Kesempatan untuk melaju di jalan tol kebanggaan warga Jawa Tengah yang terletak di Semarang, ibukota provinsi Jawa Tengah berhasil terpenuhi pada hari Kamis pagi, 17 April, kira-kira pukul 08.00, saat saya sedang dalam perjalanan menuju ke Jogja. Cuaca cerah pagi itu membuat pemandangan alam ditepi kanan dan kiri jalan kelihatan sangat jelas. Kondisi alam berbukit-bukit dengan pepohonan yang masih terjaga keutuhannya di kanan-kiri jalur tol Banyumanik hingga pintu tol Bawen membuat bayangan di kepala seolah-olah saya sedang melintasi jalan di wilayah berbukit-bukit di beberapa negara Eropa.
Sebelum memasuki ke jalur jalan tol Banyumanik - Bawen, terlebih dahulu kami melewati jalan tol Manyaran yang berakhir di gerbang tol Tembalang. Pemandangan di kanan dan kiri jalan tol Manyaran - Tembalang tidak begitu menarik sebab hanya didominasi rumah-rumah penduduk yang bertengger di lereng-lereng perbukitan. Namun diantara tumpukan rumah tersebut, ada sedikit suasana yang menghibur ketika mata saya menatap sejumlah rumah mewah di kawasan pebukitan Candi. Kawasan elit di Semarang itu pertama kali saya kenal ketika bus antar kota yang saya naiki dari Jogja ke Semarang masih boleh memasuki kota pada masa tahun 1970-an hingga 80-an.
Selepas pintu tol Banyumanik dikejauhan terlihat Gunung Merbabu dan Merapi yang menjadi pasangan gunung paling fenomenal di poros Utara- Selatan provinsi Jawa Tengah. Gunung Merbabu tampak masih utuh pada bagian puncaknya, sedangkan puncak Gunung Merapi tampak tidak beraturan akibat letusan.
Sekumpulan pohon Pinus di kiri-kanan jembatan Penggaron menjadi panorama yang sangat memikat seolah-olah saya sedang melintasi jalur autobahn di Jerman. Hal inilah yang bisa menghibur saya akibat kurang tidur disertai tubuh pegal-pegal setelah melewati jalan rusak di jalur Subang - Majalengka yang saya alami semalam. Bila saya bandingkan dengan tol Cipularang, menurut saya tol Banyumanik - Bawen memiliki pemandangan yang lebih bagus.
Kendaraan yang melintasi tol Banyumanik - Bawen saya perhatikan hanya kendaraan kecil. Mungkin desain bentangan jembatan masih beresiko bila dilintasi kendaraan-kendaraan bertonase berat. Kendaraan berat yang biasanya berjalan sangat pelan akibat tanjakan panjang seperti banyak terlihat di tol Cipularang, tidak akan ditemui di tol Bawen. Truk-truk container dan bus diharuskan tetap melewati jalur lama, melewati kota Ungaran.
Keadaan alam berupa pegunungan di pinggir selatan kota Semarang yang jadi lokasi pembuatan jalan tol tersebut mengharuskan para insinyur teknik bangunan harus mendesain beberapa kolom penyangga jalan sehingga membentuk jalur bentangan atau jembatan. Ada tujuh bentang jembatan yang sempat saya catat, masing-masing diberi nama sesuai letak bentangan tersebut. Tujuh bentang jembatan itu, adalah:
- Jembatan Banyumanik 1
- jembatan Banyumanik 2
- jembatan Gedawang
- jembatan Susukan
- jembatan Penggaron
- jembatan Tinalun
- jembatan Lemah Ireng.
[caption id="attachment_321155" align="alignnone" width="640" caption="Panorama di tol Bawen. Samar-samar terlihat gunung Merbabu."][/caption]
[caption id="attachment_321156" align="alignnone" width="640" caption="Hutan Pinus di kanan dan kiri lintasan tol."]
[caption id="attachment_321158" align="alignnone" width="640" caption="Pepohonan dan suasana sepi sangat memukau mata."]
Setelah keluar dari jalur tol di gerbang Bawen, saya kembali melihat pemandangan yang tetap sama seperti puluhan tahun yang lalu. Kota Ambarawa masih menonjol dengan 'trade mark'-nya, yakni: Monumen serta Museum Palagan Ambarawa. Saya masih terkesan oleh sosok tank 'Stuart' yang dipasang di pertigaan jalan pusat kota yang berhadapan dengan Monumen, serta pesawat 'Mustang' yang berada di pojok area Monumen (sayang sekali pesawat tersebut kini tertutup tembok pagar sehingga tidak dapat diamati dari jalan). Setelah meninggalkan Ambarawa saya kembali disuguhi udara segar dan kerimbunan kebun kopi, di Bedono. Berikutnya saya memasuki daerah Pringsurat. Di daerah Pringsurat tampak jajaran puluhan kios penjual kerajinan tirai dari kayu Sengon dan penjual madu di tepi jalan. Puluhan laki-laki berbaju batik, berpeci, tampak bersalam-salaman di bawah tenda sebuah hajatan di tepi jalan. Saya tersenyum melihat desain kursi undangan dari material pipa dan pelat besi yang digunakan dalam hajatan di pedesaan Pringsurat. Desain kursi untuk undangan hajatan yang masih bertahan hingga kini.
Begitulah situasi tol Bawen hingga Pringsurat. Suasana modern tol sekelas 'autobahn' di Jerman dipadu dengan suasana kampung yang masih menampakkan kekhasan masyarakat pedesaan di Karesidenan Kedu.