Masih banyak urusan penting yang disepelekan di negeri ini, baik oleh rakyat, pemerintah, maupun DPR-RI sebagai badan legislatif.Â
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) enggan untuk disalahkan dan disudutkan untuk banyaknya urusan dan masalah yang ditimbulkannya. Padahal ada pepatah, semakin tinggi suatu pohon maka semakin kencang angin akan menerpanya. Nampaknya orang-orang di DPR-RI sana belum siap untuk memegang jabatan dan menerima kritik dari rakyatnya.
Beda DPR-RI dengan pemerintah kolonialisme Belanda adalah penggunaan alat untuk meyerang rakyat ketika tidak suka. Jika Kolonialisme Belanda menggunakan cara-cara militer untuk mengatakan "ketidak sukaannya" terhadap kritikan pedas, maka DPR-RI menggunakan media massa bahkan akun-akun sosial medianya sendiri-sendiri. Intinya mereka sama-sama enggan untuk menerima kritikan dari rakyat.
Jangan tanya tentang korupsi. Mungkin KPK bisa lebih detail menjelaskan korupsi yang sangat mengganggu sejak dulu dan bagaimana angkatan '98 yang berhasil menggulingkan kekuasaan Soeharto. Meski mahaisswa angkatan tahun 1998 (angkatan '98) masih memiliki dosa yang belum terlunasi yakni mengubah Indonesia dengan reformasi yang tak kunjung usai.
Mungkin angkatan '98 bedemo hanya karena tidak dapat bagian korupsi? Ah tidak, mereka berdemo atas nama rakyat. Tapi masih banyak aktivis angkatan '98 yang masuk bui karena korupsi.Â
Reformasi kapan selesai bung? Adik-adikmu menunggu janjimu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H