Kisruh DPR antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) belum juga berakhir sehingga memunculkan skenario pembubaran DPR. Seperti yang dikatakan Politisi Gerindra Desmond J Mahesa yang menduga pembubaran DPR seperti yang dilakukan Presiden Soekarno pada tahun 1959 bisa saja terjadi.
"Proses ini sudah kita duga. Yang ada nanti menteri tidak hadir ke DPR, terjadi kebuntuan, akhirnya keluar Perpu ke DPR, bisa-bisa ada Dekrit 5 Juli 1959 (pembubaran Badan Konstituante)," tutur Ketua DPP Partai Gerindra Desmond J Mahesa kepada detikcom, Jumat (14/11/2014). (sumber:detik.com).
Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Resah Dewan Perwakilan Rakyat (AMAR DPR) juga menuntut Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan DPR. Mereka beranggapan anggota DPR saat ini sudah sangat tidak layak menduduki posisi sebagai wakil rakyat. Selain menuntut pembubaran DPR, mereka juga meminta KPU untuk melakukan pemilu ulang tingkat DPR, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2, kepala daerah dan presiden.
Wacana pembubaran DPR juga disampaikan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow. Menurutnya, dua kubu di DPR, Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih sama-sama bersifat arogan. “Sebaiknya dibubarkan saja (DPR), dua-duanya sudah sangat arogan. Saya melihat ada cara praktek otoriterisme di DPR,” ujarnya.
Bukan hal baru, wacana pembubaran DPR sering mencuat sejak reformasi bergulir. Pada pemerintahan Gus Dur, wacana pembubaran DPR mencuat karena hubungan yang tidak harmonis antara Pemerintah dan DPR. Ketika itu Gus Dur menyindir DPR seperti anak TK.
Wacana pembubaran juga sering dilontarkan karena kasus korupsi yang sering menjerat anggota DPR. Kemudian menyangkut kebiasaan studi banding dan pemberian fasilitas untuk anggota DPR yang menelan anggaran besar. Persoalan etika dan moral seperti kasus mesum, bolos sidang, tidur dan sejenisnya sering memunculkan wacana pembubaran DPR.
Sejarah Indonesia mencatat, pembubaran DPR (Badan Konstituante) pernah terjadi pada masa Presiden Soekarno yang dikenal dengan dekrit presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden itu disebabkan oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956, namun hingga tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan.
Namun ketika itu, sistem pemerintahan mengacu UUDS 1950 yang mengatur suatu sistem pemerintahan parlementer. Sehingga presiden memiliki tempat yang sangat berbeda dalam struktur politik dan ketatanegaraan dengan yang berlaku saat ini. Artinya dengan sistem pemerintahan Presidensial yang berlaku saat ini, tidak mungkin Jokowi bisa membubarkan DPR.
Peluang pembubaran DPR hanya bisa dilakukan oleh anggota DPR itu sendiri selaku wakil rakyat. Namun siapa anggota DPR yang mau menggalang mosi pembubaran DPR? Atau maukah DPR sepakat untuk membubarkan diri? Hehehehe, untuk jadi anggota DPR saja menghabiskan banyak uang, masa mau melepaskan kursi empuk yang baru diduduki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H