Bayangkan hiruk pikuknya pemesanan tiket pesawat, pemesanan kamar hotel, ribetnya pencarian nama kenalan lama dalam kontak ponsel, sampai lonjakan viewer di kanal-kanal yang memutar videoklip Metallica jika betul ada informasi mereka akan mentas di Batam. Begitulah kira-kira sebuah agenda hiburan akan memberi dampak seketika pada bisnis pariwisata.
Menteri Pariwisata periode 2014-2019 Arief Yahya pada awal tahun ini menargetkan angka kunjungan wisata ke Batam, Kepulauan Riau sebesar 2,4 juta. Hingga awal Oktober, angka tersebut sudah menembus 1 juta lebih wisatawan mancanegara. Angka pasti yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Kota Batam adalah 1.086.796 orang wisatawan mancanegara.
Dalam rilisan yang sama, tiap bulan, rerata jumlah wisman yang berkunjung ke Batam sekitar 140-150 ribu orang. Sayangnya, data kunjungan itu hanya sekedar catatan imigrasi dari 4 pelabuhan internasional yang melayani pelayaran dari Singapura dan Malaysia.
Sulit memastikan warga asing yang tiba di Batam adalah wisatawan, kendati petugas imigrasi biasanya menanyai mereka satu persatu. Hal itu beralasan, karena jumlah kunjungan wisman ke Batam seakan memberikan dampak yang minim saja. Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batam per Oktober 2019 bahkan menyebut tingkat okupansi hotel di Batam tidak sehat. Dua catatan tak linier itu kerap luput dari perbincangan pengambil kebijakan pariwisata di Batam.
Ketua PHRI Batam Muhammad Mansyur, dikutip dari www.batamnews.co.id menyebut, indikasi okupansi sakit itu dapat dilihat dari harga jual kamar. Hotel bintang 4 di Batam menjual kamarnya pada tengah pekan sebesar Rp400 ribu melalui sejumlah situs reservasi.
Jika tarif bintang empat serendah itu, dapat dibayangkan patokan tarif yang ditetapkan oleh hotel kelas yang lebih rendah di Batam. Mansyur menyebut, memang terjadi penambahan jumlah hotel hingga mencapai lebih dari 200 unit. Namun okupansi tetap tidak sesuai ekspektasi, meskipun pada musim liburan.
Ada dugaan pelaku industri akomodasi memakan mentah-mentah data kunjungan wisata, kemudian merespon dengan menanam investasi besar untuk membuka hotel. Biang keladi permasalahan itu bisa jadi adalah strategi yang tidak tepat merespon target jumlah kunjungan dari Kemenpar, atau sebaliknya, Kemenpar termakan paparan data kunjungan warga asing yang diklaim sebagai wisatawan.
Dari data paparan stakeholder pariwisata, menteri beroleh angka masuknya warga asing yang cukup tinggi. Kemungkinan, Arief melihat jumlah itu sebagai potensi dan harus ditingkatkan. Arief Yahya bahkan tercatat beberapa kali melakukan kunjungan kerja dan menggelar beberapa event di Batam.
Selain indikator okupansi dari PHRI, pembangunan destinasi dan agenda wisata Batam juga tidak terlalu istimewa. Sejumlah destinasi andalan dapat dibuktikan juga tidak terlalu ramai dengan turis asing.
Akibatnya, Batam tidak terlalu masif membangun destinasi wisata baru. Proyek-proyek destinasi wisata yang baru biasanya karena pemberdayaan saja. Pola pendampingannya pun minim, sehingga masyarakat dibiarkan latah mengikuti tren.