Pembahasan mengenai pendidikan pesantren dan santri tidak akan mati dan akan terus menjadi topik yang menarik, terlebih pesantren dan santri memiliki posisi yang krusial di negeri ini. Diyakini sebagai model pendidikan tertua, pesantren telah memberikan kontribusi sangat banyak untuk negeri, baik secara langsung atau pun tidak langsung. Dinamika pesantren dan santri mulai mengalami perubahan sejak abad ke-20, tepatnya tahun 1970-an, khususnya dalam hal mode pembelajaran. Kontribusi terhadap negeri berbanding lurus dengan efektivitas dan produktivitas komponen pesantren, terutama santri. Oleh karena itu, meningkatkan produktivitas santri merupakan cara yang harus ditempuh untuk kemajuan negeri.
Dewasa ini, arus gelombang santri terus menunjukan tren meningkat, santri abad ke-19 tentunya memilki perbedaan dengan santri sekarang, tantangan dan cara yang dilakukan dalam mengekspresikan identitas jelas berbeda, terlebih legalitas santri sekarang tidak bisa dipandang sebelah mata, dengan disahkannya hari santri nasional sekaligus menjadi hari libur nasional. Tetapi dibalik itu, mereka --santri- harus menyesuaikan dengan zaman tersebut. Masuk abad 21, tantangan akan terus meningkat seiring perubahan dan kebutuhan zaman, dimana penggunaan internet dan teknologi lebih banyak dan mendominasi. Di Indonesia, pada akhir Januari sebanyak 64 persen penduduknya sudah menggunakan internet. Selain fakta tersebut, ditambah situasi global khususnya di Indonesia sedang berhadapan dengan situasi baru yaitu wabah penyakit Covid-19, dimana tatanan hidup dan kehidupan lapisan masyarakat berubah pula, begitu juga yang dialami oleh pesantren dan santri.
Secara kuantitas, data pada tahun 2019 jumlah santri menginjak angka 2.645.344 santri dengan rincian 1.442.283 santri mukim dan 1.203.061 santri tidak mukim yang tersebar di seluruh Indonesia (https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik, Diakses pukul 7.37 WIB, 14 Oktober 2020), sementara total jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni 2020 sebanyak 268.583.016 jiwa (https://nasional.kompas.com/ Diakses pukul 7.58 WIB, 14 Oktober 2020). Dengan demikian, sebesar 0,98 persen penduduk Indonesia berstatus santri. Dari fakta itu dengan angka minimal --setengahnya- maka akan tercipta keseimbangan dalam berbagai sektor, seperti sosial, keagamaan, budaya, bahkan ekonomi; pemasalahannya apakah angka tersebut dapat dijadikan referensi dan bukti adanya perubahan? Bagaimana santri dapat melihat fakta dan potensi tersebut di tengah pandemi ini? dan bagaimana santri tradisionalis dan revisionis membangun produktivitas di tengah pandemi.?
Oleh sebab itu, karya tulis ini akan membahas mengenai santri tradisionalis dan rivisionis sebagai upaya dalam membangun produktivitas dengan trilogi kompromistis pesantren. Dalam tulisan ini pula akan dibahas konsep dari keduanya dan jalan tengah dalam membangun produktivitas di tengah pandemi sehingga tulisan ini diharapkan menjadi referensi awal dalam menjalankan aktivitas di tengah pandemi, khususnya bagi kalangan santri.
Tinjauan Umum Santri Tradisionalis dan Revisionis
Secara sederhana, santri merupakan nama bagi mereka yang belajar di lembaga pendidikan pondok pesantren. Sedangkan pengajarnya disebut kyia, ustadz, ajengan, dan sebutan lain --disesuaikan dengan tradisi setempat-. Perkembangan zaman dan tutunan untuk menyesuaikan dengan zaman, pesantren secara tidak langsung mengalami transformasi yang akan berdampak pada kebijakan dan status santri tersebut. Secara umum pesantren diklasifikasikan ke dalam 3 kategori; pertama, pesantren salaf. Kedua, pesantren modern. Ketiga, pesantren komprehensif.
Kategorisasi tersebut berdampak pada penyebutan dan misi dari santri tersebut, mindset santri mengalami perubahan juga, karena pesantren tersebut merupakan lingkungan santri yang terus membentuk kepribadian santrinya. Oleh karena itu, dalam keadaan tersebut akan tercipta dualisme santri yaitu santri tradisionalis yang memegang teguh teradisi pesantren salaf dan santri revisionis yang mempunyai misi perubahan yang didominasi oleh kalangan pesantren modern.
Ada 3 asumsi yang melatarbelakangi lahirnya dualisme santri; pertama, lokasi pesantren yang berbeda yang akan memunculkan santri secara kolektif. Atas dasar itu, santri tradisional menyuguhkan gambaran atau pandangan bahwa pendidikan pesantren merupakan hasil dari tradisi lokal yang harus dijaga kearifan lokalnya. Sedangkan santri revisionis lebih melihat pada kelemahan yang ada di beberapa sektor pesantren, misal kurikulum dan metode, yang perlu disesuaikan dengan zaman. Kedua, pencitraan santri dan pesantren sebagai tonggak perubahan. Sebagaimana yang telah didiskusikan terdahulu, bahwa pesantren dan santri memiliki fungsi krusial dalam menanggapi isu dan permasalahan zaman, mereka diharapkan bisa bersaing serta menjadi pionir perubahan. Dalam mengekspresikan fungsi tersebut santri tradisionalis yakin dengan tradisi dan pembelajaran gaya lama dapat menyelesaikan isu zaman, berbeda dengan revisionis, untuk melakukan perubahan maka diperlukan pembaruan pada aspek tertentu supaya fungsi berjalan dengan efektif. Jadi permasalahannya bukan pada "sumber" pesantren itu, tetapi sejauh mana aktor pesantren mengenal pesantren dan tantangan zaman. Ketiga, soal finalitas dan kesempurnaan pesantren. Santri tradisional memberikan persaksian bahwa finalitas pesantren adalah pendidikan yang bermodel sorogan, pembelajaran satu arah, referensi kitab kuning, dan enggan menerima materi umum. Sedangkan santri revisionis berpendapat belum ada bentuk yang final terkait dengan lembaga pesantren, selagi pesantren bertujuan menjadi role model di tengah-tengah masifnya bentuk/model pendidikan.
Asumsi di atas secara sekilas akan memunculkan dua mazhab santri yang berpotensi mengalami dikotomi, akan tetapi apabila kita telusuri lebih lanjut dualisme santri terebut dapat berjalan beriringan tentunya dengan porsi, produktivitas, dan kreativitas masing-masing yang akan saling melengkapi selagi mereka tidak mementingkan egoisme kelompok. Kemudian yang lebih penting adalah elaborasi dari semua itu yang akan melahirkan bentuk pesantren ketiga yaitu pesantren komprehensif. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memahami dan mengimplementasikan trilogi kompromistis pesantren.
Trilogi Pesantren Perspektif Santri Tradisionalis dan Revisionis
Istilah trilogi ini sangat cocok dengan kesinambungan dan kesatuan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan dalam prakteknya memilih satu dari tiga, atau dua dari tiga. Arti dari trilogi itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tiga hal yang saling bertaut dan saling bergantung. Ketika sudah dinamakan trilogi maka ketiga konsep atau gagasan itu harus saling bahu-membahu dalam fungsinya, dan menjadi sempurna ketika tiga hal itu benar-benar berjalan dengan mestinya.