Jadi, mencitrakan diri bersih dan menjaganya pada dunia politik sama dengan mencampurkan putih dengan hitam. Sangat mustahil bersih bisa bertahan dalam kotornya dunia politik. Jangankan mencampurkan putih dan hitam, peribahasa diatas sudah mengatakan setitik nila (noda) saja sudah merubah persepsi dari bersih menjadi kotor.
Dalam kasus Jokowi yang memilih tersangka korupsi sebagai Kapolri, bisa disebut sebagai nila setitik. Tapi, walau setitik tetap saja sudah tidak bersih dan Jokowi harus menerima hujatan pendukungnya dan caci maki dari kelompok anti Jokowi.
Apalagi, saat ini korupsi dipersepsikan sebagai suatu yang teramat sangat kotor karena gencarnya kampanye anti korupsi yang kian masif dan terstruktur. Memilih Budi Gunawan membuat Jokowi dianggap tidak bersih lagi. Ditambah lagi, di benak masyarakat telah tertanam KPK itu bersih dan tersangka KPK sudah dipastikan adalah koruptor yang kotor.
Akhir kata, untuk orang yang akan turun ke kancah politik, atau partai baru, jangan coba untuk memakai jargon bersih, karena lambat laun kutukan itu akan berlaku. Pujiannya besar namun hujatannya juga lebih besar.
Setelah terakhir Jokowi di Pilpres, masih adakah politisi yang masih berani menggunakan jargon bersih