Mohon tunggu...
Wisnu Adhitama
Wisnu Adhitama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jalani hidup hari ini dan rencanakan besok dan kedepan untuk berbuat sesuatu

Writer on sihitamspeak.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara-Agama-Fanatisme

23 Desember 2016   11:58 Diperbarui: 23 Desember 2016   12:16 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang negara ini sedang mengalami sebuah gejolak besar dimana bibit fanatisme yang sudah terlampau tinggi. Aliran pemikiran dari tokoh-tokoh yang dianggap memiliki kompetensi dibidangnya masing-masing dipertemukan. Hal yang sering di dapat adalah sebuah perdebatan tanpa konklusi dan media publik membuat sebuah produk yang dimana konklusi itu berada di tangan penikmatnya.

Penyelesaian atau konklusi memang adalah hak penikmat, tetapi perlu diperhatikan bahwa penyelesaian itu bisa diberikan ke penikmat sepanjang Sumber Daya Manusia dari si penikmat mampu mencerna dan mampu mengolahnya. Sayangnya banyak data yang disajikan oleh media publik di buat konklusinya oleh penikmat dengan apa kepentingan dari penikmat. Sehingga jelas data sevalid apapun tidak akan ada gunanya.

Ini bisa berimbas kepada pola pikir masyarakat yang akhirnya membuat negara kita tidak memiliki daya saing. Seseorang yang egois dan fanatik terhadap sesuatu hampir semua adalah orang yang tidak memiliki pemikiran terbuka. Semisal dalam apa yang diyakininya menikah dalam lingkup garis keluarga yang sama itu dilarang, pasti anda yang fanatik terhadap ajaran itu menganggap menikah satu keluarga itu tidak boleh. Biasanya logika yang dipakai adalah logika larangan itu tadi yang berasal dari agama yang disampaikan oleh pemuka agama.

Hampir tidak pernah saya temui logika dari orang yang fanatik terhadap sesuatu itu membuktikan apa yang dibolehkan dan apa yang tidak dibolehkan oleh ajarannya. Semisal dalam contoh diatas, jika hanya berlogika menggunakan ajaran yang dia fanatikkan tentulah dia tidak tahu ada unsur kesehatan dan unsur lainnya dari larangan itu. Bukankah negara kita sedang lemah dalam daya saing? Kritis itu perlu, tidak mencari tahu segala hal itu musibah.

Negara kita sepertinya ada di sebuah kebimbangan besar dengan adanya fatwa (pendapat) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal larangan pemasangan atau penggunaan atribut non-Islam. Saya dari dulu masih menganggap fatwa MUI itu sebagai sebuah pandangan atau pendapat para ahli, dalam hal ini ahli agama. Fatwa beda dengan sabda, beda pula dengan keharusan.

Perlu diluruskan kembali bahwa MUI bukanlah lembaga bentukan pemerintah. Sifat organisasi MUI bagi saya sama dengan sifat organisasi cendekiawan muslim. Namun MUI lebih memiliki “power” untuk membuat sertifikat “halal” dan bisa memberi fatwa yang cukup banyak dianut orang. Karena sifatnya yang diluar dari pemerintah dan hanya mampu memberi sebuah rekomendasi (label halal dan fatwa) maka sudah sepantasnya apa yang di keluarkan atau tidak dikeluarkan MUI ini tidak menimbulkan paksaan terhadap pihak lain.

Tiap tahun menjelang hari raya setiap agama saya sempatkan untuk melihat di televisi dan membaca di beberapa surat kabar. Bukan untuk melihat persiapan natal, namun untuk mencari berita mengenai ­sweeping yang dilakukan ormas (organisasi masyarakat) yang berlabelkan agama mengenai miras, tepat prostitusi, diskotik, dan pelarangan penggunaan atribut non agama itu. Yup, berita itu tak bosan untuk menghiasi headline berita setiap kantor berita.

Kebhinnekaan yang selama ini dirawat tengah dihancurkan. Bagi saya, aksi sweeping dan pengerusakan kepada orang yang tidak mematuhi aturan agama lain itu adalah fanatisme yang bodoh. Untuk apa kalian beragama jika kalian tidak mampu menerima perbedaan? Untuk apa kalian beragama jika iman kalian masih goyah? Buat saya hanya 3 hal yang boleh dibela hingga perang di dunia ini: kemerdekaan atas tanah air, hak-hak dasar sebagai manusia, dan harga diri sebagai manusia. Tiga hal itu adalah hal dasar sebagai manusia bebas versi saya.

Kita sudah mendapat kemerdekaan atas tanah air. Kita pun sudah mendapat hak-hak kita sesuai dengan konstitusi (salah satunya kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan sendiri). Harga diri sebagai manusia itu tergantung individu. Tetapi menurut saya apa yang sering saya tonton, baca, dengar, bahkan lihat sendiri tidak ada dalam ketiga hal yang boleh dibela hingga perang. Menurut saya hal diluar ketiga hal itu sudah masuk ke ranah kekuasaan, uang, dan bahkan sex.

Terlebih berita mengenai MUI-FPI (Front Pembela Islam) yang banyak di wartakan belakangan hari ini banyak membuat saya jengah. Menurut saya apa yang sekarang jadi polemik tidak lebih dari kepentingan untuk mendapat kekuasaan akan kaum mayoritas. Memaksakan pendapat, pemikiran, dan kehendaknya sendiri itu sungguh egois dan terlebih saya menyatakan fanatisme yang bodoh.

Sepanjang saya memahami ajaran Agama Islam, Allah SWT (Tuhan Pemeluk Agama Islam) hanya menyuruh menjauhi segala larangannya bukan untuk menghancurkan bahkan membuat orang lain tidak boleh untuk bebas memeluk agamanya masing-masing. Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu! Sebenarnya jelas dalam ajaran Agama Islam untuk kepada ummat non-Islam untuk menyelenggarakan dan memeluk agamanya masing-masing. Dengan kata lain toleransi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun