Era moderen di Pulau Batam dimulai pada dekade 1960an. Saat itu, Indonesia berupaya membangun gudang logistik Pertamina di Pulau Sambu, sekira 2 mil dari Batam. Melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973. Â
Melalui SK itu, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam.Â
Perkembangan berlanjut seiring meningkatnya jumlah penduduk yang bermigrasi untuk bekerja di Batam. Pada tahun 1983, pemerintah membuat Batam menjadi kotamadya dengan memekarkan Kecamatan Batam yang semula merupakan bagian dari Riau. Pada awal dikembangkan, Batam didesain sebagai kota kecil dengan jumlah penduduk terbatas.Â
Namun magnet ekonomi mengundang para migran untuk mengadu nasib di Batam. Hal itu membuat penduduk Batam membengkak hingga 1 juta orang lebih tahun 2019 ini.
Persoalan yang hampir selalu ada pada peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan produksi sampah, terutama sampah rumah tangga. Volume itu masih ditambah dengan sampah dari aktivitas pabrik yang jumlahnya ratusan di Batam.Â
Secara angka, Batam memproduksi sampah nyaris 1000 ton perhari. Volume sebesar itu bertahun-tahun telah menjadi persoalan tak terselesaikan karena pengelolaan sampah hanya mengandalkan teknik konvensional. Tak ayal, TPA Telagapunggur dengan luasan mencapai 46,8 hektare hanya digunakan sebagai lokasi penimbunan.
Truk-truk pengangkut sampah hilir mudik menurunkan muatan adalah pemandangan sehari-hari TPA Telagapunggur. Ambrolnya muatan dump truck di TPA selalu riuh rendah oleh pemulung yang mengaduk-aduk tumpukan, mencari barang yang masih dapat dipergunakan. Mereka memungut plastik dan logam pada umumnya. Sementara, sampah kayu, kain dan sisa makanan ditinggalkan begitu saja.
Tanpa pengolahan, sampah di TPA Telagapunggur yang tidak dipungut pemulung bertahun-tahun hanya menumpuk di lokasi itu. Aroma menyengat dari TPA terbawa angin hingga ke jalan raya yang berjarak 2 kilometer. Hampir tiap tahun, terjadi peristiwa kebakaran di lahan yang semula diklaim mampu menampung sampah Kota Batam untuk 50 tahun ke depan itu.
Letaknya bahkan tidak selalu berada di tempat sepi. Area Batam Centre, Sekupang, dan Tanjungpiayu misalnya. Sedikit saja ada lahan terbuka di tepian jalan, bungkusan sampah akan dengan mudah kita jumpai.
Sejumlah warga yang secara acak ditemui mengaku tidak punya pilihan lain kecuali membuang sampahnya di pinggiran jalan. Pasalnya, pengangkutan sampah di komplek pemukiman tidak selalu lancar. Kondisi itu kian parah saat libur panjang seperti hari raya keagamaan. Pengangkutan kerap macet, sehingga warga kerap membuang sampah di jalur akses perumahan.