Sambil menunggu kedatangan rangkaian KA 'Sriwedari' Air Conditioner (AC), saya duduk melamun menikmati suasana sepi di stasiun Balapan, Solo, hari Kamis pagi pukul 09.30, 2 Januari 2014. Rangkaian KA 'Pramex' non AC yang menunggu pemberangkatan pada pukul 10.10 masih berada di jalur lintasan rel, beberapa meter di depan tempat duduk saya yang berada di peron tengah. Sebenarnya rangkaian 'Pramex' non AC' (kalimat itu sesuai yang tercantum di loket) itulah yang paling dekat waktunya dengan saat kedatangan saya di stasiun Balapan. Akan tetapi karena tiketnya telah habis terjual (harga tiketnya: 10 ribu rupiah) maka saya harus naik rangkaian berikutnya, yakni: KA 'Sriwedari AC yang harga tiketnya: 20 ribu rupiah, yang akan berangkat pada pukul 11.10. Sepengetahuan saya, desain rangkaian kereta 'Pramex' merupakan bentuk kotak, bukan berupa gerbong model KRD jaman dulu. Lalu mengapa yang di depan saya itu bentuknya mirip 'kapsul' (?), yakni kereta KRD kuna. Karena penasaran saya lalu bertanya kepada petugas informasi yang memakai 'selempang bertuliskan: informasi'. Dia memberi jawaban bahwa KA Pramex itu juga disebut KA Sriwedari. Terbukti memang ketika rangkaian KA 'Sriwedari' AC yang akan saya naiki telah tiba di stasiun Balapan, pada pukul 11.05, ternyata bentuk desain gerbongnya memang kotak seperti gambaran dalam benak saya. Kondisi interiornya juga lebih modern dan lebih baru bila dibandingkan dengan rangkaian KA 'Sriwedari non AC. "Gerbong 'Pramex' yang desainnya kotak juga ada, namun jadualnya nanti sore", petugas tersebut menambahkan keterangannya pada saya. Sebelum rangkian kereta yang akan saya naiki datang, saya sempatkan untuk melihat-lihat suasana stasiun terbesar di Solo tersebut yang sempat dipopulerkan oleh penyanyi campur sari: Didi Kempot. Dekat dengan pintu gerbang keluar masuk penumpang terdapat sebuah relief yang menggambarkan ciri khas kota Solo, yaitu: wayang orang. Bila dibandingkan dengan stasiun Tugu, Jogja, maka stasiun Balapan tampak lebih sederhana. Ketika saya berjalan ke peron yang berada di balik deretan gedung kantor pengawas stasiun (kelihatannya peron tersebut tidak digunakan untuk penumpang, sebab rangkaian kereta yang berada di jalur rel di depannya merupakan rangkaian KA barang), terlihat beberapa sejumlah kursi tunggu calon penumpang yang kelihatan sangat kuat dan kokoh. Kursi yang sangat nyaman dan rgonomis itu tampaknya peninggalan Belanda yang masih terawat hingga kini. Sayangnya kursi yang saya duduki di peron pemberangkatan penumpang justru merupakan kursi-kursi tunggu yang umum digunakan di gedung-gedung publim jaman kini, yaitu kursi import buatan China. Kursi import dari bahan stainless steel itu sangat umum ditemui dimana-mana, sehingga tidak menunjukkan kesan khusus. Sedangkan kursi baja cor buatan Belanda yang sangat kokoh, kuat, dan ergonomis, itu justru sangat nyaman dan sesuai dengan arsitektur bangunan stasiun Balapan. [caption id="attachment_304061" align="alignnone" width="640" caption="Kursi tunggu peninggalan Belanda yang ergonomis dan kokoh."][/caption] Pukul 11.00, masuk rangkaian KA 'Argo Wilis' dari Surabaya tujuan ke Bandung. Rangkaian KA eksekutif yang dihela oleh lokomotif CC tersebut masuk stasiun dan berhenti di jalur rel dekat dengan pintu gerbang keluar-masuk penumpang. Bunyi dan getaran mesin diesel lokomotif masih terdengar selama sekitar 10 menit sebelum kemudian kembali berangkat dengan meninggalkan bunyi lengkingan terompet klakson 'tanda siap berangkat' dan deru mesin diesel elektrik yang semakin keras saat masinis menekan gas awal hendak melaju. [caption id="attachment_304057" align="alignnone" width="640" caption="Argo Wilis memasuki jalur rel di stasiun Balapan."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H