Apa yang membuat anda tertarik untuk membeli atau sekedar mencoba sebuah produk? Hal utama yang orang modern lihat pasti adalah kemasan. Semakin bagus dan unik kemasannya pasti lebih terlihat dan kemudian dipilih oleh anda, bukan?
Tidak hanya untuk benda-benda, namun juga untuk acara-acara juga perlu kemasan yang apik. Sebutlah untuk seminar, anda pasti tidak hanya melihat si pemateri saja. Bagaimana acara itu dikemas tentu juga menentukan anda betah atau beranjak dari acara itu.
Di kalangan mahasiswa tiap tahunnya selalu ada acara rutin untuk katanya pembelajaran demokrasi di kampus. Di tiap kampus berbeda namanya, namun kalau di kampus saya diberi nama Pemilihan Mahasiswa Raya (Pemira) untuk tingkat universitas dan Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) untuk tingkat fakultas.
Namanya pembelajaran demokrasi semuanya dilakukan dengan tahap belajar. Namun percayalah “rasanya” seperti pesta demokrasi yang sesungguhnya. Selama sebelum dan saat masa kampanye semuanya berlomba-lomba mengemas si calon dengan apik.
Dalam Pemira dan Pemilwa memang tidak hanya panitia saja yang diwajibkan mengemas acara pesta itu dengan menarik, para calon pun dengan tim horenya seolah tidak mau kalah untuk menggaet para calon pemilih dirinya. Lobby-lobby kanan dan kiri, golongan “A” hingga golongan “Z” pun dilakukan. Janji-janji politik nan manis pun dikeluarkan demi satu hal, menang!
Memilih tempat foto yang bagus hingga menyewa studio foto pun dilakukan demi mendapat best photo dari setiap calon. Alat peraga kampanye seperti bunga, ikat kepala, pita, hingga warna kaos tertentu pun digunakan demi “kemasan yang menarik” yang ujung-ujungnya juga soal menang.
Biaya pembelajaran demokrasi itu jika ditotal lebih dari angka puluhan juta hanya dari si calon saja. Bayangkan saja jika satu calon bisa menggelontorkan dana Rp. 2 juta, sedangkan setiap satu kali pagelaran Pemilwa dan Pemira bisa diikuti lebih dari 1 orang calon presiden EM (Eksekutif Mahasiswa), 1 orang calon presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), 10 calon anggota DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa), dan 10 calon DSM (Dewan Senat Mahasiswa).
Mahalnya biaya si calon mengeluarkan dana sebenarnya tidak didukung dengan pendapatan yang halal dari si calon jika terpilih. Sampai sekarang saya masih belum tahu besaran gaji EM, BEM, DPM, dan DSM (setahu saya mereka tidak mendapat gaji dari universitas maupun fakultas). Namun entah mengapa kursi-kursi itu begitu menyilaukan mata dan mampu menggaet banyak mahasiswa untuk mau mendudukinya.
Maaf jika saya hanya berfikir untung-rugi uang semata. Karena memang yang saya lihat justru kursi itu banyak diisi oleh orang yang mengincar uang dan/atau ditugaskan mencari uang demi “membayar” tim horenya. Entah Mahasiswa ataupun tingkat negara, semuanya sama bagi saya. Hitung-hitungan untung dan rugi dengan keharusan balik modal yang cepat.
Anda tentu tahu apa yang saya maksud dengan “membayar” diatas. Mari kita doakan supaya mereka menjadi amanah, amin (sambil senyum tipis penuh arti). (AWI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H