Mohon tunggu...
Ach Sihabul Fathon
Ach Sihabul Fathon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Komunitas kedai ide

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra: Media dan Refleksi Menuju Sebuah Perubahan Oleh: Sihabul Fathoni (Pemikir Muda Kedaulatan Ide)

12 Maret 2013   19:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:54 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut mendorong terjadinya proses perubahan, baik yang bersifat pencerahan, pembongkaran nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru, atau sebaliknya mempertahankan nilai-nilai lama itu dari gempuran nilai-nilai baru yang dianggap sebagai ancaman sehingga muncul semacam ‘konservatisme dalam sastra’. Kenyataannya, selalu terjadi dialektika antara nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai-nilai yang ditawarkan karya sastra. Ketika masyarakat dianggap berada dalam ‘peradaban jahiliyah’ misalnya, maka munculnya sastra religius, termasuk sastra sufistik dan sastra Islami, akan dianggap menawarkan pencerahan untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran moral. Ketika masyarakat dianggap berada dalam sikap konservatif yang cenderung jumud, maka karya sastra yang bersemangat membongkar nilai-nilai akan dianggap menawarkan pembaruan. Sebaliknya, karya sastra yang bersemangat membela kemapanan itu akan dianggap mendukung establishment.

Dalam situasi yang dialogis seperti itu, kadang-kadang kebenaran nilai tematik (isi) karya sastra menjadi relatif, tergantung di mana karya itu diposisikan dan peradaban masyarakat seperti apa yang dicita-citakan bersama. Bagi kaum Marxis (Lekra), misalnya, kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk membela politik kekuasaan dan ideologi Marxis, dengan semangat pertentangan kelas yang tajam.
Sebaliknya, bagi kaum Manifes (pendukung Manifes Kebudayaan) kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat universal, sehingga bersifat lebih plural dan fleksibel dalam menyuarakan kebenaran. Kebenaran nilai karya sastra baru menjadi mutlak ketika sang pengarang menempatkan karyanya dalam sekat kepercayaan atau keberagaman secara tertutup (eksklusif), sehingga muncul apa yang disebut ‘sastra hitam putih’.
Dalam kasus sajak-sajak para ‘penyair buruh’ seperti Husnul, Wowok, Mahdi dan Dingu, yang sering terasa adalah ‘semangat perlawanan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum buruh. Buruh, di mata mereka, adalah kaum yang tertindas. Sedangkan majikan adalah penindas yang harus dilawan. Di mata mereka, kaum pekerja selalu berada pada posisi yang lemah, tidak berdaya, selalu dikalahkan, dan bahkan dikorbankan untuk kepentingan kaum kapitalis (pemilik modal).
Terlihat ada semacam simplifikasi terhadap kondisi buruh dan perilaku majikan, yang tentu tidak selalu pas untuk semua kondisi perburuhan di Indonesia. Meskipun kaum buruh Indonesia umumnya masih tertindas dengan gaji kecil dan jaminan sosial yang kurang memadai, sudah banyak juga pekerja yang hidup sejahtera dan majikan yang adil serta bijaksana.
Pada salah satu sajaknya, Husnul Khuluqi bahkan mengibaratkan kaum buruh sebagai ‘kayu kering’ yang harus rela dibakar (dikorbankan) agar cerobong asap pabrik terus berasap — agar pabrik terus dapat beroperasi dan kaum majikan (kapitalis) dapat mengeruk keuntungan dari pengorbanan kaum buruh (pekerja):
di bawah cerobong asap, bertahun kita hanya
menemukan jejak-jejak hitam, catatan kelam, dan
luka menahun yang menggumpal di lorong-lorong
ingatan, mengekal di antara napas yang penuh sengal
di sini, ya di sini, kita hanya setumpuk kayu
api kering yang mesti rela dibakar agar cerobong
cerobong kekar itu terus menyemburkan asap, dan
kita akan mati dengan nasib yang sehitam arang
(Sajak Di Bawah Cerobong Asap, Kita hanya Kayu Kering)
Dengan sikap dan orientasi penciptaan seperti itu, sering tercium aroma ‘pertentangan kelas’ — kelas buruh dan kelas majikan — pada sajak-sajak penyair buruh yang realis-sosialistik itu. Tetapi, tentu, tidak setiap pembelaan terhadap kaum tertindas, tidak setiap perlawanan terhadap ketidakadilan, harus dikaitkan dengan ideologi Marxis. Sebab, masalah penindasan dan ketidakadilan sebenarnya juga menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Semua agama juga mengajarkan pembelaan (kepedulian) kepada kaum yang lemah dan tertindas. Islam, misalnya, mengajarkan persamaan derajat manusia, sehingga sangat menentang perbudakan, penindasan dan berbagai bentuk ketidakadilan.
Kuatnya sajak-sajak pembelaan terhadap nasib buruh dalam buku Husnul itu makin mengukuhkan posisi para penyair buruh di Indonesia pada umumnya ke dalam barisan ‘penyair pragmatik’ atau meminjam istilah Ariel heryanto ‘penyair yang terlibat’. Karya sastra tidak sekadar diniatkan sebagai seni berbahasa, tapi juga sebagai media kesaksian, media penyadaran, media pencerahan, bagi pembacan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun