Beberapa hari yang lalu mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat anugerah ‘Doktor Honoris Causa’ dari ITB (Institut Teknologi Bandung). Beliau dinilai oleh jajaran Dewan Guru Besar ITB pantas mendapatkan gelar tersebut karena telah berjasa dalam pelaksanaan pembangunan semasa pemerintahannya.
Setelah lama tidak pernah ada tokoh-tokoh nasional yang mendapat gelar tersebut di ITB, otomatis berita tersebut menjadi perhatian khusus bagi saya. Status ITB sebagai perguruan tinggi teknik ternama di Indonesia tentu akan terus menjaga kualitas kehidupan akademis para mahasiswanya. Sungguh menjadi tanggung jawab yang berat bagi para alumninya untuk tetap menjaga nama baik almamater.
Berbeda dengan mantan Presiden SBY yang sukses mendapat gelar Doktor dari IPB (Institut Pertanian Bogor) dengan nilai ‘cumlaude’. dan gelar Doktor Honoris Causa dari ITB, saya menyelesaikan strata sarjana S1 di ITB dengan nilai pas-pasan untuk lulus. Bapak SBY kemarin datang ke ITB dengan situasi dan kondisi kampus yang telah perubahan besar. Hal itu berbeda jauh dengan kondisi sewaktu saya menjadi siswa ITB, 30 tahun yang lampau.
Ketika saya datang ke kampus ITB, tahun 1983, suasana kampus masih sangat lapang. Pada bagian tengah ‘lay out’ kampus ITB terdapat lapangan sepakbola, tempat saya dan teman-teman penghuni asrama ITB rutin bermain sepakbola, setiap hari Minggu. Kami berbaur dengan anak-anak kecil anggota sekolah sepakbola yang menyewa lapangan. Sungguh membahagiakan ketika saya tinggal di asrama yang tepat berada di depan area kampus. Saya cukup berjalan kaki menyeberangi jalan Ganesha untuk berangkat atau pulang kuliah. Bila saya memasuki kampus dari pintu gerbang utama kampus, pemandangan puncak gunung Tangkuban Perahu masih bisa disaksikan dengan jelas dari pintu gerbang masuk ITB. Kini panorama Tangkuban Perahu itu tidak bisa disaksikan lagi karena lapangan sepakbola telah diisi bangunan perkuliahan.
Tahukah Bapak SBY (?) bahwa dulu di belakang kampus ITB ada perkampungan yang dinamakan ‘Lebak Gedhe’. Di lembah itu banyak mahasiswa ITB mengontrak kamar atau indekost. Kini perkampungan tersebut telah berganti dengan fasilitas olahraga dan gedung budaya modern. Sebelum masuk asrama, saya sempat tinggal setahun di perkampungan tersebut. Setiap hari saya ‘menerobos’ pintu pagar belakang ITB, melewati GSG (Gedung Serbaguna – kini telah dibongkar), menyusuri gedung TVST, dan menyeberangi lapangan sepakbola, untuk menuju ke gedung fakultas yang berada di pojok terdepan kampus.
Kampus ITB menurut saya sebenarnya tidak luas. Sedemikian kecilnya sehingga saya waktu dulu bisa jogging mengelilingi kampus sebanyak dua kali, menyusuri jalan beraspal di tepian dalamnya, tanpa merasa lelah. Berhubung letaknya berada di kota Bandung yang sangat kental dengan nuansa budaya Sunda dan keelokan alam Parahyangan, saya merasa kehidupan akademis di ITB waktu dulu terlihat tenang dan bersahabat.
Meskipun pernah mengalami ketegangan politik akibat represi pemerintahan Suharto, namun ketika saya masuk sebagai mahasiswa baru, sisa-sisa ketegangan politik itu tidak terlalu menonjol. Semua hanya tinggal kisah perjuangan yang tidak berkesan bagi para mahasiswa baru. Para mahasiswa kala seolah-olah acuh tak acuh dengan urusan politik, terbukti kami sangat antusias mengikuti penataran P4, kegiatan Ospek, kegiatan PPLK (Program Pengenalan Kegiatan Kampus), pentas musik di lapangan sepakbola, bahkan kegiatan Menwa (Resimen Mahasiswa).
Meskipun saya tercatat sebagai mahasiswa kampus ITB, namun kala itu saya masih punya perasaan sangat berat menyandang nama besar ITB. Teman-teman saya hampir semuanya merupakan siswa-siswa terbaik yang berasal dari seluruh penjuru tanah air. Mereka memang siswa-siswa berotak cerdas yang layak duduk di ruang kuliah ITB.
Perlahan-lahan saya akhirnya bisa menyelesaikan kuliah, meskipun harus menghabiskan waktu selama 7 tahun. Saya mengakui masih sangat banyak hal-hal yang belum saya ketahui tentang ITB. Meskipun kjni saya dengar ITB telah berubah total, khususnya dari semakin padatnya area kampus dengan berbagai gedung perkuliahan, penelitian, dan pentas budaya, seirama dengan kepesatan pembangunan kota Bandung, namun saya masih percaya bahwa ITB tetap kampus yang nyaman untuk menimba ilmu dan tetap menjaga idelaismenya sebagai kampus teknik terbaik di Indonesia.
27 Januari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H