Pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo dirilis media pada Jumat malam (12 Desember 2014) mengingatkan artikel yang saya tulis saat Jokowi memilih Jaksa Agung dari kalangan politisi. Di artikel 'Karena Jaksa Agung Harus Seret Prabowo cs' itu saya coba analisa alasan Jokowi memilih mantan politisi Nasdem tersebut. Mendekati perkiraan saya, kini Jaksa Agung didesak untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Jangan bicara berani atau tidak berani. Bukan hantu itu (pelanggaran HAM)," katanya seperti dikutip dari detik.com. Prasetyo memang tidak menyebut nama Prabowo. Tapi, kalau dengar pelanggaran HAM, pertama kali yang teringat adalah Ketua Umum Gerindra tersebut.
Melekatnya Prabowo di otak saya sebagai sebagai orang yang terindikasi melanggar HAM, bukan karena benci atau juga korban isu politik. Tidak ada alasan membenci Prabowo karena saya tidak pernah dirugikan beliau. Bukan isu, karena ada serangkaian fakta dan kesaksian soal indikasi pelanggaran HAM 1998 itu.
Sebenarnya, Prabowo hanya satu dari beberapa tokoh terindikasi pelanggar HAM. Masih ada nama tenar lain, seperti Wiranto, AM Hendropriyono, Luhut B Panjaitan dan lainnya, baik yang masih hidup atau yang hanya tinggal nama. Tapi, Prabowo paling fenomenal dari yang lainnya. Orang-orang fenomenal memang menarik, seperti pemain sepak bola Ronaldo, Messi, C Ronaldo atau legenda lainnya.
Prabowo juga unik. Punya pendukung, figur, kekuatan politik dan uang tidak terbatas. Bahkan 'nyaris' jadi presiden. Sama uniknya dengan wacana penuntasan kasus HAM yang sudah belasan tahun digaungkan tapi selalu mental saat bersentuhan dengan politik. Hanya Komnas HAM yang bisa dibentuk, sedangkan UU dan pengadilan HAM tidak pernah ada. Itu dalam belasan tahun, bandingkan dengan revisi UU MD3 yang hanya dalam hitungan jam.
Padahal kepastian hukum pelanggaran HAM sangat penting. Bukan soal, Prabowo harus dihukum atau tidak. Kalaupun terbukti, Prabowo ketika itu adalah abdi negara, artinya negara ada andil dan negara juga yang harus ikut bertanggung jawab. Lebih baik negara membiayai korban HAM, daripada menggelontorkan dana APBN untuk lumpur Lapindo.
Yang terpenting, pengusutan HAM untuk membuka fakta hukum yang akan melengkapi catatan sejarah yang hilang atau dihilangkan. Seperti sejarah penumpasan PKI, ada bagian yang dihilangkan dan ada yang ditonjolkan. Jangan lagi negara menjadikan sejarah untuk pembohongan publik. Tugas negara mencerdaskan bangsa, bukan membodohi. Cukuplah televisi saat ini yang membohongi penontonnya.
Begitu juga dengan Prabowo. Kasus 1998 itu membuat penasaran yang menyisakan pertanyaan. Ke mana Widji Tukul? Apa maksud jawaban Prabowo ketika ditanya Jusuf Kalla di debat capres lalu yang mengatakan tanya atasannya (Panglima ABRI, Wiranto). Selanjutnya, kisah Prabowo dan Presiden Habibie sehari setelah Presiden Soeharto lengser seperti ditulis di buku Habibie. Itu hanya pertanyaan ringan, masih banyak pertanyaan lainnya yang lebih berat.
Kembali ke pernyataan Jaksa Agung "Pelanggar HAM bukan hantu". Tentunya penuntasan HAM bukanlah perkara yang rumit secara hukum. Tapi bahasa yang keluar dari mulut Prasetyo itu bukan bahasa hukum, melainkan bahasa politik. Itu bahasa para politisi yang terbiasa dengan kata kiasan, kalimat bersayap dan bias.
Menilik latar belakang Prasetyo dari politisi, pernyataan politis dimaklumi keluar dari bibirnya. Lagi pula penuntasan HAM memang harus dimulai dari pembentukan UU dan pengadilan HAM yang merupakan produk politik di DPR. Tentu akan dihadang oleh kekuatan politik dari kubu yang anti penuntasan HAM. Ya, saat ini pengusutan HAM masih berada di ranah politik belum masuk ke ranah hukum. Bagaimana mau diproses secara hukum, jika UU dan pengadilannya belum ada?
Di masa pemerintahan SBY, pelanggar HAM mempunyai kekuatan politik, sehingga pelanggar HAM menjadi 'hantu' yang ditakuti. Bisa saja SBY juga salah satu dari hantu tersebut. Menilik ucapan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu yang mengatakan dirinya satu-satunya jenderal yang tidak terkait dengan HAM. Artinya, masih banyak purnawirawan yang ingin menjadi 'hantu'.