Karya kedua, diawali bonangan sekaten yang ditransmedium kedalam instrumen petik, dilanjutkan dengan instrumentasi "gantungan" tetapi pada alat musik barat yang ditumpangi tembang jawa, serta improvisasi indah piano, menjadikan Agus berhasil menuansakan musiknya menjadi nge-pop dan nge-jazz tapi juga ngetnik.
Nomor terakhir diisi oleh Peni Candrarini dengan karyanya berjudul "Kinanthi Kunci Ati". Selain sebagai komposer, pada pertunjukan ini, seperti ciri khas dari karya-karyanya, menempatkan vokal (yang luar biasa itu) sebagai kekuatan utamanya. Â Bahkan, dengan penampilan bayangan wayang (sandosa mini?), tidak lantas mengalihkan perhatian penonton untuk menikmati suara emasnya.
Kompositoris yang muncul dari gender, siter, gambang, dan slenthem, merupakan latar yang tepat bagi olah vokalnya. Memang demikian kekuatan komposisi Mbak Pepen. Olah vokalnya melebihi batas-batas ketradisian gamelan, pada satu sisi berdiri sebagai satu "pathet" yang kuat, tetapi perjalanan nadanya meliar, mencampur rasa "pathet" itu sendiri. Bagi Mbak Pepen, (mungkin) tradisi adalah bahan lentur untuk dapat di"eluk" kesana kemari sehingga lahir nuansa yang baru.
Sebagai sebuah rangkaian pertunjukan musik, penampilan para komponis demikian saling melengkapi dan tentu mewarnai. Warna atas seni pertunjukan di masa-masa pandemi, warna yang tetap menghadirkan kebaruan pada setiap pertunjukannya. Semoga menjadi pengalaman yang benar-benar "New Tradition" bagi para pelaku dan penikmat seni pertunjukan dan "perilaku baru" seni pertunjukan di masa "New Normal".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H