Setahun yang lalu, pada 2018, Xiaomi mengajak 20 perusahaan pemasok komponennya untuk bertemu di Batam. Mereka menggelar Supplier Investment Summit (SIS) di sebuah hotel, dengan dukungan penuh Badan Pengusahaan (BP) Batam, yang kala itu dinahkodai Lukita Dinarsyah Tuwo.
Pada pertemuan pemasok itu, Head of Xiaomi South Pacific Region and Xiaomi Indonesia Country Manager, Steven Shi mengajak para pemasok komponen bersama-sama memahami ekosistem industri manufaktur Indonesia, khususnya di Batam. Dia bahkan meyakinkan para pemasok tentang potensi pasar yang dimiliki Indonesia cukup besar, dan sudah semestinya digarap.
Dalam kesempatan berbicara, Shi bahkan memastikan Xiaomi bertekad untuk terus memperbesar investasi dan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia ke depannya.
Shi juga berupaya meyakinkan masa depan kerja sama dengan para pemasok jika mereka tertarik menggarap Batam. Jika digabungkan, potensi investasi dari 20 perusahaan itu mencapai 315 juta Dollar AS, dan memberikan peluang kerja kepada 10 ribu orang.
Untuk memenuhi permintaan pasar lokal dan regional Asia Tenggara, raksasa elektronik asal China, Xiaomi yang menggandeng PT Sat Nusa Persada di Batam.
Pabrik manufaktur elektronik yang sebelumnya menggarap banyak merek besar itu dipercaya menjadi pusat pembuatan Xiaomi. Grafik kinerja Sat Nusa yang terus naik ditanggapi positif oleh BP Batam dengan menjajaki kemungkinan peningkatan investasi bahan baku produk ponsel pintar di Batam.
Namun, tidak semua komponen yang disematkan dalam produk elektronik dapat diperoleh di Indonesia. Sat Nusa harus mendatangkan berbagai macam komponen untuk membuat produk akhir dari luar negeri, terutama China.
Hal itu membuat harga tidak kompetitif karena ada komponen biaya angkut yang jumlahnya cukup besar. Agar lebih kompetitif, Xiaomi berkeinginan memangkas jarak pabrik perakitan dengan pabrik komponennya. Cara termurah adalah, membuka pabrik di Batam.
Anggota Deputi Bidang Perencanaan dan Pengembangan BP Batam Yusmar Anggadinata menyatakan, Batam harus merespon peluang migrasi pabrik yang mungkin dilakukan.
Menurut dia Hang Nadim harus berperan dan mengubah arah pengembangan untuk mengakomodir kembali menggeliatnya industri manufaktur.
Alur logistik seperti bahan baku industri dan barang jadi menjadi prioritas para pengusaha, terutama investor yang memproduksi barang untuk pasar global. Hambatan yang menyebabkan arus barang tersendat menurut Yusmar akan membuat investor berpikir ulang untuk membenamkan modal di suatu wilayah. Jika hambatan logistik dapat dieliminasi, dia yakin Batam akan semakin menarik.
Pada gilirannya, produk jadi akan lebih terjangkau ketika sampai ke tangan konsumen karena industri hulu ke hilir sudah dapat dilakukan di satu wilayah, sehingga menekan biaya pada rantai pasokan.
Lukita sangat serius berupaya menggenjot industri manufaktur baru di Batam. Dia mengajak para pemasok untuk mengunjungi Pelabuhan Batuampar dan Bandara Kargo Hang Nadim untuk meyakinkan kesiapan fasilitas Iogistik di Batam kepada para calon investor itu selepas SIS.
lainnya, Lukita juga membawa rombongan berkeliling untuk melihat langsung sejumlah kawasan industri yang telah ada di Batam.
Saat itu, BP Batam berniat mengubah strategi pengembangan Bandara Hang Nadim. Bandara terbesar ketiga di Indonesia itu sebelumnya merupakan hub penerbangan wilayah barat Indonesia.
Dengan landasan pacu sepanjang 4025 meter, Hang Nadim dapat melayani pesawat berbadan besar. Bandara ini memiliki runway lebih panjang dari Changi di Singapura dan Narita di Jepang.
Sebelumnya, Hang Nadim didesain untuk menerima limpahan pesawat saat Changi kepenuhan. Bandara dengan kode panggil BTH versi International Air Transport Association (IATA) dan WIDD versi International Civil Aviation Organization (ICAO) itu banyak menjadi pilihan pesawat kargo internasional untuk refueling karena harga BBM yang kompetitif.
Seiring perkembangan bisnis transportasi udara yang ditandai dengan bertumbuhnya layanan maskapai berbiaya murah atau Low Cost Carrier (LCC),  Hang Nadim dilirik untuk menjadi hub penerbangan wilayah barat Indonesia.
Sebelumnya, Lion Air juga telah menanamkan Rp 10 triliun melalui anak usahanya PT Batam Aero Technic (BAT). Mereka membangun fasilitas hanggar Maintenance Repair and Overhoul (MRO) terbesarnya. BAT akan berada di Batam setidaknya selama 50 tahun, sesuai izin pemakaian lahan yang diberikan BP Batam.
Kunjungan tersebut akan memberikan akses langsung bagi para supplier untuk mengeksplorasl dan mempelajari peluang investasi, berbagai insentif yang ditawarkan oleh BP Batam dan pemerintah lokal, kebijakan investasi asing Iangsung, kebijakan Industri, dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya yang diterapkan untuk investor asing di Indonesia.
Selain jumlah investasi dan lapangan pekerjaan, perlu mempertimbangkan bagaimana kegiatan ini dapat mempercepat laju transformasi Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan perekonomian digital terbesar di dunia.
Ia menilai ketersediaan infrastruktur, letak geografis yang strategis dan dukungan pemerintah dalam kemudahan perizinan investasi menjadikan Batam sangat siap sebagai tujuan investasi yang kompetitif baik di Asia maupun dunia.
Lukita juga merespon Xiaomi dengan kebijakan yang akan berguna untuk perusahaan lain. BP Batam memberikan izin lahan untuk pengembang pergudangan di sekitar kawasan Kabil dan Telagapunggur, tidak jauh dari lokasi bandara.
Dengan kesiapan sarana pendukung, Batam hanya tinggal menjaga kondusifitas. Pasalnya, investor tidak hanya memerlukan sarana untuk menjalankan usaha, melainkan juga dukungan keamanan dan kepastian stabilitas.
Pada tahap itu, pemerintah kota dapat merespon dengan meningkatkan efektivitas Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) agar biaya hidup di Batam tidak berkejaran dengan kenaikan upah. Hal itu untuk menjaga Batam tetap kompetitif, dan tidak ditinggal pergi investor karena upah pekerja yang memberatkan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H