Tulisan ini merupakan upaya menuliskan apa yang sampai dan berhasil tertangkap dan termaknai oleh penulis, setelah menyaksikan pertunjukan musik secara langsung di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Surakarta, bertajuk "New Tradition". Jadi bukan merupakan analisis mendalam dan serius tentunya. Ya, mungkin biar kesannya menjadi ringan, itung-itung sambil mengisi waktu "momong" Saka (anak saya) dan menunggu tim sepakbola kesayangan, LIVERPOOL FC yang akhirnya meang 4-0 dini hari tadi.
Sejujurnya, ruang pertunjukan itu tidak banyak berubah atau mungkin memang tidak berubah; akustiknya, lightingnya, dan soundsystemnya, serta terutama auranya. Satu yang berbeda, jarak penonton dibatasi dengan tanda silang, sehingga penonton yang hadir diatur jarak duduknya serta sebelum masuk diperiksa dulu suhu badan dan wajib membersihkan tangan; bentuk sikap kepatuhan pada protokol covid-19.
Memang sedemikian berbeda ketika menyaksikan pertunjukan secara langsung apabila dibandingkan dengan menonton di layar smartphone bahkan dengan alat bantu dengar sekalipun. Auranya berbeda, nuansanya berbeda, energinya kena, dan pengalaman menyaksikan pertunjukan secara langsung yang sekitar tiga atau empat bulan ini putus, pada malam ini paling tidak terasa terjembatani dan rasa kangen atasnya sedikit terobati.
Tulisan ini juga sebenar-benarnya pengalaman sebagai penonton, bahkan ketika sampai di rumah juga tidak memutar kembali live streaming pertunjukannya. Jadi, ya mencoba menikmati ketika menonton -- sesekali buka hp pasti ya -, lalu setelah pertunjukan usai dilanjutkan "ngrasani" dengan teman-teman yang kebetulan di sana juga, lalu menuliskannya. Â
Pada hari pertama ini, 24 Juni 2020, yang tampil, ada tiga komposer musik (gamelan/ karawitan?); Sri Eko Widodo, Agus Prasetyo, dan Peni Candrarini, dan satu kelompok band musik etnik; Romanz Pitu. Masing-masing menampilkan dua nomor komposisi kecuali Mbak Pepen (Sapaan akrab Peni Candrarini) yang menyajikan satu komposisi.
Komposer pertama, Sri Eko Widodo, atau Mas Dodo, begitu saya memanggilnya, menyajikan karya berjudul "Sesumping Mlathi" dan "Kembang Candra Lintang". Elemen musikalitasnya sangat bernuansa karawitan, seperti pengakuannya ketika kami mengadakan live IG di Jagongan Karawitan.
Karakter karawitan Jawanya terletak pada instrumen yang digunakan seperti gender, gong, balungan, dan ditambahkan siter/ kecapi serta suling yang juga kadang "nyunda". Namun kehebatannya justru dua komposisi itu menjadi sangat menuansa kekinian, paling tidak menjadi garapan yang "enak didengar", mudah dikenali, waktu penyajian yang tidak terlalu lama dan tentu menghipnotis.
Melodi vokal "minir" yang secara tradisi lebih banyak dimaknai sebagai ungkapan kesedihan akan kematian, oleh Mas Dodo menjadi kesedihan romantis yang mendayu. "Pengempyungan" (harmonisasi) antara vokal dan gamelan menjadi cita rasa yang khas. Kebersalingsahutan antara vokal dan  gamelan, rasa musikal yang merata, mengalir; sangat berkarakter karawitan, tetapi nuansa yang timbul sangat nge-pop.
Romanz Pitu, Â dengan perangkat band-nya, menyajikan musik yang hingar tetapi ada sentuhan etnik dari alat musik semacam gender/ saron atau gangse Bali dengan karakter logamnya yang dibubuhi dengan suara kendang Sunda. Dua instrumen nusantara yang cukup memberi warna berbeda. Ada dua nomor yang disajikan Romanz Pitu; Metriks dan Puthut Semedi. Metriks (Matriks?) merupakan olah musikal yang diilhami pada kerumitan bilangan matematika. Dan memang, tampak pada permainan ritme set drum, bass, dan kendang yang diperkuat dengan melodi saron terasa rumit apabila kita terbiasa menikmati musik dengan birama 4/4.
Karya kedua berjudul "Puthut Semedi" yang merupakan bentuk transmedium dari vokabuler instrumen gender pada gamelan Jawa ke ensemble band kemudian memarnainya dengan nuansa band, lalu ada jazz(?) dan sepintas seperti bosanova. Sebagai sebuah band etnik, tidak penting untuk urusan jumlah instrumen etnik yang dilibatkan, tetapi bagaimana menggarapnya sehingga kesan etnik itu tampak. Pada sudut pandang ini, Romanz Pitu berhasil melakukannya.
Ketiga, Agus Prasetyo -- yang pada pertunjukan ini lupa memperkenalkan vokalisnya yang kebetulan istrinya -- menyajikan dua komposisi, satu berjudul '"Shunsine" dan kedua berjudul "Tresna Kumbakarna" (di undangan TBJT "Tresna Modus Pat". Komposisi pertama, merupakan karya yang secara fisik menggabungkan instrumen gamelan dan musik barat. Lagunya, yang secara melodi mesangat nge-pop, tetapi dibalut dengan instrumentasi campuran antara, gitar, piano dan gamelan; gender, slenthem, dan demung, menjadi paduan yang tepat. Cukup untuk membuat bulu merinding, secara imajinatif terbayang gugurnya Kumbakarna.