Hari Senin pagi, 19 September, saya bersama istri hadir dalam acara pelantikan taruna baru di SekolahTinggi Perikanan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kami termasuk salah satu dari orang tua taruna yang bisa hadir untuk menyaksikan putra-putrinya menjalani pelantikan. Saya dan istri hadir terlambat karena terhambat kemacetan di Pasar Rebo. Pada saat kami tiba acara yang sedang berlangsung, adalah sambutan dari direktur kampus STP.
Acara pelantikan diselenggarakan di lapangan upacara, di tengah kampus. Cuaca Senin pagi kemarin sangat panas dan terik. Namun hingga pukul 9, para peserta yang terdiri atas para taruna baru dan kakak-kakak seniornya masih kuat bertahan. Sekilas saya masih bisa mendengar isi pidato inspektur upacara yang menyampaikan tentang tantangan profesi bidang perikanan pada masa sekarang dan mendatang.
Usai upacara, para taruna baru diijinkan untuk bercengkerama atau kangen-kangenan dengan orang tuanya hingga sore hari. Tidak semua orang tua para taruna bisa menghadiri acara pelantikan disebabkan asal tempat tinggal mereka yang jauh. Sebagian dari para taruna berasal dari pulau-pulau di luar pulau Jawa, Bahkan ada yang berasal dari Timor Leste.
Kami juga dikumpulkan di ruang pertemuan utam untuk mendapatkan penjelasan mendalam tentang visi dan misi pembentukan Sekolah Tinggi Perikanan (awalnya bernama Akademi Usaha Perikanan). Bapak Direktur STP dengan penuh keramahan memberikan penjelasan tentang sejarah STP, modal peralatan praktek yang dipunyai STP, profil geografis para taruna dan alumni STP, tujuan pendidikan semi militer yang diterapkan di STP, dan lain-lain.
Dalam percakapan dengan anak saya, saya mendapat informarsi tentang berbagai hal menarik selama beberapa hari tinggal di asrama. Dia bisa memaklumi semua perubahan yang harus dijalaninya selama tinggal di asrama, misalnya: waktu yang disediakan untuk makan hanya 3 menit.
Suasana yang diciptakan di sekolah STP sangat nasionalis. Dalam upacara penaikan bendera pada pagi hari, kami diperintah oleh petugas patrol keamanan Menwa untuk ikut berdiri dan menghormat sang Merah Putih dengan sikap takzim. Hal semacam ini yang membuat saya pribadi sangat terkesan. Sikap menghormati bendera secara khidmat menjadi standard utama bagi saya bahwa para taruna di sekolah tersebut memang benar-benar dituntut untuk mencintai Indonesia sebagai medan juangnya setelah lulus kelak.
Penampilan para orang tua taruna baru yang hadir bersama kami tampak biasa-biasa saja. Saya bisa mendengar Logat Jakarta, logat Sunda, logat Banyumas, logat Jawa, logat Sumatra Utara, logat Papua, logat Timor, dll, dalam percakapan mereka. Bila dilihat dari penampilannya, tampaknya banyak dari para orang tua para taruna bertempat tinggal di pelosok, mungkin di tepi pantai, atau perkampungan. Namun mereka terlihat sangat antusias bila membicarakan tentang masa depan anaknya setelah menyelesaikan pendidikannya di STP kelak. Hal itu tidak terlampau mengusik pikiran saya sebab yang utama bagi saya, adalah dengan mengambil jurusan di STP saya berharap anak saya dapat menikmati pilihannya masa depannya sendiri, merasakan hidup disiplin, belajar mandiri, serta mencari pengalaman nyata dengan menjelajahi Nusantara melalui bidang perikanan yang dipelajarinya.
Seperti yang disampaikan oleh bapak direktur STP yang simpatik, dalam penjelasannya di runag rapat gedung utama, bahwa para taruna STP akan dididik menjadi ahli perikanan yang tangguh dan mampu menjawab tantangan kebutuhan industry perikanan di Indonesia. Atau seperti slogan Bu Susi Pujiastuti yang tercantum pada banner di tepi lapangan upacara: “Cari pekerjaan yang anda suka, berfikir, berkarir, ber- eksplorasi dengan kegembiraan. Kalau anda gembira, tenaga anda juga besar. Kalau tenaga anda besar maka anda akan mencapai hal yang lebih besar.”. “Kalau anda tidak suka, cari yang anda suka. Kegembiraan adalah energy”.
Cileungsi, 21 September 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H