Presiden Jokowi kena batunya. Biasanya panen pujian dan panen fitnah, sepekan ini Jokowi panen hujatan plus caci maki. Jika sebelumnya, Jokowi menabur bibit program kerja, kali ini bibit yang dipilih Budi Gunawan, Kapolri pilihan Jokowi yang ditetapkan KPK sebagai tersangka rekening gendut.
Jumlah panennya sama. Sama-sama melimpah ruah dan bisa mencapai swasembada. Ketika panen pujian, bisa swasembada ke negara lain, yang paling fenomenal di Majalah Time. Panen hujatan kali ini juga berpeluang swasembada, karena masalah korupsi merupakan isu global.
Kondisi Jokowi yang awalnya banjir pujian tapi juga banjir hujatan ini persis seperti yang pernah dialami SBY, Demokrat dan PKS. Jika diamati penyebabnya sama. Jokowi, SBY, Demokrat dan PKS memiliki kesamaan dalam menciptakan persepsi masyarakat. Walau caranya beda, pencitraan politik Jokowi, SBY, Demokrat dan PKS ingin memposisikan di pikiran rakyat sebagai sosok diri atau partai yang bersih.
Slogan kampanye pun mirip. Jokowi dengan 'siapkah kita dipimpin orang bersih?' ditambah simbol kemeja putih. SBY dan Demokrat dengan 'katakan tidak pada korupsi!', bahkan saat besannya, tersandung korupsi jelang pemilu 2009, SBY menambahkan pada iklannya 'tanpa pandang bulu!'. PKS dengan atribut berwarna putih dan slogan partai yang bersih dari korupsi, walau ketahuan main sapi-sapian dan daging-dagingan.
Dalam panggung politik Indonesia Jokowi, SBY, Demokrat dan PKS pernah merasakan enaknya saat berhasil mendapat apreasiasi bersih dari rakyat Indonesia. Jokowi orang biasa bisa jadi presiden. SBY, presiden dua periode, plus Demokrat partai baru yang menjadi pemenang Pemilu 2009. PKS sebagai partai baru juga pernah melejit masuk tiga besar, pencapaian terbaik untuk partai berbasis agama.
Inikah kutukan bagi politisi yang mengusung pencitraan sebagai orang atau partai bersih? Mengapa menggunakan slogan bersih dalam politik bisa menjadi kutukan bagi pelakunya? Berikut analisa sesuka hati penulis.
Bersih, kata yang singkat bermakna dalam dan mempengaruhi psikologis manusia. Saat mendengar kata bersih, pikiran langsung meresponnya secara positif. Kebaikan, kejujuran, keiklasan, dan sifat-sifat terpuji lainnya yang ada di memori otak langsung muncul.
Tapi, tidak semua orang atau bisa diterima untuk dicap sebagai bersih. Jika bersih itu dialamatkan pada orang yang sudah jelas-jelas seorang maling, otak langsung menolak dan bisa berujung dengan mengeluarkan kata dari bibir. Begitu juga dengan partai yang kadernya terjerat korupsi jangan harap bisa sukses dengan jargon bersih.
Sangat wajar jika bersih sangat disenangi manusia. Bersih telah tertanam kuat di alam bawah sadar. Sejak bayi nilai-nilai dan tingkah laku bersih telah dilolohkan ke benak manusia. Tidak ada satupun orang tua yang menanamkan nilai kotor lebih baik dari bersih kepada anaknya. Bahkan dalam agama, bersih dikaitkan dengan kadar keimanan.
Jokowi, SBY, Demokrat dan PKS berhasil mencitrakan diri atau partai yang bersih namun akhirnya dihujat karena dinilai tidak bersih. Ini karena menjaga bersih itu sangat susah. Orang-orang terdahulu telah mewanti-wanti agar hati-hati dengan penggunaan jargon bersih karena menjaganya sangat susah. Mereka gambarkan dengan: karena setitik nila, rusak susu sebelanga. Mau disengaja atau suatu keteledoran, setitik noda langsung merusak makna bersih.
Disisi lain, dunia politik digambarkan sebagai suatu panggung yang dipenuhi kekotoran, penuh tipu daya dan kecurangan. Musisi Iwan fals dalam lirik lagunya menanamkan kalau politik itu kejam: tikam dari belakang, lawan lengah diterjang lalu kasak kusuk cari kambing hitam. Masih banyak lagi dan terlalu panjang untuk ditulis orang yang menggambarkan politik adalah kotor. Dan persepsi politik itu kotor sudah tertanam di otak manusia.
Jadi, mencitrakan diri bersih dan menjaganya pada dunia politik sama dengan mencampurkan putih dengan hitam. Sangat mustahil bersih bisa bertahan dalam kotornya dunia politik. Jangankan mencampurkan putih dan hitam, peribahasa diatas sudah mengatakan setitik nila (noda) saja sudah merubah persepsi dari bersih menjadi kotor.
Dalam kasus Jokowi yang memilih tersangka korupsi sebagai Kapolri, bisa disebut sebagai nila setitik. Tapi, walau setitik tetap saja sudah tidak bersih dan Jokowi harus menerima hujatan pendukungnya dan caci maki dari kelompok anti Jokowi.
Apalagi, saat ini korupsi dipersepsikan sebagai suatu yang teramat sangat kotor karena gencarnya kampanye anti korupsi yang kian masif dan terstruktur. Memilih Budi Gunawan membuat Jokowi dianggap tidak bersih lagi. Ditambah lagi, di benak masyarakat telah tertanam KPK itu bersih dan tersangka KPK sudah dipastikan adalah koruptor yang kotor.
Akhir kata, untuk orang yang akan turun ke kancah politik, atau partai baru, jangan coba untuk memakai jargon bersih, karena lambat laun kutukan itu akan berlaku. Pujiannya besar namun hujatannya juga lebih besar.
Setelah terakhir Jokowi di Pilpres, masih adakah politisi yang masih berani menggunakan jargon bersih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H