Mohon tunggu...
Sigit Priyadi
Sigit Priyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Padang rumput hijau, sepi, bersih, sapi merumput, segar, windmill, tubuh basah oleh keringat.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ketep – Kemusuk, Safari Keluarga yang Mengesankan

9 Desember 2015   12:26 Diperbarui: 9 Desember 2015   14:16 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cibinong – Jogja.

Perjalanan pulang kampong kali ini (Jum’at, 4 Desember) terasa kental dengan aroma ‘Jawa’. Sepanjang perjalanan di dalam bus malam ‘RI’, hingga pukul 20.00, saya kenyang dihibur oleh grup campur sari dari Sragen dan Karanganyar melalui tayangan layar monitor video, selain campur sari juga ada sajian tembang tembang ciptaan Ki Nartosabdo yang dibawakan oleh tujuh orang pesinden secara bergantian. Ada sebuah tembang yang sangat saya hapal tentang ‘gotong royong’ (lagu pembuka acara ‘Mbangun Desa di TVRI Jogja), yang secara otomatis membuat saya ikut menembang. Walaupun masih di Jakarta, namun saya sudah merasa suasana seperti di Jawa ketika berada di dalam bus malam tersebut.

Jogjakarta.

Minggu pagi, 6 Desember, saya sekeluarga berangkat ke lokasi wisata yang merupakan tempat pengamatan Gunung Merapi, bernama: ‘Ketep’. Kami menuju ke Ketep setelah sebelumnya mampir di Kota Magelang. Jalur menuju ke Ketep kami lalui melalui belokan di wilayah Blabak, antara Magelang dan Muntilan. Setelah belok ke kiri kami melaju melewati jalur jalan cor beton datar. Pemandangan kiri kanan merupakan sawah menghijau yang menyegarkan. Beberapa kilometer kemudian jalur mulai menanjak. Hal yang membuat saya kagum adalah proyek pengecoran jalan ternyata juga menjangkau kawasan tanjakan menuju ke lokasi wisata. Bukti bahwa Pemda setempat sangat memberikan perhatian untuk memudahkan wisatawan yang hendak menuju ke lokasi wisata, selain juga untuk jalur pengungsian warga bila terulang kembali bencana letusan Merapi.

Tiba di lokasi Ketep, cuaca mendung masih menggantung seperti saat kami berangkat dari Jogja. Raksasa Gunung Merapi tidak dapat di lihat sama sekali karena tertutup kabut. Padahal sosok gunung berapi itu tepat berada di depan mata. Saya hanya bisa melihat jelas pemandangan di lembah gunung tersebut. Kami sekeluarga masih sempat menonton rekaman bencana letusan Merapi yang terjadi pada bulan Oktober 2010, di gedung theater mini, yang merupakan pelengkap obyek wisata Ketep. Setelah puas duduk-duduk mengobrol , kami beranjak menuju ke deretan warung di depan tempat parker mobil untuk menikmati jajanan jagung bakar dan tempe mendoan.

"Pemandangan lereng Merapi dari pos pengamatan Ketep."

Jalan cor semen mulus pada tanjakan tajam mendekati Ketep.

Kami lalu pulang menuju ke Jogja. Ketika sampai di Sleman kendaraan kami belokkan ke kanan menuju ke arah Godean. Kami bermaksud makan siang di restoran Sunda ‘Mang Engking’. Suasana persawahan menghijau kali sungguh-sungguh mendominasi pemandangan sepanjang perjalanan kami. Meskipun saya puluhan tahun tinggal di Jogja namun baru kali inilah saya merasakan kesejukan dan kehijauan kawasan Godean yang masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman. Hujan kembali mengguyur lokasi restaurant tempat kami makan siang yang terletak jauh di pelosok kampong, tepatnya di tengah areal persawahan. Sebagaimana halnya ciri khas restaurant Sunda yang menyajikan suasana makan ala pedesaan Parahiyangan, kami makan sambil duduk di saung yang berada di atas permukaan danau buatan nan luas. Padi yang menghijau di sekitar restaurant dan cuaca mendung membuat saya makan dengan lahap.

"Rumah makan Mang Engking."

Setelah selesai makan, kami pulang. Dalam perjalanan saya mengusulkan untuk mampir ke rumah mantan Presiden Suharto yang berada di Dusun Kemusuk, Desa Argomulya, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Alasan saya untuk mampir adalah: Saya belum pernah sekalipun melihat rumah tempat Bapak Suharto dilahirkan serta sangat ingin tahu kondisi bentuk bangunan rumahnya.

Suasana rumah pak Harto sore itu terlihat sepi. Beberapa tukang bangunan terlihat sedang duduk mengobrol di pendapa. Kami berenam masuk ke area rumah lalu berfoto-foto dan duduk -duduk di kursi yang tersedia di emperan bangunan utama (di belakang pendapa). Kini rumah tersebut telah kosong dan dijadikan sebagai monumen yang dilengkapi informasi sejarah tentang perjalanan hidup pak Harto sejak masih menjadi prajurit pejuang kemerdekaan hingga menjabat sebagai Presiden RI ke-2.

"Rumah pak Harto di Dusun Kemusuk, Bantul."

Saya masuk gedung informasi sejarah pak Harto dengan perasaan kagum dan akrab. Yang membuat saya kagum yaitu ternyata pak Harto pernah mengalami hidup sebagai anak-anak di kawasan pedesaan Sedayu yang jauh dari kota Jogja namun bisa menjadi Presiden Republik Indonesia yang sangat luas wilayahnya. Kedua, keakraban keluarga inti pak Harto yang dipajang dalam foto-foto di emperan museum memperlihatkan kehidupan rukun ala keluarga Jawa yang mengutamakan kesatuan keluarga.

Setelah melihat isi museum saya lalu mendatangi sebuah sumur di pojok rumah. Sumur timba berkedalaman sekitar empat meter itu airnya terlihat bening. Di dasar sumur yang dilapis semen, tampak sejumlah koin dan lembaran uang dua ribuan. Di sebelah sumur juga tampak empat buah gentong (gerabah tempat menampung air) yang diberi pancuran. Barangkali air dalam genthong itu disediakn bagi pengunjung yang ingin ‘mencicipi’ kesegaran air sumur di rumah pak Harto.

Akhirnya tepat pukul 17.00, kami sekeluarga keluar dari area ‘Monument Rumah Bapak Suharto’ untuk kembali ke rumah. Hujan rintik-rintik mengiringi ayunan kaki kami menuju ke lokasi parker kendaraan yang berseberangan dengan rumah pak Harto.

Minggu, 6 Desember 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun