Sayarat dapat dikatakannya wilayah sebagai sebuah negara adalah: adanya pemerintahan yang berdaulat, rakyat, dan wilayah serta harus mendapat pengakuan dari negara lain sebagai sebuah negara. Konsep ini saya perlu tekankan mengingat nampaknya kini pemerintah mulai lupa mengenai konsep dari negara.Â
Melihat dan membaca di berbagai media yang ada di Indonesia, Kota Malang utamanya, membuat saya sangat gerah. Kasus SN yang juga sebagai Ketua DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) banyak dimuat dan banyak menimbulkan konflik. Seperti sinetron yang tak pernah habis ceritanya, kasus SN pun demikian. Banyak temuan, banyak drama, dan enggan mengalah serta bahasa-bahasa diplomasi khas politikus pun sering saya dengar.
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menjadi center dari kasus SN ini juga sering berdrama. Rakyat pun gerah mendengar nama-nama itu-itu saja yang di sebutkan. Ulur-ulur waktu khas politikus juga digunakan dan saya duga ini untuk kepentingan lobbying, seperti politikus skala kampus yang sering mengulur waktu untuk memantabkan penilaian untung-rugi segi politik.
Saya tinggalkan dulu kasus SN yang jlimet (berbelit-belit) itu. Satu poin yang mampu saya tangkap dari serangkaian kasus SN itu. Rakyat kini mulai diabaikan oleh pemerintah, legislatif, dan pejabat tatanan atas kebanyakan. Diabaikan karena faktanya banyak yang sibuk dengan partai, fraksi, golongan, dan diri pribadinya.
Tujuan semua negara tentu adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Logikanya jika ada negara yang tidak bertujuan untuk mensejahterakan, apakah ada masyarakat yang mau? Seburuk-buruknya negara penganut paham Komunisme, tetap pemerintahnya harus memikirkan rakyatnya. Rakyat sejahtera, pemerintah pun aman di tahtanya.
Negara kita kini mulai bergeser ke arah kepentingan elit politik semata. Kasus SN yang sebenarnya telah mengakui adanya pertemuan dan keaslian rekaman itu secara tidak langsung nyatanya masih di putar-putar oleh MKD, bahkan sampai keaslian itu harus diuji. Jika tersangka, terdakwa, ataupun tertuntut sudah mengakui kebenaran isi, dan kejadian, mengapa harus diuji? Lain kasus SN lain pula RUU pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang banyak melemhkan lembaga yang berhasil menangkap seribuan pejabat publik yang terlibat korupsi.
KPK dilemahkan, "masa berlaku" KPK pun dibuat hanya 12 Tahun dalam RUU yang dibuat oleh DPR dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya. Logika bodoh saya sebuah lembaga yang ditentukan berapa tahun memiliki banyak kelemahan, apalagi lembaga itu seperti KPK sebagai lembaga yang memberantas korupsi. Jika dibatasi tahun, ada kemungkinan para penjahat atau yang ingin melakukan hal yang dilarang yang jadi kewenangan lembaga itu akan melakukan setelah lembaga itu ditiadakan atau daluarsa.
Dalam pasal 5 revisi terakhir dari RUU itu disbeutkan bahwa KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak uu itu disahkan nantinya. Amat disayangkan  jika RUU itu menjadi UU. Belum lagi RUU itu sudah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Negara, pemerintah, legislatif, yudikatif, dan lembaga-lembaga negara lainnya harus ingat bahwa mereka ada karena adanya rakyat. Suara rakyat adalah suara tuhan. Jangan sampai rakyat terlalu jengah dan nekat untuk berbuat makar. Apalagi hingga rakyat meminta lembaga legislatif seperti DPR untuk dibubarkan. Tentu pemerintah enggan kejadian di Mesir terjadi juga di Indonesia ini.
Jika dalam satu acara Talkshow anggota DPR RI mengeluh gajinya yang kecil lantaran banyaknya masyarakat terutama di Daerah Pemilihannya (Dapil) yang meminta dana (uang) dari proposal-proposal. Bagi saya harusnya negara ini mulai memprofesionalkan diri dan mulai mencerdaskan rakyatnya. Meminta uang ke Negara harusnya bukan lewat legislatif karena legislatif hanya bertugas membuat UU, budgeting, dan pengawasan bukan mengelola uang. Legislatif pun harusnya menolak adanya uang.
Pernyataan-pernyataan oknum-oknum anggota DPR RI di acara tersebut mengenai banyaknya orang yang memberikan uang untuk pendanaan dari proposalnya sebenarnya adalah bentuk suap terselubung. Dalam bentuk apapun ketika seseorang memberikan benda dan/atau uang kepada orang lain yang menimbulkan prestasi atau kewajiban (seperti telah memilihnya, atau membantu untuk menaikkan jabatan) bagi saya itu merupakan gratifikasi atau hadiah yang tidak halal. Jika memang negara kita ini negara hukum dan cita-cita bangsa untuk mensejahterakan rakyat harusnya rakyat dicerdaskan bukan dibodohkan dengan pemberian fasilitas tidak tepat guna.Â