Mohon tunggu...
Wisnu Adhitama
Wisnu Adhitama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jalani hidup hari ini dan rencanakan besok dan kedepan untuk berbuat sesuatu

Writer on sihitamspeak.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Greenwashing vs Masyarakat Hukum Adat

3 Agustus 2015   10:32 Diperbarui: 3 Agustus 2015   10:36 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "greenwashing" mungkin sedikit terdengar asing ditelinga kita. Kata ini baru saya kenal sekitar dua tahun lalu ketika membaca artikel di Internet mengenai reklamasi pantai di Teluk Benoa, Bali. Greenwashing sejatinya adalah strategi pemasaran dimana hijau atau cinta alam menjadi salah satu trik untuk menggaet konsumen dan hati rakyat. 

Pihak swasta bukanlah satu-satunya pelaku greenwashing ini. Pemerintah sebagai aparatur negara juga turut melakukan greenwashing ini. 

Contoh simple dari greenwashing ini ada di kehidupan sehari-hari kita. Plastik-plastik ber-label hijau dan mudah hancur pun banyak ditemukan disekeliling kita, bahkan sering kita pakai bila berbelanja ke pasar-pasar modern. Seperti banyak diketahui bahwa butuh waktu yang lama untuk plastik itu terurai. Meskipun "katanya" mudah hancur nyatanya plastik-plastik itu butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa terurai. Inilah strategi agar kita mau menggunakan produk itu.

Isu-isu alam bagi masyarakat modern sangat sensitif bukan? Namun ketika salah satu atau beberapa ahli melacurkan ilmunya untuk industri dan mengatakan produk "A" ramah lingkungan, masyarakat modern seolah mengiyakan dan memakai produk itu. Banyak ahli mengatakan kualitas tanaman petani kita lebih bagus dari barang impor meski tampilannya lebih jelek, namun anehnya kita lebih percaya dengan kata ahli luar negeri lain yang mengatakan buah/sayur dari negara "T" itu lebih bergizi dan lalu membelinya.

Kini iklan-iklan serta sosialisasi berbentuk greenwashing makin gencar dilakukan. Atas dasar pembangunan dan kemajuan ekonomi alam pun dirusak dengan janji akan menanam sekian ratus bahkan ribu pohon di kawasan lain. Rakyat sekitar pun dirayu agar bisa dan mau meninggalkan tempat tinggalnya, tanah kelahirannya hanya demi proyek-proyek ambisius pihak swasta dan pemerintah.

Carilah cerita tambang emas milik PT. Freeport Indonesia saat membuka lahan dulu. Lima suku diharuskan pindah dan kenyataan lainnya adalah masyarakat Papua masih belum banyak tersentuh pembangunan. Lalu cerita yang baru adalah pembangunan prestisius Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat. Pemerintah dan masyarakat hukum adat sekitar pun bertarung.

Waduk yang di klaim bisa mengatasi kekeringan ini dinilai akan menenggelamkan tanah, rumah, dan kuburan leluhur mereka. Pemerintah pun menyanggah dengan mengatakan pembangunan waduk ini hanya untuk menampung air dan menjadi pembangkit listrik. Saya cenderung mendukung masyarakat hukum adat untuk menolak pembangunan waduk itu.

Coba anda pikir, Indonesia ini luas dan besar. lebih dari 13.000 pulau besar dan kecil di Indonesia. Namun anehnya pembangunan selalu terpusat di Pulau Jawa. Jika mau dan ingin mengatasi kekeringan seharusnya daerah Indonesia bagian timur jauh lebih membutuhkan pembangunan itu. Nusa Tenggara, Sulawesi, Papua dari dulu sudah krisis air bersih, itu faktanya.

Lalu kenapa harus bangun waduk di Sumedang, Pulau Jawa? Alasan paling logis yang ada di pikiran saya adalah karena kebutuhan industri sangat kental terasa. Pulau Jawa adalah pusatnya industri di Indonesia yang otomatis membutuhkan stok air dan listrik yang tinggi. Pemerintah berfikir alam (hijau)? Menurut saya alasan menyimpan air di waduk adalah alasan terselubung semata.

Saya suka travelling ke berbagai tempat di Indonesia. Dari pengalaman saya bertemu dan bercengkrama dengan penduduk di daerah, terutama masyarakat hukum adat, mereka sangat menjaga alam mereka. Mereka sadar bahwa mereka hidup di alam dan hidup dari alam sehingga mutlaklah bagi mereka untuk melestarikan alam mereka. Mengambil secukupnya adalah pelajaran penting mengenai kesederhanaan yang saya dapat dari orang asli Indonesia.

Greenwashing adalah penyakit yang sampai sekarang saya rasa masih bisa "diobati" oleh masyarakat hukum adat. Mereka menolak dan enggan ketika alam mereka dirusak hanya atas dasar pembangunan meski dijanjikan pelestarian alam di kawasan lain bahkan uang.

Tanpa bermaksud melanggar hak cipta, saya ingin mengutip sedikit lirik lagu Bali Tolak Reklamasi yang dibuat oleh all artist Bali yang tergabung dalam ForBali berikut:

Bangun Bali subsidi petani, kita semua makan nasi, bukannya butuh reklamasi.
Keputusan bau konspirasi, penguasa pengusaha bagi komisi, konservasi dikhianati.
Bangun Bali, tolak reklamasi. Sayang Bali tolak reklamasi.
Bangun Bali tolak dibohongi, rusak bumi dan anak negeri...

(AWI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun