[caption caption="Truk-truk pembawa material bangunan seperti tanah, batu, kayu, dan lain-lain."][/caption]
Dari tanggal 8 Agustus hingga 24 Agustus lalu saya menyempatkan diri untuk berlibur ke Pulau Kalimantan tepatnya di Kalimantan Selatan. Selama di Provinsi Kalimantan Selatan saya tinggal di daerah Nusa Indah, Bati-bati di rumah kerabat. Selama disana banyak waktu saya dihabiskan untuk berjalan-jalan melihat alam Kalimantan Selatan.
Kata pertama yang akan saya katakan ketika ditanya kesan selama di Kalimantan Selatan adalah Miris! Miris karena banyak kerusakan alam yang saya lihat. Mulai dari susahnya mencai air bersih, lahan gambut yang dibakar, pohon-pohon galam yang ditebang, hingga cerita mengenai hilangnya bukit akibat tanahnya dikeruk untuk pembangunan.
Seperti cerita dari kerabat saya bahwa memang tempat dia tinggal itu memiliki banyak perusahaan, terutama perusahaan air bersih. Setidaknya dari daerah Bati-bati ke Palaihari ada sekitar tujuh perusahaan air minum skala menengah hingga besar. Namun anehnya meski banyak perusahaan air minum disana masyarakat justru kesulitan mencari air bersih.
Di daerah tempat tinggal kerabat saya saja hanya ada satu sumur warga yang masih mengeluarkan air bersih. PDAM ada, namun sayang saat kemarau tak mampu menyuplai air yang cukup.
Kebakaran hutan/lahan gambut pun bukan menjadi hal yang asing disana setiap kemarau datang. Bahkan ada rumah yang turut terbakar akibat dekatnya rumah dengan lahan gambut. Menururt cerita masyarakat sekitar rumah yang terbakar itu tidak semuanya berpenghuni. Rumah yang kosong atau ditinggal oleh pemiliknya juga sengaja di bakar agar tidak digunakan sebagai tempat mesum.
Uniknya kebakaran hutan yang saya saksikan sendiri adalah kebakaran hutan sudah dianggap biasa oleh masyarakat sana dan yang skala kecil dianggap seperti sampah yang terbakar. Pagi, siang, hingga malam pun saya bisa menyaksikan api yang menyala. Terlebih malam hari, kebakaran hutan gambut seperti sebuah pertunjukan kolosal oleh si penyebab api.
[caption caption="Sisa-sisa kebakaran hutan gambut."]
Kabut asap bukan lagi menjadi hal yang "mengganggu" pernafasan. Entah terbiasa atau mencoba terbiasa, masyarakat bersikap acuh tak acuh dengan asap yang ada. Bahkan kerabat saya bercerita bahwa apa yang saya lihat belum seberapa. Pernah terjadi kabut asap yang membuat pandangan hanya 50 meter saja. Padahal yang saya lihat bagi saya sangat mengganggu.
Selain kebakaran yang membuat semakin miris adalah banyaknya pohon-pohon galam yang dibabat habis untuk sekedar diambil kayunya atau lahannya ditimbun oleh tanah untuk pembangunan. Kayu galam banyak dibutuhkan untuk memasak di tungku atau pembakaran di industri tertentu, selain itu membangun rumah juga banyak yang menggunakan pohon galam.
[caption caption="Hamparan lahan Pohon Galam yang hilang di sekitaran jalan dari Bati-Bati menuju ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan."]
Tidak susah untuk menemukan penjual-penjual Pohon Galam di sepanjang jalan dari Bati-Bati menuju ke Banjarmasin. Dikanan dan kiri jalan banyak yang menjual pohon galam.
Cerita lain dari Kalimantan Selatan yang sangat membuat saya kaget adalah hilangnya sebuah gunung (bagi saya bukit) di sekitaran daerah Cempaka, Banjarbaru. Usut punya usut bukit itu dikeruk tanahnya hingga sekarang tersisa hamparan bekas galian yang luas.
Kerabat saya juga menceritakan bahwa saat dia masih kecil (sekitar TK atau SD) bukit itu masih ada, namun sejak dia SMA kelas 10 bukit itu mulai dikeruk. Saya tidak tahu apakah masyarakat sekitar setuju atau tidak tanah dibukit itu dikeruk, yang jelas pengerukan terus berlanjut hingga kini. Â
Saya turut menyaksikan dengan mata saya sendiri proses pengerukan tanah itu kini. Truk-truk pengangkut pasir seolah tak henti keluar masuk kawasan itu untuk mengeruk tanahnya. Tanah itu dikirim menuju ke tempat-tempat pembangunan perumahan atau pabrik baru. Lahan gambut atau lahan Pohon Galam ditimbun dengan tanah, lalu dibangunlah bangunan-banguanan diatasnya.
Miris ketika melihat dengan mata sendiri kerusakan yang terjadi di Kalimantan Selatan. Balum lagi fakta bahwa tidak banyak masyarakat yang menolak kerusakan-kerusakan alam itu. Keadaan diperparah dengan ketidaktahuan masyarakat untuk mengadukan masalahnya. (AWI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H