Mohon tunggu...
Muhammad Sihabul Millah
Muhammad Sihabul Millah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswa berkarakter dan berbudaya lokal dengan hobi menulis juga olahraga lapangan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Larangan Jurnalistik Investigasi dalam RUU Penyiaran: Perspektif Hukum Islam

27 Juni 2024   02:50 Diperbarui: 27 Juni 2024   02:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran tengah hangat menjadi perbincangan diberbagai elemen masyarakat. Hal ini dirasa menyebabkan ruang gerak pers terhimpit dengan adanya pasal-pasal kontroversial pada penyusunan RUU tersebut. Saat ini, revisi RUU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran masih dalam tahap pembahasan oleh DPR-RI, yang kemudian rencananya akan disahkan pada bulan September 2024 mendatang.

Dikutip dari hukumonline.com, Profesor Andi M. Faisal Bakti, Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menanggapi isu mengenai revisi RUU Penyiaran ini yang menurutnya dapat mengintimidasi keluwesan pers.

"RUU ini harusnya disusun dari awal dengan melibatkan pemangku kepentingan baik dewan pers dan lainnya. Apalagi sekarang sudah banyak ahli komunikasi yang bergelar Profesor," tuturnya saat diskusi bertemakan 'RUU Penyiaran dan Ancaman Terhadap Kebebasan Pers Indonesia', Minggu (21/05/2024).

Pada Undang-Undang Tentang Informasi Teknologi Elektronik lalu, telah dibuat regulasi serupa yang bahkan telah menyeret beberapa pihak pers dan praktisi media ke jeruji besi. Kebijakan tersebut dinilai tidak efektif, sebab tidak ada standar indikator kejahatan yang menjadi acuan proses hukum.

Kebebasan Pers sebaiknya senantiasa berlangsung, selain sebagai bentuk negara dengan sistem demokrasi, kebebasan pers merupakan penyampai informasi kepada masyarakat  secara akurat dan aktual serta dapat terlibat dalam keberlangsungan politik sehingga dapat secara masif memberikan kesempatan bagi masyarakat dalam beropini juga mengambil keputusan.

Yang menjadi sorotan publik ialah draft RUU Pasal 50B Ayat 2 Huruf C tentang larangan penayangan liputan jurnalistik investigasi secara eksklusif.  Pasal tersebut bertuliskan: "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai: ...c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;". Tentu banyak lapisan masyarakat yang menolak kebijakan ini meskipun telah diurai dengan penjelasan yang spesifik.

Dilansir dari nu.or.id, Ketua PBNU Bidang Hukum dan Media turut serta menuangkan gagasannya mengenai revisi RUU Penyiaran ini, Ia Mohamad Savic Alielha (Savic Ali) menuturkan bahwa RUU ini dapat mengancam kebabasan pers,  utamanya pada larangan jurnalistik investigasi eksklusif.

"Kalau isu itu berkaitan dengan publik, ya boleh dilaporkan (menjadi sebuah karya jurnalistik). Prinsipnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan publik itu boleh dilaporkan," ujar Savic saat jumpa NU Online, Rabu (29/5/2024).

Investigasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah penyelidikan dengan mencatat, merekam fakta atau melakukan peninjauan, percobaan dan sebagainya, dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan (tentang peristiwa, sifat atau khasiat suatu zat, dan sebagainya). Jika ditinjau menurut syariat Islam, tidak sedikit pembahasan mengenai investigasi semacam ini.

Diumpamakan dalam Al-Qur'an surat Yusuf pada ayat 25-27 dimana dikisahkan Ketika Nabi Yusuf di kejar-kejar oleh seorang wanita saat berada disebuah rumah, Ia-lah Zulaikha istri dari Qithfir sesorang Jenderal Dinasti Fir'aun. Lalu M. Quraish  Sihab dalam Tafsir Al Misbah mengulas kisah tersebut secara kronologis, akhirnya Nabi Yusuf terbukti tak bersalah karena bukti yang cukup kuat. Jika kasus tersebut tidak diusut secara mendalam, besar kemungkinan akan melahirkan sebuah putusan yang salah terhadap Nabi Yusuf.

Dari kisah ituah dapat menjadi gambaran begitu pentingnya pendalaman sebuah kasus yang nantinya timbul fakta-fakta akurat. Namun, tinggal bagaimana peran jurnaslisme investigasi tersebut  digunakan  sebaik mungkin sesuai porsinya. Memang tidak ada dalil qath'i maupun pandangan ulama' terdahulu yang termaktub secara tekstual menunjukkan hukum yang pasti mengenai jurnalistik investigasi.

Syeikh Abdul Hamid Hakim, tokoh pendidik Islam lokal dalam karangannya Kitab Mabadi Awaliyah Juz 1 (kitab ushul fiqih bermadzhab Syafi'i) menerangkan kaidah usul fiqih yang berbunyi "menolak kemadharatan (kerusakan) didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan (kebaikan)". Jika dikorelasikan dengan kebijakan DPR dalam membuat kebijakan dalam mengambil keputusana secara sepihak dan beresiko mengancam kebebasan pers dengan RUU yang menimbulkan penolakan oleh banyak orang.

Revisi Undang-Undang salah satunya bertujuan untuk memperbaiki peraturan yang dirasa lama dan telah termakan oleh waktu serta dianggap tidak relevan dengan pola kehidupan warga negara Indonesia saat ini. Ironisnya, masyarakat tidak dilibatkan sehingga mereka menganggap DPR melakukan revisi pada Undang-Undang yang terkesan tidak ada kepentingan bersama untuk diamandemenkan.

Akibatnya, masyarakat sipil tidak jarang melakukan unjuk rasa atau aksi demonstrasi untuk menuntut keadilan agar masyarakat tidak dirugikan dan berharap timbul pemikiran yang selaras antara massa dengan pembuat dan perancang Undang-Undang, yaitu DPR.

Melirik kasus yang kini tengah menjadi perbincangan kembali oleh publik, seperti kasus korban pembunuhan dan pemerkosaan seorang pelajar asal Cirebon bernama Vina. Kasus yang telah berlarut sejak tahun 2016 ini akhirnya menemukan titik terang dengan keberhasilan pihak kepolisian menangkap buronan pelaku lain yaitu Dani, Andi, dan Pegi alias Perong, pada akhir bulan Mei lalu, sedangkan ke delapan pelaku lainnnya tengah menjalani proses hukum.

Dampak terburuk jika pers terhimpit kebebasannya dalam meliput sebuah berita investigasi ialah akan semakin maraknya ulah warga sipil, public figure, bahkan pejabat daerah yang bisa saja memanfaatkan wewenangnya menuju hal yang dilarang. Seperti kasus kriminalitas, pencemaran nama baik, maupun korupsi dana milik negara.

Mestinya, pemangku kebijakan melibatkan peran masyarakat sipil maupun para ahli, utamanya dewan Pers dan praktisi media guna menemukan peraturan yang lebih komprehensif serta relevan dengan kondisi negara, terlebih Indonesia menerapkan sistem demokrasi dalam kepemerintahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun