam kehidupan. Justru banyak orang yang dianggap sukses namun tidak bahagia dalam hidupnya karena semakin dianggap sukses seseorang semakin banyak masyarakat menuntut kepadanya.
Saat kita baru lahir, masyarakat sudah menuntut kita untuk memiliki fisik yang sempurna. Jika tidak, dari awal kita akan dikucilkan. Meski kata beberapa orang anak kecil tidak paham akan ejekan yang diterimanya karena fisik, tapi paling tidak aura negatif pasti dirasakan oleh si Anak.Â
Beranjak semakin besar orang-orang menuntut kita untuk bisa berjalan, berlari, berbicara, dan melakukan aktivitas sehari-hari lainnya. Kemudian saat masuk ke dunia sekolah, kita mulai dihadapkan pada tuntutan untuk mendapat nilai yang bagus, bersekolah disekolah yang bagus, bahkan dalam berteman kita dituntut untuk mengikuti lingkungan pergaulan sekolah. Jika tidak memenuhi itu semua, sudah banyak kasus bullying dan bahkan hingga bunuh diri.Â
Lepas sekolah kita dituntut untuk bekerja. Tentu harus mendapat pekerjaan yang mentereng seperti PNS, polisi, militer, pegawai bank, atau pegawai swasta yang harus dibarengi dengan jabatan yang tinggi. Tak lupa, besaran gaji juga dipertanyakan. Hal ini menentukan pada tuntutan berikutnya dari masyarakat, menikah.
Memiliki pasangan yang menarik secara penampilan dan juga memiliki uang yang banyak merupakan tuntutan yang harus dipenuhi banyak orang, terlebih yang memiliki pekerjaan yang mentereng tadi.Â
Mengadakan pesta yang "tidak pernah dilupakan" menjadi kebanggaan sendiri bagi orang tua, apalagi sampai pesta pernikahan itu dipuji oleh banyak orang. Akhirnya tidak jarang orang-orang rela terlilit utang demi mengadakan pesta yang besar dan meriah. Cukup? Belum!
Memiliki barang-barang mewah seperti mobil, rumah, pakaian mewah, barang-barang mewah, menyusul kemudian. Belum lagi tuntutan untuk segera memiliki Anak. Setelah Anak lahir, tuntutan untuk memberi susu formula, acara sukuran yang besar dan lain sebagainya menunggu untuk "dipuaskan". Dan tutntutan itu akan terus berlanjut.
Apa yang terjadi jika tuntutan masyarakat tidak terpuaskan? Label buruk akan tersematkan begitu saja.
Bagi Anda yang terjebak dalam "lingkaran setan" bernama tuntutan masyarakat, pernah ga bertanya pada diri sendiri sebenarnya kita ini senang ga menjalani ini semua? Jangan-jangan saking kita fokus mengejar apa yang diinginkan masyarakat justru membuat kita lupa apa yang membuat kita benar-benar bahagia. Kita lupa bahwa diri kita butuh asupan yang pas agar jiwa kita baik.
Tentu akan banyak yang bilang saya terlalu utopis dengan mengatakan jangan kejar kesuksesan dan lakukanlah hal yang terbaik menurut Anda. Tetapi terus-menerus menuruti apa yang kata orang baik dan benar juga bisa membuat anda tidak sehat secara mental. Saya pernah mengalaminya beberapa tahun yang lalu, dan baru-baru ini ada teman yang terjebak dalam lingkaran setan itu.
Saya paham kita hidup ditengah-tengah masyarakat yang memiliki energi meminta yang tinggi. Jadi tidak heran jika subsidi, gratis, dan promo-promo beli sekian dapat sekian atau potongan harga menjadi hal yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia terlebih yang hidupnya diperkotaan seperti saya. Saat saya ke minimarket dekat rumah dan membeli yang memang saya butuhkan tanpa memikirkan promo apa yang sedang berlangsung, disaat itulah pandangan aneh tertuju kepada saya. Kemudian saya dilabeli "sombong" oleh beberapa orang.
Dalam buku Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer menuliskan "...Barangsiapa muncul di atas masyarakatnya, dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakatnya-masyarakat yang menaikkannya, atau yang membiarkannya naik.... Pohon tinggi dapat banyak angin? Kalau Tuan segan menerima banyak angin, jangan jadi pohon tinggi". Penggalan itu sepertinya pas untuk menggambarkan apa yang saya tulis dari tadi. Tapi kemudian muncul masalah disana, apakah harus tidak menjadi "pohon yang tinggi" untuk keluar dari tuntutan masyarakat? Saya rasa angin kencang tidak harus melulu menerpa pohon yang tinggi, begitu pun tuntutan masyarakat yang tidak mengenal status sosial dan ekonomi untuk menuntut.
Pohon kecil pun bisa memiliki akar yang besar dan kuat dan mampu membuatnya tetap berdiri meski angin besar menerpa. Sebaliknya, pohon besar pun tidak jarang hanya memiliki akar yang tidak cukup kokoh untuk menopang dirinya. Tidak usah angin kencang, angin semilir pun bisa saja merobohkan pohon yang besar itu. Pada akhirnya akar yang kuatlah yang menentukan itu semua.
Apa itu akar? Saya biasanya mengenalnya dengan diri kita yang sebenarnya. Apa itu? Keinginan yang benar-benar diinginkan oleh kita, bukan berdasarkan nafsu kita atau tuntutan dari masyarakat. Apa itu? Saya tidak bisa menjawab karena butuh perenungan terhadap diri sendiri.Â
Tenangkan dulu jiwa Anda. Istirahatlah dan beri ruang dan waktu kepada diri anda untuk mengenal diri anda sendiri. Banyak loh yang melupakan siapa diri ini sebenarnya lantaran kita terlalu sering menggunakan persepsi masyarakat tentang definisi "orang baik" sehingga kita lupa untuk menjadi diri yang baik. Saya paham banyak orang yang akan langsung menolak tulisan saya ini. Tetapi inilah catatan yang bisa saya tinggalkan untuk dibaca semua pembaca kompasiana.
Saya bukanlah seorang tokoh yang terkenal atau pemikir yang hebat. Saya adalah diri saya yang bahagia dengan kehidupan saya sekarang. Meski tidak memiliki pekerjaan yang mentereng, pendapatan yang besar, kendaraan yang bagus dan rumah masih mengontrak, tetapi setidaknya itu yang saya inginkan dan saya bersyukur atas semua yang saya miliki sekarang. Karena bersyukur membuat saya mengerti bahwa apa yang ada pada diri saya sekarang ini adalah hal terbaik yang bisa saya punyai. (AWI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H