Masalah yang dialami oleh negara-negara di dunia, terutama di kawasan Asia Tenggara yang masih menjadi masalah serius yaitu korupsi. Salah satu negara yang memiliki angka korupsi tinggi yaitu Indonesia. Berdasarkan data dari Transparency International, 2021 menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan 102 dari 180 negara-negara yang terdaftar. Kondisi ini justru jauh berbeda dengan Singapura yang berada di peringkat 3 dari 180 negara. Padahal kedua negara tersebut sama-sama termasuk negara di Asia Tenggara, tetapi masing-masing negara mempunyai sejarah dan lembaga pemberantasan korupsi sendiri.
Tingkat berhasil atau tidaknya suatu negara dalam melakukan pemberantasan korupsi tergantung dari kompetensi lembaga antikorupsi dan budaya dari masing-masing negara. Budaya menunjukkan sikap/perilaku warga negara dalam kesehariannya, yang dilakukan secara terus-menerus hingga menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat terutama dalam memerangi korupsi. Hal ini harus kita sadari bersama, bahwa suatu negara haruslah memiliki standar yang tinggi untuk selalu berintegritas, memiliki transparansi dan keterbukaan terkait dengan berbagai macam program yang dijalankan dalam menanggulangi tindak pidana korupsi. Program-program itu dapat terkait dengan kelembagaan, penanganan laporan korupsi, perlindungan bagi pelapor, penilaian antikorupsi, dan berbagai macam pelatihan antikorupsi bagi pejabat negara (Kim, 2016). Semua itu harus tergabung dalam regulasi yang benar dan realistis dengan sistem administrasi yang tentunya mudah dalam penerapannya.
Negara Indonesia masih mempunyai tingkat korupsi yang tinggi. Maka dari itu, pemerintah berusaha menanggulanginya dengan membentuk Lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang berdiri pada tahun 2003. Lembaga ini didirikan secara independen di luar pengaruh pihak manapun guna memerangi korupsi yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini, tingkat terjadinya korupsi di Indonesia bukan semakin menurun, namun malah sebaliknya.
Negara Kita, Indonesia sudah seharusnya melirik dan berguru pada Singapura dengan sistem good governance-nya dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Negara Singapura telah dianggap berhasil menjadi negara yang bersih dari korupsi. Hal ini didukung oleh berbagai macam faktor yaitu adanya kemauan politik (political will) dari pejabat pembuat kebijakan, efektivitas dan berdikarinya lembaga antikorupsi, serta sistem administrasi dengan pelayanan yang sangat baik.
Jika dilihat dari sejarahnya, Singapura merupakan negara dengan sistem ekonomi yang sebagaian besar berasal dari jasa dan pariwisata. Tak bisa dimungkiri, dahulu pejabat di pemerintahan Singapura juga melakukan korupsi. Mengetahui hal tersebut, Singapura membuat lembaga pemerantasan korupsi yang berkerja di bawah kepolisian Singapura. Namun dari sanalah justru muncul dengan tertangkapnya pejabat dari pihak kepolisian yang melakukan suap hingga akhirnya tercipta perpecahan antara kepolisian dengan lembaga antikorupsi yang dibuat di bawah kepolisian tersebut. Maka dari itu, lembaga antikorupsi kemudian dipisahkan dengan kepolisian hingga sekarang dikenal dengan lembaga Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
Hal ini berbanding terbaik ketika Lee Kwan Yew memimpin Singapura di tahun 1959, beliau melakukan suatu gebrakan baru dengan mengeluarkan program antikorupsi. Beliau berkata jika “tidak ada satu orang pun, walaupun ia pejabat tinggi negara yang dapat kebal dari hukuman korupsi”. Kebijakan ini tentu didukung dengan kerja nyata dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pencegahan Korupsi (The Prevention of Corruption Act) dimana dilakukan pembaharuan di tahun 1989 menjadi The Corruption (Confiscation of Benefit) Act. Dengan semangat yang terus membara, akhirnya terbentuklah lembaga antikorupsi yang diberi nama CPIB tersebut.
Adanya kemauan politik yang kuat dari pejabat pemangku kewenangan yaitu dari Lee itu, lembaga CPIB mempunyai otoritas seluas-luasnya untuk melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini juga sangat didukung dengan tindakan masyarakat Singapura yang positif. Meski demikian, Lee tidak dapat dengan mudah melakukan kekuasaan yang tak terbatas. Sebab, lembaga ini benar-benar independen, kuat, bersih, dan netral sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun. Dukungan budaya masyarakat yang sadar akan dampak negatif korupsi yang begitu kuat membuat Singapura kini telah menjadi salah satu negara yang bersih akan korupsi. Maka dari itu, tingkat kesejahteraan masyarakat Singapura begitu apik.
Sedangkan jika kita melihat dalam sejarah perkembangan Indonesia, korupsi merupakan suatu hal yang dianggap candu dan sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat. Tindakan korupsi saat ini adalah lanjutan dari budaya penjajah. Fakta ini dapat dilihat dari zaman kepemimpinan Soekarno di Orde Lama, yang semakin lama semakin berkembang dalam pemerintahan Soeharto di Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Sistem kepemimpinan yang otoriter dan antikritik menyebabkan terbukalebarnya setapak praktik-praktik korupsi.
Semasa Revolusi 1998, setelah akhirnya Presiden Megawati membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga ini belum sepenuhnya didukung dengan kemauan politik (political will) layaknya negara Singapura. Lemahnya otoritas dari pejabat dan kurangnya kesadaran masyarakat sangat besar pengaruhnya. Bahkan hingga saat ini, korupsi di Indonesia bukan lagi menjadi hal yang asing. Jika kita menelisik lebih dalam, praktik korupsi telah hampir ada di setiap instansi di lembaga pemerintahan Indonesia.
Setelah bertahun-tahun berdirinya lembaga KPK di Indonesia, dan dengan telah mengerahkan segara upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi, hal ini akan sia-sia jika tidak diimbangi dengan political will dan daya dukung budaya masyarakat setempat. Selain itu, sistem pemerintahan harus ditata dengan lebih rapih sehingga tingkat kepercayaan masyarakat dapat jauh lebih meningkat.
Akankah Indonesia dapat seperti Singapura?