Saya masuk ke dalam antrian di depan loket pembelian tiket KA ulang-aling Jogja - Solo, pada hari Rabu, 1 Januari 2014, dengan suasana hati 'sumringah' karena saya sebentar lagi bisa merasakan suasana pelayanan kereta yang menurut kabar-berita telah meningkat lebih baik. Bahkan menurut berita, para pedagang asongan juga telah dilarang memasuki stasiun, termasuk juga para pengamen. Setelah beberapa orang di depan saya menyelesaikan urusan pembelian tiket, saya maju ke depan loket. Sejenak saya terhenyak melihat petugas pelayanan yang berada di belakang kaca. Perempuan muda di depan saya itu sangat cantik. Dia memakai kerudung untuk menutupi rambutnya. Blu matanya tampak lentik. Wajahnya lonjong dan terlihat sangat cantik. Paduan busana batik yang dikenakannya juga sangat mendukung penampilannya. Terus-terang saya terpukau selama beberapa detik. Saya yaqin para pengantri di depan sayapun pasti akan terpukau oleh kecantikan perempuan pelayan tiket di stasiun Tugu tersebut. Saya keluarkan KTP dan selembar uang limapuluh ribuan untuk pembayaran dua lembar tiket @ sepuluh ribu rupiah. Selanjutnya dia menanyakan 'uang pas'. Saya jawab: "nggak ada mbak". "KTP-nya nggak perlu, pak", maksudnya dia mau bilang bahwa saya tidak perlu menunjukkan KTP. Sambil tersenyum dia menyerahkan uang kembalian tiga puluh ribu rupiah ketelapak tangan saya. "Wuih ! hebat juga pengelola stasiun Tugu bisa punya karyawan secantik itu" pikir saya sambil berjalan kaki menuju ke dalam stasiun. Saya lalu duduk menunggu kedatangan rangkaian KA 'Sriwedari' non AC yang belum datang dalam perjalanan dari Solo ke Jogja. Jadual keberangkatan saya adalah pukul 12.00. Cuaca  mendung membuat suasana di dalam stasiun terlihat agak gelap. Seperti biasa saya selalu berjalan-jalan untuk melihat-lihat suasana stasiun bila berada di dalamnya. Sebuah rangkaian KA kelas ekonomi jarak pendek meluncur memasuki stasiun dari arah Timur. Saya hampiri lokomotif di ujung rangkaian. Rangkaian KA itu hanya berhenti sekitar lima menit. Belum sempat saya mengamati dengan seksama sang 'kuda besi' berwarna putih yang menarik sekitar sembilan gebong berwarna kuning tua tiba-tiba di depan saya berjalan dua pemuda muda usia berumur dibawah dua puluh lima tahun berseragam baju putih dan bercelana biru tua menuju ke lokomotif. Badan kedua orang tersebut agak gemuk dan cukup tinggi. Keduanya berjalan tegap menuju kea rah saya yang berdiri tepat di sebelah lokomotif. Tanpa mengindahkan keberadaan saya mereka langsung masuk ke dalam kabin lokomotif. Salah seorang diantaranya sempat usil dengan menendang botol kosong bekas minuman air mineral yang tergeletak di lantai emplasemen. Setelah mendapat 'aba-aba' perintah berangkat dari kepala stasiun, keduanya lalu menjalankan rangkaian kereta secara perlahan meninggalkan stasiun Tugu ke a rah Barat menuju kota Kutoarjo yang menjadi tujuan akhirnya. [caption id="attachment_304119" align="alignnone" width="640" caption="KA ekonomi jurusan Kutoarjo."][/caption] Setelah rangkaian KA tersebut berlalu dan menghilang dari tatapan saya tiba-tiba mendung semakin menghitam pekat. Suasana di dalam stasiun semakin gelap dan sejuk karena tiupan angin. Beberapa menit kemudian turun hujan sangat deras. Saya lihat angkasa di sebelah Barat maupun Timur terlihat menghitam, berarti hujan turun merata. Namun meskipun hujan mengucur deras, hujan di Jogja tidak pernah disertai petir menggelegar sebagaimana halnya di Cibinong atau Cileungsi tempat saya tinggal. Sehingga hujan di Jogja bagi saya hanya merupakan 'mainan' yang tidak perlu ditakuti. Pukul 12.00, rangkaian KA 'Sriwedari' non AC yang saya tunggu telah datang. Rangkaian yang merupakan kereta diesel model kuna itu dicat warna kuning berselang-seling dengan gerbong warna merah muda. Meskipun kuna namun kondisi rangkaian tersebut masih terlihat kokoh. Saya dan ibu saya bergegas masuk ke dalam dan beruntung kami masih bisa mendapatkan tempat duduk. Entahlah mungkin karena dalam suasana Tahun Baru maka tiket dijual tanpa nomor tempat duduk. Namun penumpang pada siang itu tidak terlampau banyak sehingga kondisi di dalam gerbong juga terasa lengang. Perjalanan ke Solo berjalan dengan lancar. Ketika kereta melewati lapangan terbang Adi Sucipto (Maguwo) saya melihat permukaan tanah di luar jendela terlihat kering, berarti hujan deras tadi hanya terjadi di dekat stasiun saja. Setelah satu jam lebih sedikit (pukul 13.00), kereta telah masuk ke stasiun Balapan, wilayah kota Solo. Suasana Solo pada siang itu terasa sepi. Becak yang saya naiki melewati pasar barang-barang onderdil motor loakan serta sebuah Taman yang tertutup pagar besi di sekelilingnya. Beberapa pedagang di pasar loakan tampak duduk tertidur di kursinya menunggu pembeli. Becak yang saya naiki melaju perlahan menuju ke wilayah Kepatihan Wetan yang masih termasuk dalam Kecamatan Jebres. Sebuah suasana yang tidak jauh berbeda dengan kota Jogja, namun saya melihat Solo pada siang hari itu tampak sangat sepi dan sejuk karena angin bertiup sepoi-sepoi... 5 Januari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H